Rabu, 31 Oktober 2018

Argumentasi Penerimaan Konsep Negara Bangsa

Argumentasi Penerimaan Konsep Negara Bangsa
Ilustrasi (ist)
Fathoni, NU Online | Rabu, 31 Oktober 2018 10:45
Kesadaran berbangsa muncul atas dasar kondisi senasib sepenaggungan yang menimpa bangsa Indonesia karena kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan. Kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa perlu dibangunkan dan digerakkan sehingga Indonesia mempunyai kekuatan dalam upaya melepaskan diri dari kungkungan penjajah.

Kesadaran sebagai satu bangsa ini yang menjadi alasan mendasar bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hadiah dari penjajah, tetapi hasil dari perjuangan dan pengorbanan seluruh elemen bangsa, tak terkecuali. Di antara kelompok yang kerap bersinggungan dengan penjajah ialah kalangan pesantren, kiai dan santri.

Sebab itu, kalangan ini hingga sekarang mengerti dan paham bagaimana menjaga Indonesia. Termasuk dari rongrongan kelompok yang berusaha melakukan bughot (pemberontakan) terhadap eksistensi negara. Sejarah mencatat, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi terdepan yang menolak pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta maupun PKI karena menolak dasar negara yang telah menjadi konsensus bersama, yaitu Pancasila.

Konsekuensi yang diterima NU sudah tentu menjadi sasaran pemberontakan tersebut. Namun, komitmen menjaga bangsa dan negara tidak akan surut karena perdamaian bisa dicapai karena kesepakatan bersama apalagi Indonesia mencapai kemerdekaan atas dasar perjuangan bersama seluruh rakyat.

Ideologi komunis yang dibawa PKI yang berusaha mendirikan negara soviet maupun ideologi khilafah yang dibawa DI/TII yang berupaya mendirikan negara Islam menjadi perhatian serius dari NU. Bagi jami’yyahyang didirikan oleh para kiai ini, Pancasila sebagai konsensus bersama terbukti menyatukan rakyat dan mewujudkan perdamaian.

Pergerakan nasional telah sejak lama dilakukan oleh kalangan pesantren, termasuk menggembleng para pemuda untuk mencintai bangsanya. Perjuangan ini lalu ditindaklanjuti oleh perjuangan para pemuda dalam meneguhkan negara berdasar asas kebangsaan. Peletakan negara bangsa (nation state) dilakukan oleh para pemuda pada Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Dalam catatan Abdul Mun’im DZ (Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011), gema Sumpah Pemuda Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia menggelora di seluruh penjuru Nusantara sehingga menjadi bahasan semua kalangan pergerakan termasuk dalam NU dan dunia pesantren secara umum.

Namun, salah satu butir yang menjadi perhatian adalah munculnya aspirasi negara bangsa (nation state) sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tersebut. Konsep negara bangsa tersebut sekaligus menjadi persoalan krusial bagi sebagian umat Islam yang masih berpandangan untuk mendirikan negara Islam.

Karena persoalan ini menjadi bahan perbincangan umat Islam, maka sebagai bentuk tanggung jawab sosial, NU kemudian membawa persoalan tersebut ke dalam Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Setelah diadakan penyelidikan, baik yang bersifat historis bahwa kawasan Tanah Jawi atau Bumi Nusantara adalah sebuah negara yang diperintah oleh sejumlah kerajaan Islam. Di dalam pemerintahan kerajaan Islam tersebut berkembang tradisi dan kebudayaan Islam, baik dalam bentuk kesenian, sistem pengetahuan, sistem politik, dan perekonomian. Para sultan atau raja memerintah atas dasar ajaran dan tradisi Islam. Apalagi mereka mendapat bimbingan para wali dan ulama sehingga di dalam pemerintahan berjalan norma-norma Islam.

Pemerintahan raja-raja Islam kemudian direbut oleh penjajah Belanda yang kemudian berganti menjadi pemerintah Hindia-Belanda di atas Bumi Nusantara. Namun, walaupun Bumi Nusantara telah di-ghasab(dijarah) oleh Belanda tetapi bumi ini tetap merupakan masyarakat Islam. Sebab, meskipun ratusan tahun dijajah Belanda, budaya Nusantara tetap berhasil dipertahankan dan mayoritas penduduknya Islam.

Apalagi dengan sikap kalangan ulama pesantren yang tetap melakukan perlawanan terhadap semua budaya yang dibawa oleh penjajah Belanda. Maka tradisi masyarakat Islam di bumi Nusantara tetap lestari, baik sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, hukum, termasuk politik tetap dipertahankan.

Meskipun mayoritas masyarakatnya Nusantara beragama Islam, begitu pun tradisi dan budaya yang dikembangkan, bukan berarti di negeri Indonesia wajib didirikan negara Islam. Konsep negara bangsa yang digelorakan para pemuda tidak membatasi agama Islam di Indonesia. Dengan kata, nation state sudah sesuai dengan aspirasi Islam.

Singkatnya, dalam Muktamar tersebut, NU mempertegas bahwa nation state tidak bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam, juga sudah memenuhi aspirasi umat Islam. Karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya secara bebas. Dengan demikian, Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan (negara bangsa) telah memenuhi aspirasi Islam. (Fathoni)



Sumber :

 http://www.nu.or.id/post/read/98311/argumentasi-penerimaan-konsep-negara-bangsa

Senin, 29 Oktober 2018

Santri Menjaga Indonesia dari Gerakan Kaum Islamis Jihadis

Santri Menjaga Indonesia dari Gerakan Kaum Islamis Jihadis
Ilustrasi istighotsah kubro NU Jatim (Foto: Antara)
Fathoni, NU Online | Senin, 29 Oktober 2018 07:05
Oleh Zastrouw Al-Ngatawi

Hari Santri 2018 pada 22 Oktober telah berlalu, tetapi perayaan dan perdebatan mengenai hal tersebut masih terus berlangsung. Di beberapa daerah masih melaksanakan perayaan Hari Santri dengan berbagai bentuk kegiatan, mulai istighotsah, shalawatan, pawai sampai pentas seni religi. Selain itu perdebatan mengenai Hari Santri dan eksesnya juga masih berlangsung di media sosial.

Untuk menemukan spirit Hari Santri dengan berbagai peristiwa yang terjadi selama perayaan Hari Santri berlangsung kita perlu menggali berbagai makna yang ada di balik Hari Santri. Perayanaan Hari Santri terkait dengan peristiwa Resolusi Jihad yang dikumadangkan oleh KH Hasyim Asy’ari yang kemudian dianggap menjadi bara  pengobar semangat jihad para santri dan masyarakat melawan sekutu (Inggris) dan Belanda yang ingin kembali menjajah.

Ada beberapa makna penting di balik peringatan Hari Santri. Pertama, Hari Santri membongkar peran santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama ini peran sejarah santri selalu "digelapkan", tak pernah ditulis dalam sejarah. Penulisan sejarah Nasional selalu menonjolkan peran kaum modernis dan para tokohnya seperti Natsir, Sukiman, Bung Tomo, Masyumi, Hizbul Wathon dan kaum modernis lainnya (lihat Kahin, 2013; Anderson,  1988; MC. Rikleft, 2005; Malcolm Codwell dan Ernest Utrecht, 2011).  

Dalam catatan para sejarawan internasional itu peran kaum santri terlihat hampir tidak ada, hanya disebut sambil lalu, menjadi subordinat dari gerakan kaum modernis. Dalam penulisan sejarah yang bias modern ini terjadi pengerdilan peran kaum santri. Misalnya ketika Mbah Hasyim menginisiasi Resolusi Jihad kemudian mendapat dukungan dari kelompok lain, maka yang besarkan adalah dukungan dari kelompok lain.

Berbagai langkah konsolidasi para kyai se Jawa yang menggerakkan masyarakat mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan tempat-tempat nyaris tidak ter-cover oleh sejarawan Barat Modern. Inilah yang menyebabkan Mu'arif menganggap Resolusi Jihad hanya masalah kecil, tidak penting, hanya mewakili kelompok kecil sehingga tidak layak ditulis dalam sejarah. (Lihathttp://www.suaramuhammadiyah.id/2016/11/10/catatan-t)

Melalui perayaan Hari Santri terjadi upaya penggalian sejarah untuk menyingkap peran sejarah santri yang selama ini tersimpan (atau sengaja disimpan) di balik lipatan sejarah. Dari sini muncul semangat menulis sejarah alternatif baik dari dalam yang dilakukan oleh sejarawan NU maupun dari luar (lihat Agus Sunyoto, 2013, Ahmad Baso, 2013; Abdul Mun'im, 2016, Zainul Milal Bizawie, 2014, Ahmad Ginanjar Sya'ban, 2017).

Dengan cara ini, narasi kecil sejarah santri yang selama ini dianggap tidak penting akan terangkat ke permukaan sehingga bisa menjadi sumber inspirasi untuk membangkitkan nasionalisme. Ini artinya Hari Santri menjadi pintu masuk diskusi akademik memgenai sejarah santri dan gerakan kebangsaan Indonesia.

Kedua, makna penting dari Hari Santri adalah kejelasan hubungan antara agama (Islam) dan faham Kebangsaan. Melalui Hari Santri yang berpijak pada peristiwa Resolusi Jihad maka menjadi tonggak bahwa hubungan antara Islam dan Kebangsaan sudaj final.

Dengan demikian secara implisit makna hari santri adalah peneguhan atas nasionalisme Indonesia sebagai cerminan dari spirit keislaman. Spirit ini tercermin dalam semboyan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy'ari yang kemudian menjadi populer di kalangan umat Islam di Nusantara khususnya para santri.

Dengan spirit ini maka Hari Santri jelas mendapat tantangan dari kelompok yang anti terhadap nasionalisme. Hari Santri dianggap ganjalan dan batu sandungan bagi kelompok gerakan Islam transnasional yang masih menginginkan berdirinya negara Islam dan menjadikan Indonesia sebagai bagian imperium kekhalifahan Islam internasional.

Kelompok ini terus membenturkan antara nasionalisme dengan rezim khilafah Islam internasional. Dengan topeng agama dan atas nama Islam mereka melakukan gerakan merongrong NKRI dengan segala cara. Termasuk mengacaukan perayaan Hari Santri, karena bagi mereka Hari Santri merupakan momentum peneguham nasionalisme.

Jika Hari Santri sukses dan paham nasionalisme tertanan kuat di kalangan bangsa Indonesia maka perjuangan mereka membangun sistem khilafah di negeri ini akan gagal dan akan sulit dilakukan. Provokasi pengibaran bendera HTI di Garut bisa dibaca dari perspektif ini.

Ketiga, Hari Santri merupakan bentuk rekonstruksi makna jihad. Dalam resolusi jihad, jihad tidak dimaknai semata-mata membela Islam. Di sini jihad dimaknai sebagai upaya membela tanah air. Dengan kata lain, membela NKRI adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Sikap ini secara tegas dinyatakan oleh Mbah Hasyim ketika menjawab utusan Panglima Soedirman yang bertanya, bagaimana hukum membela tanah air? Oleh sang utusan pertanyaan ini kemudian tegaskan, "membela tanah air bukan membela Islam".

Atas pertanyaan ini  dengan tegas Mbah Hasyim menjawab: "membela tanah air hukumnya wajib, dan menjadi bagian dari jihad fi sabilillah". Hal ini juga disampaikan Mbah Hasyim kepada Bung Karno yang datang  menghadap beliau di Tebuireng menjelang peristiwa 10 November. Sayangnya data-data seperti ini tidak tergali oleh para sejarawan modern.

Penafsiran makna jihad Mbah Hasyim yang mewajibkan jihad membela NKRI ini jelas tidak sesuai dengan pemahaman jihad kaum Islamis jihadis yang justru ingin menghancurkan NKRI karena dianggap sebagai negara kafir dan thoghut.

Bagi kelompok Islamis jihadis, Hari Santri juga dianggap sebagai pemutarbalikan makna jihad, bagi mereka jihad bukan membela NKRI sebagaimana digelorakan kaum santri saat membela NKRI. Inilah yang membuat mereka berusaha mengganggu perayaan Hari Santri karena dianggap menjadi penghalang perjuangan mereka menegakkan negara Islam di Indonesia.

Berbagai makna tersebut menunjukkan bahwa Hari Santri bukan semata hadiah untuk sekelompok orang atau menonjolkan peran sejarah kaum santri saja. Apalagi membesar besarkan masalah kecil yang tidak penting bagi sejarah bangsa sebagaimana dituduhkan oleh Mu'arif. Ada makna sangat penting dan strategis di balik Hari Santri terkait dengan hubungan Islam dan kebangsaan serta makna jihad dalam konteks kebangsaan.

Andai saja sejarah secara jujur menulis peran kaum santri dalam sejarah perjuangan bangsa mungkin benturan antara Islam dan nasionalisme bisa dicegah sejak dini. Karena bagi kaum santri hibungan antara keduanya audah selesai. Bagi santri cinta NKRI bukan semata slogan politis, tetapi telah menjadi bagian pemahaman keislaman yang menyatu dalam diri (embedded).

Jelas di sini terlihat kelompok mana yang sebenarnya terancam dan tidak suka dengan keberadaan Hari Santri yaitu mereka yang terganggu perjuangan dan agendanya mengubah NKRI dan ingin mengganti ideologi negara Pamcasila. Atau mereka yang tidak paham makna dan spirit yang ada di balik Hari Santri, sehingga hanya memaknainya secara politis, meski kadang dibungkus dengan simbol agama dan logika akademik.


#muslimsejati

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/98221/santri-menjaga-indonesia-dari-gerakan-kaum-islamis-jihadis
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta

Sabtu, 27 Oktober 2018

Terorisme: Irrasionalitas Kekerasan Agama

Rozali, NU Online | Sabtu, 27 Oktober 2018 17:00
Ahmad Zainul Hamdi 

Salah satu pertanyaan penting yang banyak dilontarkan para pengamat isu radikalisme-terorisme adalah apa yang menyebabkan seseorang akhirnya menjadi seorang radikalis-teroris? Banyak yang meyakini bahwa fenomena radikalisme-terorisme keagamaan tidak semata-mata dipicu oleh faktor agama. Fakta di lapangan menunjukkan beragamnya latar belakang orang berubah dari “orang baik-baik” menjadi seorang teroris. 

Agama hanyalah menjadi salah satu faktor. Ada faktor psikologis, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mudah sekali ditemukan. Misalnya, ada orang yang masuk ke dalam kelompok teroris karena ketika kecil, dia menyaksikan orang tuanya dizalimi oleh rezim penguasa. Ada juga orang yang menjadi teroris karena kondisi ekonomi yang menyedihkan. 

Sekalipun demikian, penjelasan di atas tetap belum bisa menjawab, mengapa seseorang karena keterjepitan ekonomi, misalnya, memutuskan untuk menjadi seorang radikalis, bahkan teroris. Atau, mengapa ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi kapitalistik yang jahat membuat orang mengambil langkah untuk menjadi pelaku bom bunuh diri?

Dalam sebuah tulisannya, Cooper (2015) melontarkan pertanyaan yang cukup menggelitik, “What do terrorists want?” Tentu saja, setiap tindakan teror bertujuan untuk melukai dan melahirkan ketakutan mendalam kepada publik. Tapi, apa sesungguhnya tujuan utama mereka? Teori rational actor pasti akan menjelaskan bahwa aksi teror adalah sebuah pilihan tindakan yang dikalkulasi secara rasional untung dan ruginya. Rumus yang digunakan kurang lebih adalah sebagai berikut: “Keuntungan politik dikurangi biaya politik menghasilkan keuntungan bersih yang lebih besar jika dibanding dengan cara-cara potes lain”.

Sekalipun demikian, teori ini tetap tidak mampu menjelaskan tentang keuntungan politik apa yang diinginkan oleh sekumpulan teroris yang melancarkan aksinya dari markas pasukan elit kepolisian. Bahkan, keuntungan politik apa yang akan didapatkan ketika mereka justru lebih senang menempatkan dirinya dalam sasaran tembak seluruh kekuatan dunia? 

Para ahli membedakan antara teroris etno-nasionalis seperti IRA di Irlandia Utara atau ETA di Basque Spanyol dengan teroris-jihadis trans-nasional seperti al-Qaedan dan ISIS. Jika yang pertama melakukan tindakan kekerasan untuk menaikkan posisinya dalam proses negosiasi dengan lawannya dalam rangka mencaoai tujuan politiknya, maka yang terakhir memainkan kekerasan dalam kerangka tuntutan politik yang absolut dan non-negotiable. Tujuannya bukan untuk bernegosiasi, tapi mengekspresikan situasi alienasi dan kemarahannya dengan carayang berisiko kematian. Terorisme ini adalah sebentuk irrasionalitas. 

Oleh karena itu, kekerasannya tak bisa dijelaskan kecuali dari motif yang menggerakkannya. Menurut Wood (2005), apa yang mendorong para teroris itu adalah keyakinan keagamaannya. Wood menyatakan dengan istilah “apocalyptic reading of the sacred text”, yaitu pemahaman kitab suci dalam semangat perang habis-habisan. Karena pandangan keagamaan inilah, kelompok teroris tidak memiliki kemampuan untuk mengubah cara-cara perjuangannya, bahkan jika perubahan itu membuatnya akan selamat.

Teologi kekerasan

Dalam sebuah tulisannya pasca-Persitiwa 11 September, The Place of Tolerance in Islam, Khaled Abou el-Fadhl (2003) menyatakan bahwa terorisme sesungguhnya adalah masalah kemanusiaan universal. Korban terorisme mengena siapa saja yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi kaum teroris, tidak peduli apakah korban itu seagama dengannya atau tidak. Terorisme tidak hanya membahayakan non-Muslim, tapi juga umat Islam sendiri.

Menurut Abou el-Fadhl, potensi bahaya tersebut sudah tertancap dalam psiko-teologi mereka. Para teroris ini meyakini dirinya sebagai kelompok orang beriman yang memiliki kebajikan tertentu yang membedakan mereka dengan penganut keyakinan lain. Sifat supremasi teologi mereka ini sangat membahayakan karena memiliki muatan dominasi kultural dan politik yang sangat kuat.Kelompok ini tidak hanya puas dengan keleluasaan untuk hidup menurut nilai-nilai keyakinannya sendiri, tapi mereka juga memiliki ketidakpuasan aktif terhadap cara hidup yang dimiliki orang lain. Akibatnya, mereka tidak hanya berupaya untuk mengembangkan dirinya sendiri, tapi secara agresif berupaya untuk melemahkan, mendominasi, dan menghancurkan kelompok lain. Siapa saja yang hidup di luar nilai-nilai yang diyakininya dianggap sebagai melawan Tuhan dan oleh karena itu, harus dilawan dan diperangi. Dari rahim teologi supremasis inilah lahir berbagai aksi teror.

Gerakan kelompok ini didorong oleh sebuah keyakinan bahwa umat Islam selama ini telah diperlakukan tidak adil oleh Barat-Kristen. Keyakinan ini dibangun di atas narasi Perang Salib hingga dominasi Barat-Kristen atas negara-negara mayoritas Muslim pasca-kolonial. Kelompok ini juga meyakini bahwa Barat telah melakukan perampasan atas tanah dan sumber kekayaan alam umat Islam, melemahkan kekuatan ekonomi, militer dan politiknya. Tidak hanya itu, Barat juga dianggap melakukan upaya-upaya untuk menghambat pertumbuhan Islam dengan memberi bantuan kepada aktivitas-aktivitas anti-Islam (Saeed 2007).

Karena itu, tidak mengherankan jika konsep penting yang memotivasi kelompok ini adalah ‘jihad’. Mereka memahami konsep jihad sebagai tindakan teror dan kekerasan dalam perang global antara kebaikan (Islam) dan keburukan (Barat/non-Islam). Juergensmeyer (2000) menjelaskan motif terdalam dari aksi-aksi teror keagamaan dengan istilah cosmic war, di mana pelaku teror selalu meyakini bahwa mereka berada dalam sebuah perang semesta antara kebaikan melawan kejahatan. 

Para pelakunya bisamelakukan tindakan teror di dalam maupun di luar negaranya. Mereka tidak peduli bahwa tindakannya mungkin saja akan menghancurkan negaranya sendiri.Kelompok ini memiliki konsep politik dan kenegaraan sendiri.Sayyid Qutb, salah seorang ideolog yang banyak menjadi rujukan kaum teroris, mengembangkan teori politik dengan memperlawankan antara tatanan politik Islami dan jahili. Yang pertama merujuk pada negara yang meletakkan Allah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Negara Islam adalah negara yang mengikuti hukum Allah, bukan negara yang membuat hukum sendiri. Hukum Allah adalah ketetapan yang tidak bisa diubah oleh persetujuan manusia. Jika sebuah negara tidak mengikuti hukum Allah dan tidak meletakkan Allah sebagai kedaulatan tertinggi, maka ia adalah negara jahili yang layak untuk dihancurkan.

Dalam kerangka pemikiran teologis ini, kaum teroris meyakini bahwa tatanan Islam  dan tatanan jahili adalah dua entitas yang  saling bertentangan dan bermusuhan.Pilihannya adalah menang secara total atau hancur tak berbekas. Mereka meyakini bahwa masyarakat jahili harus dihancurkan. Dakwah dengan lisan saja tidak cukup, tapi juga jihad dengan kekerasan (Bubalo & Fealy2005).

Jika saat ini sekelompok teroris melancarkan berbagai aksi teror di berbagai penjuru negaranya sendiri, masihkah itu mengundang tanya? Kekerasannya tak bisa dijelaskan kecuali ia menunjukkan sisi irrasionalitas tindakan manusia yang didorong oleh paham keagamaan apokaliptik.

Dosen pada Departemen Studi Agama-agama UIN Sunan Ampel Surabaya
#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/98110/terorisme-irrasionalitas-kekerasan-agama

Jumat, 26 Oktober 2018

Islam Smart, Jangan Pernah Mau Dibohongi


Dalam setiap aksi demo, HTI selalu menggunakan bendera hitam dengan klaim bahwa itu adalah bendera tauhid dan Panji Rasulullah.
Pertanyaannya, benarkah bendera hitam itu Panji Rasulullah?
Saya coba cek dan ketemu pandangan Gus Nadirsyah Hosen, seorang dosen di FH di Australia, sekaligus Rais Syuriah NU di Australia dan New Zealand, seperti yang saya kutip di duta.co.
“Jangan mau dibohongi HTI dan ISIS..” Kata Gus Nadir.
Bendera Rayah, bendera warna hitam, adalah bendera perang dan yang membawanya adalah pemimpin perang. Bendera ini biasanya diserahkan khalifah pada pemimpin perang dan komandan2 lainnya.
Dan HTI memahami itu melalui riwayat Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah.
Gus Nadir berkata bahwa secara umum hadis2 yang menjelaskan warna bendera Rasul dan tulisan di dalamnya adalah hadis yang tidak berkualitas, atau tidak shahih.
Riwayatnya pun berbeda-beda. Ada yang bilang hitam saja, ada yang bilang putih saja. Ada juga riwayat yang bilang hitam dan putih, bahkan ada yang kuning.
“Dalam sejarah Islam juga beda lagi. Ada yang bilang Dinasti Umayyah pakai bendera hijau, Dinasti Abbasiyah pakai warna hitam, dan pernah juga putih.
Yang jelas dalam konteks bendera dan panji, Rasul menggunakan sewaktu perang hanya untuk membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara,” jelas Gus Nadir.
“Katakanlah ada tulisannya, maka tulisan khat jaman Rasul dulu beda dengan yang ada di bendera ISIS dan HTI. Jaman Rasul tulisan Alquran belum ada titik dan khatnya, masih pra Islam yaitu khat kufi.
Makanya, meski mirip, bendera ISIS dan HTI itu beda khatnya. Kok bisa? Padahal sama-sama mengklaim bendera Islam? Itu karena rekaan mereka saja,” tandas Gus Nadir.
Jadi, Kalau ISIS dan HTI yang setiap saat mengibarkan bendera Liwa dan Rayah, apakah mereka mau perang terus? Kok ke mana-mana mengibarkan bendera perang?
Kalau dianggap sebagai bendera negara khilafah, kita ini NKRI, sudah punya bendera Merah Putih. Masak ada negara dalam negara? Kalau itu terjadi, berarti makar!” Gus Nadir menutup pembicaraan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa orang2 HTI itu sesungguhnya tidak paham hadis. Mereka hanya memainkan konsep bendera sesuai perkiraan mereka saja. Dan ini dijual seolah-olah mereka adalah “Panglima Perang Rasulullah”..
Jadi – sekali lagi – jangan mau dibohongi HTI.
Dari masalah bendera saja mereka gak paham, apalagi mau mendirikan negara khilafah ?
“Bu, kopinya jangan kasih gula. micinnya aja yang agak banyakan…”
#Muslim sejati

Kamis, 25 Oktober 2018

Mitos Bendera HTI dan Perampokan Kalimat TauhidOleh M Abdullah Badri

\

Dalam bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dari sononya memang sudah menyiratkan makna dan bentuk. Makna ada dalam kalimat tauhid. Tercermin dari bahasa yang digunakan bendera. Bentuknya adalah bendera yang berwarna putih atau hitam, yang disebut sebagai royah dan liwa’. Naifnya, bendera itu mereka klaim dari Rasulullah. Ini distorsi dan pembelokan.

Dalam kajian mitologi, bendera HTI itu disebut sebagai mitos. Bukan mistis yah. Tapi mitos, ilmu tentang tanda. Adanya penanda bendera, berarti ada motivasi, kehendak dan permintaan yang dijadikan petanda.

Melalui penanda bendera, petanda yang ia adalah motivasi gerakan makar ideologis HTI, sengaja disamarkan atau dinaturalisasikan sehingga yang tampak di muka hanya bentuknya, bendera yang diklaim milik umat Islam.

Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1983) menyebut mitos sebagai yang “terlalu samar untuk dikenali, atau terlalu gamblang untuk langsung diyakini”. Ia hanyalah sebuah infleksi (pembelokan) dan pengkhianatan bahasa. (Lihat, ibid, hlm. 186).

Apakah betul bendera HTI milik seluruh umat Islam? Publik terlalu samar dan tidak berani tidak menyebutnya sebagai bendera umat Islam karena ada kalimat tauhidnya. Mengapa? Karena ia sudah ada dan menjadi sebagai bendera. Begitulah kerja mitos. 

Umat Islam yang tidak membaca tanda dan tidak paham sejarah akan mudah menyatakan kalau itu adalah bendera agama Islam. Mereka tidak tahu kalau umat Islam lain ada yang menggunakan bulan sabit dan bintang sebagai bendera mereka, penanda atas petanda keislaman mereka.

Karena ada kalimat tauhidnya, mereka tidak mau tahu kalau ISIS, Al-Qaida dan juga Saudi Arabia memakai kalimat tauhid dalam bendera kelompoknya masing-masing. Samar. Dan karena samar, mereka dukung saja. Membebek dengan mitos tauhid yang telah disisipkan dalam bendera. 

Banyak umat Islam yang gamang dan samar menyebut bendera itu milik HTI karena kalimat tauhid adalah bahasa dunia milik semua umat Islam, yang tanpanya, tidak akan masuk surga. HTI pun panen dukungan umat Islam karena propaganda benderanya yang dimitoskan.


Bongkar Mitos
Saya menyebut, HTI panen hasil rampokan bahasa (kalimat tauhid) yang ada dalam benderanya sebagai mitos tersamar. Mereka merampok emosi massal umat Islam untuk mendukungnya, seolah selain dia bukan Islam, dengan ancaman bahasanya yang khas, “siapa saja yang membakar bendera itu berarti anti Islam”. Innalillah.


Umat Islam, termasuk kiai-kiai NU dan santri-santri NU, banyak yang menganggap bahwa bendera itu bendera Rasulullah. Pasalnya, HTI tidak menjadikan kalimat itu sebagai contoh kalimat thoyyibah, tapi lebih dari itu, kalimat tauhid dinaturalkan jadi bendera sehingga mendukung bendera, sama dengan mendukung Islam.

Kalau saja HTI hanya menjadikan kalimat tauhid sebagai contoh kalimat thoyyibah, tentu tidak ada gerakan counter propaganda dan pembakaran oleh Banser di Garut saat perayaan Hari Santri 2018 kemarin. Banser paham, kalimat tauhid yang sudah jadi bendera itu artinya ada proses mitologis dan pembelokan makna bahasa agung kalimat tauhid, yang oleh Roland Barthes disebut sebagai pengkhianatan bahasa. (ibid, hlm. 187).

Laku pembakaran bendera tauhid HTI di atas sangat sah menemukan kebenaran. Mengapa? Sebagai bahasa, kalimat La Ila ha Illa Allah adalah kalimat baik yang penuh makna sehingga mudah diinvasi banyak tafsir, mengingat kalimat tauhid bukan kalimat matematis yang dikelilingi rumus tunggal, sebagaimana 1 + 1 samadengan 2. Ada rumus yang melindungi kalimat matematika.

Banser menafsir, kalimat thoyyibah yang diklaim secara naif oleh HTI sebagai dari Rasulullah (kalimat dan benderanya) sebagai mitos yang membelokkan makna. Andai saja bendera itu berwarna hitam atau putih dan bertulikan Hizbut Tahrir, tak akan ada invasi tafsir lain oleh umat Islam, karena ia jadi kalimat matematis, tunggal langsung menunjuk hidung HTI. Banser pun tidak berhak membakar benderanya jika demikian.

Banser paham, mitos yang dibangun HTI lewat bendera bertulis kalimat tauhid hanya ingin mengubah sejarah pemberontakan pengguna bendera yang sama ke dalam alam umat Islam Indonesia yang nasionalis dan cinta NKRI. 

Melalui benderanya, HTI berhasil menjadikan kalimat tauhid bukan sebagai contoh, tapi membuat dia natural sebagai yang dimiliki oleh banyak umat Islam. HTI berhasil menaturalisasikan makna kalimat tauhid jadi basis gerakan mendapatkan dukungan. Itulah yang disebut Roland Barthes sebagai mengubah makna menjadi bentuk.

Hasilnya, HTI menjadi ormas terlarang yang berhasil mendistorsi (merampok) bahwa kalimat tauhid tidak boleh dibakar walau ia terbukti dipakai oleh perampok dan perompak ideologi negara. Inilah kehendak dan permintaan dalam motivasi dibalik perampokan kalimat tauhid HTI dalam bendera berbahasa La Ilaha Illa Allah.

Makanya, membakar bendera HTI adalah sah, halal dan mendapatkan pahala menjaga balad (negara) sebagai yang amin (damai). Jauh dari gerakan anti Pancasila dan anti nasionalisme. Lanjutkan. Saya bersama Banser! []

Selasa, 23 Oktober 2018

HUKUM MEMBAKAR BENDERA TAUHID

Pondok Pesantren Lirboyo

Akhir-akhir ini publik ramai memperbincangkan tindakan salah satu anggota organisasi yang membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid. Banyak pihak yang geram atas tindakan ini, sebab kalimat tauhid dimana pun penempatannya adalah kalimat yang harus dimuliakan oleh seluruh umat islam. Sehingga membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid adalah bentuk penghinaan yang nyata pada kalimat tauhid itu sendiri.

Benarkah hujjah (argumentasi) dan alasan tersebut?

Sebelumnya patut dipahami bahwa dalam konteks ini telah terjadi penyimpangan fungsi kalimat tauhid yang awalnya merupakan simbol keesaan Allah swt. Namun oleh oknum yang tidak bertanggungjawab justru kalimat tersebut dijadikan sebagai simbol kepentingan mereka dan dijadikan lambang identitas golongan mereka, golongan ini biasa dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu gerakan separatis yang secara tegas telah dilarang oleh pemerintah.

Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Tanbihat al-Wajibat menjelaskan:

اَنَّ اسْتِعْمَالَ مَا وُضِعَ لِلتَّعْظِيْمِ فِيْ غَيْرِ مَحَلِّ التَّعْظِيْمِ حَرَامٌ
“Sesungguhnya menggunakan sesuatu yang diciptakan untuk diagungkan, untuk difungsikan pada hal yg tidak diagungkan adalah hal yang haram“.

Berdasarkan referensi di atas, mengalihfungsikan kalimat tauhid untuk kepentingan organisasi yang terlarang adalah bentuk perbuatan yang secara tegas diharamkan oleh syariat. Sebab perbuatan ini saja sudah dipandang menghina terhadap kalimat tauhid itu sendiri. Sehingga mestinya secara arif kita dapat menilai bahwa bendera tauhid pada konteks ini hakikatnya bukan merupakan lambang yang mewakili umat islam secara kesuluruhan, bahkan merupakan lambang yang dijadikan pemicu berbagai perpecahan bangsa, sebab telah difungsikan sebagai lambang golongan tertentu yang telah dilarang oleh pemerintah.

Peristiwa semacam ini sesungguhnya juga terjadi dalam ingatan sejarah kita, bagaimana Masjid Dhirar dihancurkan dan dibakar oleh Rasulullah saw. setelah beliau tahu bahwa ternyata masjid tersebut dibuat oleh kaum yang berupaya memecah belah umat Islam. Dalam menyikapi peristiwa ini, Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Kitab Al-Hawi Lil fatawi:

قَالَ عُلَمَاؤُنَا: وَإِذَا كَانَ الْمَسْجِدُ الَّذِيْ يُتَّخَذُ لِلْعِبَادَةِ وَحَضَّ الشَّرْعُ عَلَى بِنَائِهِ يُهْدَمُ وَيُنْزَعُ إِذَا كَانَ فِيْهِ ضَرَرٌ فَمَا ظَنُّكَ بِسِوَاهُ ؟ بَلْ هُوَ أَحْرَى أَنْ يُزَالَ وَيُهْدَمَ، هَذَا كُلُّهُ كَلَامُ الْقُرْطُبِيْ
“Para Ulama berkata: Jika masjid saja yang diciptakan untuk ibadah dan syariat menganjurkan untuk membangunnya berubah menjadi dihancurkan karena terdapat kemudlaratan, lantas bagaimana pendapatmu pada hal selain masjid? Jelas lebih pantas untuk dihilangkan dan dihancurkan. Perkataan tersebut adalah perkataan Imam Qurtuby”

Selain peristiwa itu, pernah pula tercatat dalam sejarah Sayyidina Utsman ra. membakar mushaf Al-Quran untuk tujuan menjaga keotentikan Al-Quran. Sebab Mushaf yang Ia bakar merupakan mushaf-mushaf yang bercampur antara ayat yang mansukh (disalin) dan ayat yang tidak mansukh. Khawatirnya jika mushaf-mushaf itu dibiarkan, banyak orang akan berpendapat bahwa lafadz yang bukan merupakan bagian dari Al-Quran dianggap sebagai bagian dari Al-Quran. Hal ini jelas akan berpengaruh pada keotentikan Al-Quran itu sendiri. Berdasarkan peristiwa ini, Para Fukaha berpandangan bahwa membakar Al-Qur’an jika bertujuan untuk menjaga kehormatan Al-Quran itu sendiri adalah hal yang diperbolehkan.isbn

Berdasarkan beberapa dalil-dalil di atas dapat kita simpulkan bahwa bendera tauhid hanyalah kedok dari gerakan terlarang di negeri ini. Kita harus melawannya secara tegas. Tindakan membakar hakikatnya bukan melecehkan kalimat tauhid, namun untuk menyelamatkannya dari kepentingan yang tercela.

Dengan demikian, hukum membakar bendera tauhid adalah hal yang diperbolehkan, bahkan merupakan cara yang paling utama bila hal tersebut lebih efektif untuk menghentikan provokasi dari gerakan terlarang di negeri ini. Wallahu A’lam.

Sumber: Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM P2L)

Sejarah Pembakaran tulisan basmalah dan lafal agung

و يكره (إحراق خشب نقش به) أي بالقرآن، نعم إن قصد به صيانة القرآن فلا كراهة وعليه يحمل تحريق عثمان رضي الله عنه المصاحف. وقد قال ابن عبد السلام من وجد ورقة  فيها البسملة ونحوها لايجعلها في شق ولا غيره لأنه قد تسقط فتوطأ وطريقه أن يغسلها بالماء أو يحرقها بالنار صيانة لاسم الله تعالى عن تعرضه للامتهان (اسنى المطالب للشيخ عز الدين ابن عبد السلام)


“Dimakruhkan membakar kayu yang terdapat ukiran Al-Qur’an di permukaannya. Akan tetapi, tidak dimakruhkan (membakar) bila tujuannya untuk menjaga Al-Qur’an. Atas dasar itu, pembakaran mushaf-mushaf yang dilakukan Utsman bin Affan dapat dipahami. Ibn Abdil Salam mengatakan, orang yang menemukan kertas bertulis basmalah dan lafal agung lainnya, janganlah langsung merobeknya hingga tercerai-berai karena khawatir diinjak orang. Namun cara yang benar adalah membasuhnya dengan air atau membakarnya dengan tujuan menjaga nama Allah dari penghinaan.”
Wallahu a’lam.

Senin, 22 Oktober 2018

JANGAN NODAI KESUCIAN ISLAM


Seorang ulama Mesir yang bernama Muhammad Abduh berkata: Al Islam mahjubun bil muslimin,  keindahan Islam tertutup oleh tingkah laku kaum muslimin. Ada sebuah kenyataan yang berbeda dalam tubuh umat Islam,  karena ulah tingkah yang keliru dari sekelompok orang terjangkit pemahaman ghuluw fiddin (ekstrim dalam agama).  Islam yang merupaka ajaran yang Indah berubah menjadi agama yang sangat kejam dan menakutkan.

Sebagai sebuah pengalaman yang pernah saya alami, saya ingin menjadi muslim seutuhnya.  Aqidah yang bersih,  ibadah yang shahih dan akhlak yang mulia adalah sesuatu yang sangat saya dambakan.  Sejak tahun 1984 saya masuk dalam sebuah gerakan Islam yang tujuannya mulia ingin menegakkan kebenaran.  Tanpa sadar dengan doktrin yang kaku akhirnya menghantarkan saya pada kelompok yang berfaham khawarij.  Dimana faham ini sangat mudah mengkafirkan orang lain yang tidak satu kelompok dengannya. Dan mudah mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya.

Efek negatif yang muncul adalah kami menyimpulkan orang lain halal darahnya dan juga halal hartanya.  Maka ramailah gerakan - gerakan fa'i (mengambil harta orang "kafir" tanpa peperangan).  Pada akhirnya kami terjebak dalam kelompok yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dana.  Bahkan gerakan radikal seperti ini sampai hari ini masih berkembang.

Memang ada ayat Al qur'an yang berbicara soal fa'i,  sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Hasyr ayat 7:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan:
Firman Alloh ta'ala ini menjelaskan tentang makna fa'i, sifat dan hikmahnya.  Fa'i adalah segala harta benda yang dirampas dari orang - orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa mengerakkan kuda maupun unta.  Seperti harta bani Nadhir, dimana kaum muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda dan unta, artinya mereka dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan ke dalam hati mereka karena Wibawa Rasulullah saw.  Kemudian Allah memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul- Nya.

Mari kita teliti dengan benar ayat dan tafsir tentang fa'i,  sangat jelas bahwa fa'i  yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw adalah mengambil harta orang - orang kafir tanpa mengerahkan kekuatan sedikitpun, karena harta itu sudah ditinggalkan oleh mereka.  Namun fa'i yang belakangan terjadi secara masif dikalangan yang mengaku sebagai gerakan islam sudah sangat jauh berbeda. Fa'i dilakukan dengan cara mengerahkan kekuatan dengan senjata dan mendatangi orang yang dianggap kafir untuk dijarah hartanya,  padahal harta itu tidak ditinggalkan oleh pemiliknya. Maka wajar kemudian terbentuklah opini bahwa itu sebuah perampokan bersenjata. Dan memang itu adalah perampokan yang kemudian dibenarkan dengan memaksakan dalil dari Qur'an.  Maka akhirnya tercemarlah keindahan ajaran Islam oleh ulah tangan segelintir orang Islam yang memiliki faham yang salah tentang ajaran Islam.
Wallohu a'lam bish shawab

Haris Amir Falah

#muslimsejati.
#muslimcintadamai.

Minggu, 21 Oktober 2018

MENGHADIRKAN KEMBALI KERUKUNAN

Intoleransi masih kerap dilakukan oleh orang-orang yang memiliki penyakit akut dalam keberagaman. Kasus-kasus baru selalu saja hadir, membuat kita perlu membuat langkah yang lebih baik untuk menanganinya. Dua peristiwa terakhir dapat menggambarkan problem keberagaman di masyarakat. Berdasarkan laporan tempo.co, Pada Jumat, 12 Oktober 2018, sekelompok orang merusak persiapan acara yang akan digunakan untuk upacara sedekah laut di Pantai Pandansimo, Bantul, Yogyakarta.Kegiatan sedekah laut sejatinya akan dilaksanakan Sabtu, 13 Oktober 2018. Selain merusak perlengkapan adat sedekah laut, kelompok ini juga memasang spanduk dengan tulisan “Kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya”.
Hanya dalam kurun waktu 3 hari, kembali hadir tindakan intoleransi. Pada 15 Oktober 2018, terjadi upaya pengusiran terhadap salah seorang tokoh agama yang akan memberi ceramah di Manado. Puluhan orang, yang mengklaim merupakan kumpulan ormas adat, berdatangan ke Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, untuk menolak kehadiran tokoh tersebut. Meskipun aksi ini merupakan respons atas ketidaksepakatan terhadap pandangan tokoh itu, tetap saja upaya pengusiran paksa -dengan melibatkan massa- tidak bisa dibiarkan. Hal ini justru akan memicu aksi-aksi tandingan sehingga menutup ruang dialog. Masyarakat sipil terlarang melakukan tindakan yang bukan menjadi wewenangnya. Kejadian ini pun dapat mencoreng citra Manado yang kerap dianggap sebagai daerah yang toleran. Sekedar informasi, Setara Institut pernah merilis Indeks Kota Toleran 2017. Dan Manado menjadi salah satu kota dengan skor indeks toleransi tertinggi yaitu sebesar 5,90 poin.
Dua kejadian di atas tidak akan terjadi jika dua pihak yang berbeda pendapat tidak memelihara egonya masing-masing. Mampu menahan diri dan berlapang dada terhadap perbedaan. Sebab keberagaman merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, kemajemukan perlu dikelola dengan cara beradab. Jika ada suatu hal yang bertentangan dengan keyakinan kita, tidak perlu menganggap pihak tersebut salah. Karena bagi mereka, pandangan kita yang justru menyimpang. Perbedaan perspektif ini perlu dikomunikasikan sehingga muncul sikap lapang dada menerima pihak lain. Jika tidak, akan terus terjadi konflik dan permusuhan akibat ketidakmampuan menerima panndangan berbeda. Saling merasa sebagai pihak yang benar dan harus diikuti.
Langkah di atas merupakan gerbang awal untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang damai dan sejahtera. Hidup bersama dalam suasana tenang dan nyaman. Tidak terganggu oleh perilaku-perilaku intoleran yang makin membuat “panas” bumi ini. Masing-masing bebas menjalankan pandangan dan keyakinannya tanpa khawatir akan diganggu oleh kelompok-kelompok yang ingin memaksakan ide-idenya. Apalagi bangsa ini secara tegas menyatakan menjamin kebebasan berekspresi warga negaranya. Selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, maka negara wajib menjaminnya.
Kita semua berkeinginan kuat agar Indonesia dapat terus menjadi negara yang penuh kedamaian. Memiliki tradisi mumpuni dalam mengelola keanekaragaman masyarakatnya. Apalagi penduduk negeri ini kadung dikenal sebagai pribadi yang toleran. Dan perilaku ini telah mendarah daging dan menjadi bagian dari jati diri warganya. Bahkan jauh sebelum negara Indonesia hadir, perilaku toleran selalu ditunjukkan dalam keseharian. Tengok saja bagaimana masyarakat nusantara merespons hadirnya pandangan-pandangan yang baru dan berbeda. Tidak seganas dan sebrutal saat ini. Warisan keteladanan sikap inklusif ini yang perlu ditangkap dan dilestarikan. Sekaligus diturunkan kepada generasi muda. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang damai dan toleran.
Untuk menciptakan hal tersebut, dibutuhkan usaha yang besar dan kuat. Tidak berserah diri hal tersebut akan datang begitu saja. Mengupayakan segenap tenaga agar perdamaian hadir di masyarakat. Koffeman, seperti dikutip Suhadi (2018:6), menyatakan bahwa dalam kompleksivitas sosial dan politik yang berkembang, toleransi akan menemukan tantangan barunya. Toleransi yang sekedar basa-basi tidak akan memadai lagi, karena akan rentan dan goyah. Maka dibutuhkan toleransi yang mahal karena mensyaratkan kesediaan kesediaan untuk menerima satu sama lain dengan sepenuhnya. Dengan catatan, perbedaan tersebut tidak menyebabkan kekerasan. Dibutuhkan kesediaan untuk mengendalikan diri, bukan karena takut akan pembalasan, tetapi keluar untuk menghormati orang-orang dengan pandangan lain tersebut.
#muslimsejati

Sabtu, 20 Oktober 2018

Makna Resolusi Jihad Menurut Bupati Tegal

Tegal, NU Online
Pelaksana Tugas Bupati Tegal Hj Umi Azizah mengatakan, adanya kirab resolusi jihad mengandung makna bahwa pemerintah RI tidak hanya mengajak seluruh Warga Negara Indonesia untuk mengenang jasa para alim ulama, para kiai, dan santri terhadap lahirnya Negara kita tercinta Indonesia. 

Hal itu dikatakan Hj Umi Azizah saat menyambut kirab Resolusi Jihad RMI NU Kabupaten Tegal di Pendopo Kecamatan Balapulang, Jumat (19/10).

"Yang penting adalah mengajak seluruh komponen masyarakat Indonesia, bahwa Indonesia tidak akan mungkin lahir Ketika tidak ada kebersamaan dari seluruh komponen yang ada termasuk di dalamnya jika tidak ada para alim, ulama dan santri," tandasnya.

Untuk itu, kata Umi, kewajiban kita terhadap perjuangan para pendahulu. Yakni Mari kita terus bersatu padu, bahu membahu sesuai kemampuan kita, merawat dan menjaga hasil perjuangan yang tidak lain adalah mengamankan dan menjaga kondusifitas NKRI.

"Karena keamanan adalah pilar untuk mewujudkan cita-cita mulia para pendiri bangsa yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945," ujarnya

Bupati yang juga Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Tegal itu berharap, dengan resolusi jihad ini, semangat kita dalam berkebangsaan dan bernegara semakin kokoh dan kuat. Ghirah semangat kita untuk mengibarkan cita-cita mulia para alim ulama semakin meningkat. Mudah-mudahan ke depan dapat kita wujudkan bersama.

"Indonesia hebat Indonesia maju. Dengan santri Insyaalloh Indonesia kuat. Bersama santri Indonesia semakin maju," pungkasnya.

Hadir dalam kesempatan itu Ketua RMI NU Kabupaten Tegal KH Syamsul Arifin, Plt Camat Balapulang Fakihurrokhim, Muspika Balapulang, Pengurus MWC NU Kecamatan Balapulang, pengurus badan Otonom dan ratusan nahdliyyin setempat. (Nurkhasan/Muiz

Jumat, 19 Oktober 2018

Pentingnya Integrasi Pelajaran Agama dan Kebangsaan di Sekolah

Oleh M Haromain
Di antara problem bidang pendidikan di sekolah formal yang belum terselesaikan adalah belum adanya interkoneksi secara harmonis antar matapelajaran (mapel), khususnya mapel Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama Islam. Maka patut dipertanyakan, sudah tepatkah konten materi mapel Pendidikan Pancasila atau PKN untuk menanamkan rasa nasionalisme dan patriotisme peserta didik seraya juga membentuk kepribadian dan sikap religius peserta didik? Sudah tepatkah mapel PAI sebagai materi yang membekali siswa menjadi manusia yang taat beragama dan menjalankan syariat agama dengan benar, tapi sekaligus juga menjadi warga negara yang baik, punya rasa kebangsaan dan mencintai tanah air Indonesia?

Terbentuknya integrasi dan jalinan yang harmonis pada dua mapel di atas merupakan hal krusial, pasalnya kedua mapel ini termasuk berkaitan dengan ideologi dan falsafah hidup yang akan dipegang peserta didik sampai kelak ketika mereka sudah menjadi masyarakat dan warga bangsa. Munculnya paham radikal dalam beragama, tetap bertumbuhnya sel-sel jaringan terorisme di antaranya akibat krisis dalam bidang ini.

Realitas yang kita saksikan di lapangan yaitu tidak sedikit anak-anak muda yang mengalami kegalauan, bingung memosisikan diri, pada satu sisi sebagai orang Islam, dan sisi lain sebagai orang Indonesia. Padahal mereka sudah mendapatkan materi PKN dan PAI selama di bangku sekolah. Pelajaran PKN mendoktrin agar menjadi orang Indonesia sejati, namun di pelajaran agama mengajarkan cinta Islam di atas segala-galannya. Akibat kesalahan meramu dua mapel ini banyak siswa menjadi ekstrem pada salah satunya, sebagian menjadi nasionalis tapi antipati pada agama, sebagian lain fanatik pada agama namun mengabaikan pentingmya kebangsaan dan cinta tanah air. 

Di samping masalah perpaduan materi yang tidak harmoni, kadang diperparah oleh ketiadaan kompetensi guru. Misalnya guru PKN kurang menguasai materi agama dan sebaliknya Guru PAI minim wawasan kebangsaannya. Sehingga gagal menciptakan kohesi diantara dua mapel tersebut, tidak menyambung, masing-masing  subyek pelajaran terpisah.

Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran yang tematik-integratif antar mata pelajaran terutama pelajaran yang berbasis agama dan kewarganegaraan perlu diusahakan untuk menjembatani problem di atas. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan dan pemilahan materi-materi yang tepat, antara lain meniadakan materi pelajaran agama pada topik tertentu yang rawan membangkitkan kebencian pada pemeluk agama lain, merevisi konten materi yang mengandung benih ajaran radikal sebagaimana beberapa tahun lalu ditemukan pada beberapa buku teks pelajaran agama. Juga tak kalah pentingnya adalah bekal penguasaan guru yang memadai pada dua bidang mapel ini. Dengan demikian guru PKN dituntut juga mendalami disiplin ilmu agama, sebaliknya guru PAI pun wajib memperluas wawasan kebangsaaannya.

Ke depan Kita berharap pihak pengembang kurikulum supaya mendesain dan memilih materi PAI dan PKN yang ideal sehingga melahirkan generasi yang satu sisi punya patriotisme dan nasionalisme Indonesia, namun pada saat yang sama juga berjiwa religius, patuh aturan agama.

Untuk mewujudkan harapan seperti itu hal penting untuk dimasukkan ke dalam materi PAI dan PKN adalah aspek-aspek pemahaman keislaman yang berkaitan dengan religiositas, nasionalisme, pluralisme dan humanisme, selain materi yang sudah lazim diberikan seperti fiqih, akidah, adab, tajwid dls. karena Aspek-aspek tersebut sebenarnya sudah termaktub secara inheren dalam ajaran Islam. Jadi anak didik -yang nantinya akan menjadi seorang muslim dewas-dituntut dapat mengejawantahkan aspek-aspek tersebut. Menjadi muslim Indonesia berarti juga berjuang demi kejayaan tanah air Indonesia.

#muslimsejati
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/77729/pentingnya-integrasi-pelajaran-agama-dan-kebangsaan-di-sekolah

Kamis, 18 Oktober 2018

Antisipasi Bahaya Paham Radikalisme


BANGKAPOS.COM, BANGKA--Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bangka mewaspadai bahaya radikalisasi agama yang bisa terjadi di Kabupaten Bangka.
Apalagi pengeboman sudah terjadi dibeberapa daerah seperti Bom Bali I tahun 2012, JW Mariot tahun 2003, Kedubes Australi 2004, Bom Bali II tahun 2005, JW Marriot dan Ritz Carlton tahun 2009, Masjid Az-Dzikra Cirebon tahun 2011, Sarinah Jakarta tahun 2016, Mapolresta Solo tahun 2016, Kampung Melayu tahun 2017 serta Surabaya dan Sidoarjo tahun 2018.
Untuk menyikapi maraknya paham radikalisme ini MUI Kabupaten Bangka mengelar sosialisasi bahaya radikalisme agama, Kamis (18/10/2018) di Hotel Manunggal Sungailiat.
Kita yakin di Bangka tidak seperti di daerah lainnya tetapi kita harus waspada tentang menyikapi ini," ungkap Husin Djais selaku Ketua Panitia Sosialisasi Bahaya Radikalisme Agama di Kabupaten Bangka kepada bangkapos.com.
Diakuinya untuk di Kabupaten Bangka secara kasatmata benih-benih radikalisme ini belum ada tetapi dari gejala paham radikal sudah mulai tampak di media sosial (medsos) dimana ada oknum yang tidak bertanggung menyebarkan hoax, ujaran kebencian dan lainnya yang menimbulkan keresahan di masyarakat.
"Kalau kita tidak antisipasi seperti ini mungkin nanti akan meluas. Untuk itu MUImengambil gagasan kita ambil momen ini apalagi sekarang tahun politik harus berhati-hati," kata Husin.
Melalui sosialisasi ini MUI ingin mengambil peran agar umat Islam tidak terkotak-kotak tidak terbelah hanya karena isu-isu negatif.
"Radikalisme tidak hanya pada muslim, semua potensinya ada disemua agama. Jadi kita tidak menyudutkan Islam sebagai agama yang dicap atau disampel bahwa Islam yang ada radikalisme semua ada potensi. Jadi kita menolak itu. Islam itu sebenarnya Rahmatan Lil Alamin (Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia)," tegas Husin.
#muslimsejati
Sumber :http://bangka.tribunnews.com/2018/10/18/mui-bangka-antisipasi-bahaya-paham-radikalisme

Rabu, 17 Oktober 2018

Lawan Radikalisme dengan 4 Senjata Penangkal

Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi`i Ma`arif menyebutkan bahwa gerakan radikal Islam memang ada di Indonesia. Faktor kemunculannya bisa berbagai macam, mulai dari kekuasaan yang otoriter, rasa keadilan yang tidak ada, hingga berkembangnya penyakit sosial di masyarakat. Namun, ada juga radikalisme yang lahir dari sebuah rekayasa. Artinya keberadaannya sengaja dibentuk oleh kelompk trtentu untuk tujuan tertentu
Kelompok radikal adalah orang-orang nekat yang tak mampu memetakan masa depan dirinya. Mereka kecewa dengan situasi yang tak kondusif. Mereka juga kesal dengan tersumbatnya saluran komunikasi. Itulah sebabnya, mereka muncul menjadi gerakan radika.
Lantas, apakah radikalisme akan menjadi terorisme? Memang harus dibuktikan dengan kajian mendalam. Sebab, radikalisme bisa saja dilakukan secara perorangan, berkelompok, atau bahkan oleh suatu negara. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif untuk melihat keterkaitan antara radikalisme dan terorisme. Karena terorism, tidak hanya dilakukan melalui tindakan berbasis keagamaan, bisa juga oleh basis-basis lain seperti ketidakadilan, kemiskinan atau diskriminasi terhadap sebuah kelompok.
Ini juga bisa kita lihat dari sejumlah peristiwa peledakan bom yang terjadi, motif bernuansa agama memang tak bisa dipungkiri. Namun, motif-motif lain seperti kriminal murni dan lainnya juga ada. Radikalisme memang memungkinkan untuk menjadi terorisme. Logikanya radikal belum tentu teroris tapi teroris pasti radikal. Demikian pula jika terjadkonflik horizontal yang bersikap radikal belum bisa dipastikan menjadi teror. Namun, jika tindakan tersebut telah merisaukan dan menganggu fasilitas umum maka tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai terorisme.
Dalam konteks lain, teror sejatinya tidak semata-mata hanya peledakan bom, tapi juga teror lainnya yang mengancam rasa aman masyarakat. Termasuk dalam kategori teror ini adalah bahaya narkoba, penganguran, penggusuran, dan lain-lain. Namun, point yang cukup penting adalah bagaimana upaya untuk memutus mata rantai radikalisme berkembang menjadi terorisme, yakni dengan membangun kesadaran bersama, bahwa baik radikalisme maupun terorisme sebagai musuh bersama.
Selain itu, untuk mereduksi berkembangnya radikalisme menjadi terorisme tak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan (security approach) semata. Harus ada pendekatan lain semacam pendekatan kemanusiaan. Apa pasal? Karena radikalisme dan terorisme seringkali bersumber tidak dari aspek yang tunggal, tapi dari sumber yang multi aspek.
Kemudian diperlukan 4 buah senjata penangkal untuk membendung perkembangan radikalisme maupun terorisme.
Pertama, adalah memperkuat semangat kebangsaan Pancasila. Pancasila sebagai ideologi nasional merupakan kumpulan nilai yang diyakini kebenarannya oleh Bangsa Indonesia dan digunakan untuk menata masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dapat dijadikan dasar dalam motivasi dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Dan, ini diyakini akan mampu mengikis paham radikalisme maupun terorisme.
Kedua, memoderasi pemahaman keagamaan dengan toleran terhadap sesama. Sebagai bangsa yang terdiri dari ribuan pulau dan beragam suku bangsa, kita harus memupuk rasa toleransi terhadap siapapun yang berada di wilayah nusantara ini. Dengan demikian akan menjauhkan dari sikap menang sendiri dan ego golongan atau kelompok, karena kita memang dilahirkan berbeda-beda.
Ketiga, memperkaya wawasan dengan kearifan lokal.Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, pandangan hidup (way of life) dan kearifan hidup. Kearifan lokal itu tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat dikatakan bersifat lintas budaya atau lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat nasional. Dengan kearifan lokal dan budaya Indonesia akan mampu menangkal paham radikalisme.
Keempat, mewaspadai gerak-gerik mereka yang dipandu dengan database individu, kelompok dan jaringan radikalisme yang akurat. Untuk yang ke empat ini, motor utamanya adalah aparat penegak hukum termasuk juga badan nasional penanggulangan terorisme.
Bila empat senjata penangkal ini terus digerakkan oleh seluruh komponen masyarakat bangsa, maka perkembangan radikalisme maupun terorisme akan mengalami kesulitan untuk menemukan bentuknya. Sebab, mereka akan ‘layu’ sebelum mengembangkan dirinya