Minggu, 23 Juni 2019


Saling Memaafkan Jalan Mencapai Kemuliaan


0
16

Terkadang ada kesalahan yang sulit di maafkan meski kita semua sudah tahu bahwa Tuhan pun maha pemaaf, apakah kita hambanya tidak bisa memberi maaf meski hati telah membenarkan bahwa memaafkan adalah suatu hal yang sangat mulia daripada membalas seseorang dengan kebencian, sebuah ilustrasi ketika seseorang yang kita kenal dekat atau seseorang yang kita cintai mengucapkan kata yang tak pantas atau melakukan pengkhianatan dibelakang kita, pasti akan sakit hati sebab tiap orang punya sisi manusiawi
bahwa hati adalah wadah, yang menampung perasaan, senang, sedih, jatuh cinta dan sakit hati jadi tiap apa yang terlihat oleh mata yang terdengar oleh telinga, dan terlintas dipikiran akan tersampaikan dan hati akan merasakan. Namun kembali lagi bagaimana seseorang bisa pandai dalam menempatkan perasaaanya sehingga tidak mudah terbawa dan menyalahkan seseorang.
Perlu disadari bahwa setiap dari manusia memiliki ego, ada yang sadar ketika ia melakukan kesalahan tapi gengsi untuk meminta maaf, dan ada yang meminta maaf secara tulus namun orang yang dimintai maaf belum bisa memaafkan karena masih memendam sakit hati, itu semua kembali lagi ke pribadi masing-masing akan tetapi perlu kita ingat bahwa meminta maaf adalah perbuatan yang terpuji, sebab dengan menyadari kesalahan seseorang bisa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya, dengan tidak mengulangi kesalahan yang telah ia perbuat.
Dan begitupun orang yang mudah memaafkan akan menjadi orang yang lebih mulia di hadapan manusia dan dihadapan Tuhan, sebab menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan setiap darinya pasti pernah melakukan kesalahan termasuk diri sendiri.
Kita juga perlu belajar dari kisah nabi, dimana beliau ketika menyebarkan dakwah di Thaif, berharap dakwahnya di terima oleh penduduk pada saat itu, tapi malah diperlakukan sebaliknya bahkan nabi sampai dilempari batu dan yang lebih tidak manusiawi lagi beliau dilempar kotoran, tapi apakah dengan perlakuan tersebut nabi menjadi benci terhadap orang-orang yang memperlakukannya seperti itu? padahal nabi bisa saja membalas perlakuan mereka dengan mengadu kepada Allah agar mereka ditimpakan azab, akan tetapi karena kebaikan dan kemuliaan hati nabi, beliau hanya bersabar dan malah mendoakan yang terbaik untuk orang-orang tersebut agar supaya bisa bertaubat dan kembali kejalan Allah.
Baca Juga:  Menelusuri Epistemologi Faidhul Barākat Fī Sab’il Qirā’at
memang sulit untuk bersikap seperti nabi terhadap orang-orang tersebut akan tetapi tetap harus di usahakan jika kita memang mencintai nabi,berarti kita mengupayakan untuk mengikuti nilai-nilai moral yang telah diajarkan oleh nabi. lagi-lagi meminta maaf dan memaafkan adalah dua hal yang sangat sulit untuk dilakukan bagi sebagian orang, baik karena rasa gengsi dan sakit hati, akan tetapi orang yang sebenarnya mudah memaafkan bukanlah orang yang lemah, justru ia adalah orang yang mulia, dimana ketika orang itu sebenarnya mampu untuk membalas tetapi ia lebih memilih bersabar dan berdamai maka sejatinya ia adalah orang yang dimuliakan, sebagaimana sabda nabi
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Artinya : Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.(HR.Muslim No. 4689)
Menjadi pemaaf bukan berarti takut atau pengecut akan tetapi lebih memilih untuk berdamai agar saling mengeratkan ikatan persaudaraan daripada bermusuhan, sebab harus disadari bahwa tanpa orang lain maka kita tak ada apa-apanya dan bukanlah siapa-siapa.
Dan Allah berfirman dalam Qur’an Surah Asy-Syura ayat 40.
Artinya: Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS: Asy-Syura: 40)
Sudah jelas bahwa orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain maka akan diberikan ganjaran pahala oleh Allah, itulah janji Allah yang pasti bagi hambanya. Sebab apa bedanya kita jika membalas kejahatan dengan kejahatan pula, hanya akan menambah permasalahan, adapun jika orang tersebut terus saja mengulangi kesalahannya maka sekali-kali perlu diberikan pelajaran agar supaya ia sadar bahwa perbuatannya tidak mencerminkan dirinya sebagai manusia yang punya hati nurani.
Baca Juga:  Berita Hoax Ancam Negara Demokratis
Maka dari itu perlu untuk menguatkan hati agar tidak mudah sakit hati, sadari bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan termasuk diri sendiri, sebaik-baik dari kita mengakui kesalahan dan sadar untuk tidak mengulanginya kembali, menyadari kesalahan dengan meminta maaf tidak menurunkan derajat kemanusiaan dan memberi maaf bukan berarti lemah sebab memaafkan adalah perbuatan yang mulia.wallahu a’lam

Sumber : https://www.harakatuna.com/saling-memaafkan-jalan-mencapai-kemuliaan.html

Senin, 10 Juni 2019

Indonesia Tanpa Radikalisme Agama

Indonesia Tanpa Radikalisme Agama 




0
3

 
Berkali-kali tantangan kebangsaan dipecah belah akibat isu dan peristiwa radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme agama yang makin akut di pelbagai penjuru negeri yang ada di dunia, hingga merambah ke negara Indonesia tanpa terkecuali. Sungguh gerakan atau kelompok radikalisme agama bukan lah sesuatu yang main-main. Karena itu, ibarat bola api yang sangat berbahaya bagi negara Indonesia yang bukan negara Islam (darul Islam).
Tetapi radikalisme agama adalah masyarakat agama yang punya cara pandang yang sangat berbeda dalam menyikasi isu-isu ekonomi, sosial, politik, dn agama, khususnya agama Islam yang ada di Indonesia, sebab kelompok radikalisme punya pola memahami agama denga secara tekstual, tetapi bukan dengan sentuhan-sentuhan yang bersifat kontekstual. Sehingga, dengan paham radikalisme ini berpotensi keluar dari zona keagamaan yang penuh keamanan, dan kenyamanan.
Padahal dengan suasana saat ini agama dapat melahirkan situasi yang tentram, penuh kerukunan hingga bisa menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh rahmah. Dengan demikian, Islam tidak dicap kali sebagai kelompok yang kerap punya paham radikalisme terhadap masyarakat yang berbeda keyakinan.
Tercatat sepanjang Indonesia merdeka sampai hari ini, isu radikalisme agama tak kunjung padam diperbincangkan baik dalam polemik skala nasional maupun internasional, maka dari itu Islam di Indonesia sebagai bentuk pemurnian dalam memahami agama secara kompleks (tekstual-kontekstual) berkat peran organisasi masyarakat (Ormas). Antara lain, adalah Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Dalam subuah buku yang ditulis tim SETARA Institute berjudul (Dari Radikalisme Menuju Terorisme: 2012), menegaskan, “meyakini bahwa radikalisme bukan hanya membahayakan bagi pemajuan pluralisme dan toleransi beragama/berkeyakinan tapi juga berpotensi mengancam stabilitas keamanan dan integritas sebuah bangsa”. Artinya, radikalisme dapat ditafsirkan sebagai kelompok yang sangat mengancam masa depan negara Indonesia sebagai negara kedamaian (darul Islam).
Problematika Radikalisme
Selain munculnya isu-isu politis terkait radikalisme agama adalah suatu problem, ia juga merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Kenapa harus Islam? Karena Islam sebagai agama yang penuh rahmah selalu dijadikan dalang penyebaran wacana radikalisme. Padahal, faktanya tidak demikian Islam secara terus-menerus yang menyebarkan maupun sebagai aktornya.
Menurut hemat penulis, terdapat dua hal yang merusak citra agama Islam sehingga dianggap sebagai mobilitator paham radikalisme. Pertama, hadirnya kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam karena alasan untuk berjihad. Kedua, Islam kerap menjadi sasaran utama dalam setiap terjadinya invasi terorisme pada umumnya. Meskipun, umat Islam sendiri betul-betul tidak terbukti melakukan hal tersebut.
Jika isu ini ditilik dari perspektif sosial, politik, dan historis, radikalisme agama memang sebenarnya bertumpu dan punya misi ancaman terhadap keamanan, kenyamanan, dan kerukunan umat agama, terutama terhadap stabilitas keamanan negara dimana hal itu yang selalu manjadi kecenderungan sebagai landasan awal untuk mencari pembenaran.
Tampaknya dengan radikalisme agama yang tambah masif di Indonesia, karena Islam di Indonesia kehilangan nilai keasliannya semenjak tidak mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial-politik lokal. Dari sisi ini, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah tampak berkomitmen mempertahankan negara berasaskan pada Pancasila sebagai ideologi yang final.
Darus Salam Vs Darul Islam
Darus Salam punya pengertian dalam bahasa Arab yang sangat normatif, “ad-Darus artinya negara”. Sedangkan, “as-Salam artinya damai”, jika dua kalimat tersebut bersatu maka itu adalah bentuk keniscayaan. Yaitu, adalah negara yang damai, setiap negara tentu akan ada peran agama yang selalu ingin mewujudkan perdamaian.
Dan yang paling penting domain negara Indonesia tidak lepas afiliasinya dari NU, dan Muhammadiyah. Karena peran keduanya sangat berjasa bagi tatanan negara Indonesia yang telah menjadikannya sangat menjunjung tingi keberagaman, perbedaan, dan kelompok minoritas. Dengan hal itu, Indonesia selalu ada dalam wilayah yurisdiksi yang aman dan peduli terhadap dimensi kemanusiaan.
Sedangkan Darul Islam dapat diartikan negara Islam dimana tatanan tersebut adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok Islam salafi yang berambisi menjauhkan budaya dan politik lokal dari variasi keagamaan. Bahkan, negara Islam seolah-olah menjadi tuntutan untuk merubah Indonesia menjadi negara punya pemahaman agama yang sangat tekstualis, skriptualis, dan ekstremis.
Dalam konteks saat ini, radikalisme agama tampak hadir hanya bertindak ekstrem atas dasar ketidakdilan, dan lain sebagainya. Sungguh dasar yang demikian sangat tidak relevan jika diaktualisasikan dengan negara Indonesia yang amat kuat dengan kerukunan, dan perbedaan. Sebab itu, perbedaan itu ibarat pelangi yang terlihat indah. Sehingga, perlu diwaspadai khususnya umat Islam agar tidak sembarangan berkomplot dengan golongan yang memahami agama Islam secara radikal (tekstualis, skriptualis, ekstremis).
Mari Menghindar dari Radikalisme Agama
NU dan Muhammadiyah telah final dan sepakat jika negara Indonesia dijadikan negara yang berasaskan Pancasila, secara substansi agama punya peran penting dalam membesarkan budaya. Sedangkan, Islam dan Pancasila adalah menanamkan simbol-simbol persatuan. Yaitu, dimensi keislaman dan keindonesiaan yang dirumuskan dalam konsep kebangsaan dan kenegaraan.
Solusinya Indonesia bisa hidup tanpa radikalisme agama jika mengikuti pendapat Abdurrahman Mas’ud dalam buku (Radikalisme Agama & Tantangan Kebangsaan: 2014), bahwa “fenomena radikalisme yang ada di Indonesia sebaiknya disikapi sebagai wake up call yang menyadarkan seluruh komponen bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha-usaha early warning system, pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh”.
Oleh: Hasin Abdullah, peneliti Muda Bidang Hukum UIN Jakarta, sekaligus Alumni SMA-Tahfidz Darul Ulum Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan.
Sumber : https://www.harakatuna.com/indonesia-tanpa-radikalisme-agama.html

Menyikapi Demontrasi dengan Asas Kemanusian Yang Adil Dan Beradab Post Pagination

Pancasila merupakan dasar negara yang merekatkan seluruh komponen masyarakat Indonesia yang berbeda suku, budaya dan bahasa. Terbukti dengan adanya pancasila keberagaman di Indonesia dapat dirajut dengan baik.
Hal ini memang karena pancasila disusun oleh para pendiri bangsa yang terdiri dari cendekiawan nasionalis dan ulama yang sangat visioner dan mampu mengalahkan egonya masing-masing demi tercapainya persatuan Indonesia.
Pancasila pada hakekatnya merupakan pergumulan dari nilai-nilai warisan budaya, adat dan agama yang dicari sarikan dan kemudian diramu sedemikian rupa sehingga terbentuklah lima sila seperti yang kita ketahui saat ini.
Sila kedua dalam pancasila adalah kemanusian yang adil dan beradab, sila ini mendasari terciptanya dan terbentuknya manusia yang mengedepankan nilai kemanusiaanya dan mengedepankan akhlaknya. Pada dasarnya sila ini sangat bersesuaian dengan visi diutusnya Nabi Muhammad ke dunia melalui sabdanya yaitu, Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak sempurna.
Sila kedua pancasila dan visi diutusnya Nabi Muhammad pada intinya adalah sama yaitu akhlak atau adab. Dengan demikian membentuk pribadi manusia Indonesia yang beradab dan bermartabat merupakan ujuan didirikanya negara Indonesia sekaligus merupakan hakekat dari ajaran Islam itu sendiri.
Sila kedua pancasila ini juga menunjukan manifestasi bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang terkenal dengan sopan santunya, terkenal dengan toleransinya, terkenal dengan keramahanya dan terkenal denga agungnya akhlak.
Namun demikian secara perlahan sila kedua pancasila ini mulai luntur dilaksanakan, bangsa Indonesia hanya hapal saja sila tanpa lagi mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Terlebih dengan menguatnya politik identitas akhir-akhir ini, kemanusiaan yang adil dan beradab ini semakin terkoyak habis-habisan, tidak sedikit para elit politik yang melakukan segala cara untuk mencapai sahwat politiknya bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia Indonesia.
Gusdur pernah mendasari kehidupan politik kita, beliau berkata bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Itu artinya akhlak dan adab untuk menjaga manusia Indonesia harus diutamakan dari hal apapun.
Sila kedua ini semakin terkoyak lagi dengan diadakannya demo berjilid-jilid yang merusak tatanan kehidupan hukum dan sosial di Indonesia, mereka yang berdemo beranggapan bahwa yang kuat adalah yang menang sehingga norma hukumpun mereka langgar. Mereka rela melawan hukum-hukum konstitusi karena tidak sesuai dengan ekpekstasi politik mereka. Yang ada mereka melakukan segala cara yang penting bisa berkuasa. Ini jelas sangat menciderai Ahlak yang termaktub dalam sila kedua.
Terlebih lagi mereka demo dengan mengenakan identitas Islam, mengaku membela Islam padahal yang mereka bela benar-benar politik dan kekuasaan. Mana ada dalil dalam Islam yang menyerukan jihad untuk memenangkan salah satu paslon dalam pemilu, yang ada bukan jihad melainkan sikap jahat.
Kalimat takbir yang mendamaikan mereka ungkapkan dengan kebengisan politik, kalimat takbir yang menyejukan mereka teriakan dengan ungkapan sinis, kalimat takbir yang begitu indah mereka ungkapkan dengan penuh rasa marah. Pada hakikatnya hal seperti inilah yang menyimpang dari visi Islam itu sendiri yaitu untuk menyempurnakan ahlak dan menyimpang dari sila kedua pancasila yaitu ahlak.
Ditambah lagi mereka kehilangan kata-kata sopan dan santun dalam menyampaikan Aspirasinya, mereka gunakan kata-kata yang tidak senonoh untuk menghujat siapa-siapa saja yang dianggap lawan, bahka elit politik yang seharusnya mendapaikan malah mengeluarkan kata-kata jorok untuk memprovokasi masyarakat.
Jelas ini semua menciderai sila kedua pancasila yaitu manusia yang beradab, contoh-contoh diatas tidak mencerminkan manusia Indonesia dalam melaksanakan pergaulan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan politik, mereka telah kehilangan adab dalam praktek kehidupannya.
Dengan demikian menjadi manusia beradab adalah tujuan negara Indonesia dan juga merupakan visi agama Islam itu sendiri, oleh karenanya marilah kita menjadi manusia beradab dengan mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dengan menjaga tuturkata dan tingkah laku sesuai dengan pedoman agama dan warisan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Sumber : https://www.harakatuna.com/menyikapi-demontrasi-dengan-asas-kemanusian-yang-adil-dan-beradab.html

Indonesia Tanpa Radikalisme Agama

Indonesia Tanpa Radikalisme Agama 



0
3

Berkali-kali tantangan kebangsaan dipecah belah akibat isu dan peristiwa radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme agama yang makin akut di pelbagai penjuru negeri yang ada di dunia, hingga merambah ke negara Indonesia tanpa terkecuali. Sungguh gerakan atau kelompok radikalisme agama bukan lah sesuatu yang main-main. Karena itu, ibarat bola api yang sangat berbahaya bagi negara Indonesia yang bukan negara Islam (darul Islam).
Tetapi radikalisme agama adalah masyarakat agama yang punya cara pandang yang sangat berbeda dalam menyikasi isu-isu ekonomi, sosial, politik, dn agama, khususnya agama Islam yang ada di Indonesia, sebab kelompok radikalisme punya pola memahami agama denga secara tekstual, tetapi bukan dengan sentuhan-sentuhan yang bersifat kontekstual. Sehingga, dengan paham radikalisme ini berpotensi keluar dari zona keagamaan yang penuh keamanan, dan kenyamanan.
Padahal dengan suasana saat ini agama dapat melahirkan situasi yang tentram, penuh kerukunan hingga bisa menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh rahmah. Dengan demikian, Islam tidak dicap kali sebagai kelompok yang kerap punya paham radikalisme terhadap masyarakat yang berbeda keyakinan.
Tercatat sepanjang Indonesia merdeka sampai hari ini, isu radikalisme agama tak kunjung padam diperbincangkan baik dalam polemik skala nasional maupun internasional, maka dari itu Islam di Indonesia sebagai bentuk pemurnian dalam memahami agama secara kompleks (tekstual-kontekstual) berkat peran organisasi masyarakat (Ormas). Antara lain, adalah Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Dalam subuah buku yang ditulis tim SETARA Institute berjudul (Dari Radikalisme Menuju Terorisme: 2012), menegaskan, “meyakini bahwa radikalisme bukan hanya membahayakan bagi pemajuan pluralisme dan toleransi beragama/berkeyakinan tapi juga berpotensi mengancam stabilitas keamanan dan integritas sebuah bangsa”. Artinya, radikalisme dapat ditafsirkan sebagai kelompok yang sangat mengancam masa depan negara Indonesia sebagai negara kedamaian (darul Islam).
Problematika Radikalisme
Selain munculnya isu-isu politis terkait radikalisme agama adalah suatu problem, ia juga merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Kenapa harus Islam? Karena Islam sebagai agama yang penuh rahmah selalu dijadikan dalang penyebaran wacana radikalisme. Padahal, faktanya tidak demikian Islam secara terus-menerus yang menyebarkan maupun sebagai aktornya.
Menurut hemat penulis, terdapat dua hal yang merusak citra agama Islam sehingga dianggap sebagai mobilitator paham radikalisme. Pertama, hadirnya kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama Islam karena alasan untuk berjihad. Kedua, Islam kerap menjadi sasaran utama dalam setiap terjadinya invasi terorisme pada umumnya. Meskipun, umat Islam sendiri betul-betul tidak terbukti melakukan hal tersebut.
Jika isu ini ditilik dari perspektif sosial, politik, dan historis, radikalisme agama memang sebenarnya bertumpu dan punya misi ancaman terhadap keamanan, kenyamanan, dan kerukunan umat agama, terutama terhadap stabilitas keamanan negara dimana hal itu yang selalu manjadi kecenderungan sebagai landasan awal untuk mencari pembenaran.
Tampaknya dengan radikalisme agama yang tambah masif di Indonesia, karena Islam di Indonesia kehilangan nilai keasliannya semenjak tidak mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial-politik lokal. Dari sisi ini, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah tampak berkomitmen mempertahankan negara berasaskan pada Pancasila sebagai ideologi yang final.
Darus Salam Vs Darul Islam
Darus Salam punya pengertian dalam bahasa Arab yang sangat normatif, “ad-Darus artinya negara”. Sedangkan, “as-Salam artinya damai”, jika dua kalimat tersebut bersatu maka itu adalah bentuk keniscayaan. Yaitu, adalah negara yang damai, setiap negara tentu akan ada peran agama yang selalu ingin mewujudkan perdamaian.
Dan yang paling penting domain negara Indonesia tidak lepas afiliasinya dari NU, dan Muhammadiyah. Karena peran keduanya sangat berjasa bagi tatanan negara Indonesia yang telah menjadikannya sangat menjunjung tingi keberagaman, perbedaan, dan kelompok minoritas. Dengan hal itu, Indonesia selalu ada dalam wilayah yurisdiksi yang aman dan peduli terhadap dimensi kemanusiaan.
Sedangkan Darul Islam dapat diartikan negara Islam dimana tatanan tersebut adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok Islam salafi yang berambisi menjauhkan budaya dan politik lokal dari variasi keagamaan. Bahkan, negara Islam seolah-olah menjadi tuntutan untuk merubah Indonesia menjadi negara punya pemahaman agama yang sangat tekstualis, skriptualis, dan ekstremis.
Dalam konteks saat ini, radikalisme agama tampak hadir hanya bertindak ekstrem atas dasar ketidakdilan, dan lain sebagainya. Sungguh dasar yang demikian sangat tidak relevan jika diaktualisasikan dengan negara Indonesia yang amat kuat dengan kerukunan, dan perbedaan. Sebab itu, perbedaan itu ibarat pelangi yang terlihat indah. Sehingga, perlu diwaspadai khususnya umat Islam agar tidak sembarangan berkomplot dengan golongan yang memahami agama Islam secara radikal (tekstualis, skriptualis, ekstremis).
Mari Menghindar dari Radikalisme Agama
NU dan Muhammadiyah telah final dan sepakat jika negara Indonesia dijadikan negara yang berasaskan Pancasila, secara substansi agama punya peran penting dalam membesarkan budaya. Sedangkan, Islam dan Pancasila adalah menanamkan simbol-simbol persatuan. Yaitu, dimensi keislaman dan keindonesiaan yang dirumuskan dalam konsep kebangsaan dan kenegaraan.
Solusinya Indonesia bisa hidup tanpa radikalisme agama jika mengikuti pendapat Abdurrahman Mas’ud dalam buku (Radikalisme Agama & Tantangan Kebangsaan: 2014), bahwa “fenomena radikalisme yang ada di Indonesia sebaiknya disikapi sebagai wake up call yang menyadarkan seluruh komponen bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha-usaha early warning system, pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh”.
Oleh: Hasin Abdullah, peneliti Muda Bidang Hukum UIN Jakarta, sekaligus Alumni SMA-Tahfidz Darul Ulum Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan.
Sumber : https://www.harakatuna.com/indonesia-tanpa-radikalisme-agama.html

Menyikapi Demontrasi dengan Asas Kemanusian Yang Adil Dan Beradab Post Pagination


Menyikapi Demontrasi dengan Asas Kemanusian Yang Adil Dan Beradab Post Pagination

Pancasila merupakan dasar negara yang merekatkan seluruh komponen masyarakat Indonesia yang berbeda suku, budaya dan bahasa. Terbukti dengan adanya pancasila keberagaman di Indonesia dapat dirajut dengan baik.
Hal ini memang karena pancasila disusun oleh para pendiri bangsa yang terdiri dari cendekiawan nasionalis dan ulama yang sangat visioner dan mampu mengalahkan egonya masing-masing demi tercapainya persatuan Indonesia.
Pancasila pada hakekatnya merupakan pergumulan dari nilai-nilai warisan budaya, adat dan agama yang dicari sarikan dan kemudian diramu sedemikian rupa sehingga terbentuklah lima sila seperti yang kita ketahui saat ini.
Sila kedua dalam pancasila adalah kemanusian yang adil dan beradab, sila ini mendasari terciptanya dan terbentuknya manusia yang mengedepankan nilai kemanusiaanya dan mengedepankan akhlaknya. Pada dasarnya sila ini sangat bersesuaian dengan visi diutusnya Nabi Muhammad ke dunia melalui sabdanya yaitu, Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak sempurna.
Sila kedua pancasila dan visi diutusnya Nabi Muhammad pada intinya adalah sama yaitu akhlak atau adab. Dengan demikian membentuk pribadi manusia Indonesia yang beradab dan bermartabat merupakan ujuan didirikanya negara Indonesia sekaligus merupakan hakekat dari ajaran Islam itu sendiri.
Sila kedua pancasila ini juga menunjukan manifestasi bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang terkenal dengan sopan santunya, terkenal dengan toleransinya, terkenal dengan keramahanya dan terkenal denga agungnya akhlak.
Namun demikian secara perlahan sila kedua pancasila ini mulai luntur dilaksanakan, bangsa Indonesia hanya hapal saja sila tanpa lagi mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Terlebih dengan menguatnya politik identitas akhir-akhir ini, kemanusiaan yang adil dan beradab ini semakin terkoyak habis-habisan, tidak sedikit para elit politik yang melakukan segala cara untuk mencapai sahwat politiknya bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia Indonesia.
Gusdur pernah mendasari kehidupan politik kita, beliau berkata bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Itu artinya akhlak dan adab untuk menjaga manusia Indonesia harus diutamakan dari hal apapun.
Sila kedua ini semakin terkoyak lagi dengan diadakannya demo berjilid-jilid yang merusak tatanan kehidupan hukum dan sosial di Indonesia, mereka yang berdemo beranggapan bahwa yang kuat adalah yang menang sehingga norma hukumpun mereka langgar. Mereka rela melawan hukum-hukum konstitusi karena tidak sesuai dengan ekpekstasi politik mereka. Yang ada mereka melakukan segala cara yang penting bisa berkuasa. Ini jelas sangat menciderai Ahlak yang termaktub dalam sila kedua.
Terlebih lagi mereka demo dengan mengenakan identitas Islam, mengaku membela Islam padahal yang mereka bela benar-benar politik dan kekuasaan. Mana ada dalil dalam Islam yang menyerukan jihad untuk memenangkan salah satu paslon dalam pemilu, yang ada bukan jihad melainkan sikap jahat.
Kalimat takbir yang mendamaikan mereka ungkapkan dengan kebengisan politik, kalimat takbir yang menyejukan mereka teriakan dengan ungkapan sinis, kalimat takbir yang begitu indah mereka ungkapkan dengan penuh rasa marah. Pada hakikatnya hal seperti inilah yang menyimpang dari visi Islam itu sendiri yaitu untuk menyempurnakan ahlak dan menyimpang dari sila kedua pancasila yaitu ahlak.
Ditambah lagi mereka kehilangan kata-kata sopan dan santun dalam menyampaikan Aspirasinya, mereka gunakan kata-kata yang tidak senonoh untuk menghujat siapa-siapa saja yang dianggap lawan, bahka elit politik yang seharusnya mendapaikan malah mengeluarkan kata-kata jorok untuk memprovokasi masyarakat.
Jelas ini semua menciderai sila kedua pancasila yaitu manusia yang beradab, contoh-contoh diatas tidak mencerminkan manusia Indonesia dalam melaksanakan pergaulan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan politik, mereka telah kehilangan adab dalam praktek kehidupannya.
Dengan demikian menjadi manusia beradab adalah tujuan negara Indonesia dan juga merupakan visi agama Islam itu sendiri, oleh karenanya marilah kita menjadi manusia beradab dengan mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dengan menjaga tuturkata dan tingkah laku sesuai dengan pedoman agama dan warisan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Sumber : https://www.harakatuna.com/menyikapi-demontrasi-dengan-asas-kemanusian-yang-adil-dan-beradab.html

Minggu, 09 Juni 2019


Saling Memaafkan Jalan Mencapai Kemuliaan


0
8

Terkadang ada kesalahan yang sulit di maafkan meski kita semua sudah tahu bahwa Tuhan pun maha pemaaf, apakah kita hambanya tidak bisa memberi maaf meski hati telah membenarkan bahwa memaafkan adalah suatu hal yang sangat mulia daripada membalas seseorang dengan kebencian, sebuah ilustrasi ketika seseorang yang kita kenal dekat atau seseorang yang kita cintai mengucapkan kata yang tak pantas atau melakukan pengkhianatan dibelakang kita, pasti akan sakit hati sebab tiap orang punya sisi manusiawi
bahwa hati adalah wadah, yang menampung perasaan, senang, sedih, jatuh cinta dan sakit hati jadi tiap apa yang terlihat oleh mata yang terdengar oleh telinga, dan terlintas dipikiran akan tersampaikan dan hati akan merasakan. Namun kembali lagi bagaimana seseorang bisa pandai dalam menempatkan perasaaanya sehingga tidak mudah terbawa dan menyalahkan seseorang.
Perlu disadari bahwa setiap dari manusia memiliki ego, ada yang sadar ketika ia melakukan kesalahan tapi gengsi untuk meminta maaf, dan ada yang meminta maaf secara tulus namun orang yang dimintai maaf belum bisa memaafkan karena masih memendam sakit hati, itu semua kembali lagi ke pribadi masing-masing akan tetapi perlu kita ingat bahwa meminta maaf adalah perbuatan yang terpuji, sebab dengan menyadari kesalahan seseorang bisa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya, dengan tidak mengulangi kesalahan yang telah ia perbuat.
Dan begitupun orang yang mudah memaafkan akan menjadi orang yang lebih mulia di hadapan manusia dan dihadapan Tuhan, sebab menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan setiap darinya pasti pernah melakukan kesalahan termasuk diri sendiri.
Kita juga perlu belajar dari kisah nabi, dimana beliau ketika menyebarkan dakwah di Thaif, berharap dakwahnya di terima oleh penduduk pada saat itu, tapi malah diperlakukan sebaliknya bahkan nabi sampai dilempari batu dan yang lebih tidak manusiawi lagi beliau dilempar kotoran, tapi apakah dengan perlakuan tersebut nabi menjadi benci terhadap orang-orang yang memperlakukannya seperti itu? padahal nabi bisa saja membalas perlakuan mereka dengan mengadu kepada Allah agar mereka ditimpakan azab, akan tetapi karena kebaikan dan kemuliaan hati nabi, beliau hanya bersabar dan malah mendoakan yang terbaik untuk orang-orang tersebut agar supaya bisa bertaubat dan kembali kejalan Allah.
Baca Juga:  Menelusuri Epistemologi Faidhul Barākat Fī Sab’il Qirā’at
memang sulit untuk bersikap seperti nabi terhadap orang-orang tersebut akan tetapi tetap harus di usahakan jika kita memang mencintai nabi,berarti kita mengupayakan untuk mengikuti nilai-nilai moral yang telah diajarkan oleh nabi. lagi-lagi meminta maaf dan memaafkan adalah dua hal yang sangat sulit untuk dilakukan bagi sebagian orang, baik karena rasa gengsi dan sakit hati, akan tetapi orang yang sebenarnya mudah memaafkan bukanlah orang yang lemah, justru ia adalah orang yang mulia, dimana ketika orang itu sebenarnya mampu untuk membalas tetapi ia lebih memilih bersabar dan berdamai maka sejatinya ia adalah orang yang dimuliakan, sebagaimana sabda nabi
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Artinya : Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.(HR.Muslim No. 4689)
Menjadi pemaaf bukan berarti takut atau pengecut akan tetapi lebih memilih untuk berdamai agar saling mengeratkan ikatan persaudaraan daripada bermusuhan, sebab harus disadari bahwa tanpa orang lain maka kita tak ada apa-apanya dan bukanlah siapa-siapa.
Dan Allah berfirman dalam Qur’an Surah Asy-Syura ayat 40.
Artinya: Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS: Asy-Syura: 40)
Sudah jelas bahwa orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain maka akan diberikan ganjaran pahala oleh Allah, itulah janji Allah yang pasti bagi hambanya. Sebab apa bedanya kita jika membalas kejahatan dengan kejahatan pula, hanya akan menambah permasalahan, adapun jika orang tersebut terus saja mengulangi kesalahannya maka sekali-kali perlu diberikan pelajaran agar supaya ia sadar bahwa perbuatannya tidak mencerminkan dirinya sebagai manusia yang punya hati nurani.
Baca Juga:  Berita Hoax Ancam Negara Demokratis
Maka dari itu perlu untuk menguatkan hati agar tidak mudah sakit hati, sadari bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan termasuk diri sendiri, sebaik-baik dari kita mengakui kesalahan dan sadar untuk tidak mengulanginya kembali, menyadari kesalahan dengan meminta maaf tidak menurunkan derajat kemanusiaan dan memberi maaf bukan berarti lemah sebab memaafkan adalah perbuatan yang mulia.wallahu a’lam

Sumber : https://www.harakatuna.com/saling-memaafkan-jalan-mencapai-kemuliaan.html