Jumat, 31 Mei 2019



Negara Islam: Organisasi dengan Identitas Garis Keras Harakatuna by Harakatuna 7 bulan ago


0
6

Pertengahan tahun ini (2014) media di Indonesia cukup intens diwarnai dengan pemberitaan sekelompok orang yang menyebut diri mereka Negara Islam. Berita dari berbagai sumber mewartakan bagaimana perjalanan dan tujuan organisasi dalam mewujudkan Negara Islam yang dimulai dari semenanjung Irak dan Suriah. Pemahaman jihad melalui garis keras membut stereotype teroris melekat pada organisasi ini. Indonesia sendiri menyatakan sebagai Negara yang mengakui ISIS (Negara Islam juga dikenal dengan nama ini) sebagai jaringan organisasi teroris padda Agustus 2014. Ini bukan pengakuan dari satu negar saja, beberapa negara barat dan timur tengah juga memberikan pernyataan yang sama. Terlepas dari ke-valid­an media untuk informasi sepak terjang mereka, image yang terbentuk pada organisasi ini membuat mereka menerima cukup banyak penolakan.
Konroversi pro dan kontra atas sepak terjang organisasi ini menjadi bahan perbincangan dan diskusi yang menarik. Baik itu dalam meneropong Islam sebagai agama yang diakui orgaisasi ISIS maupun telaah sosial dalam dunia global. Sementara indonesia dan beberapa negara lain yang mengklaim sepak terjang ISIS sebagai bentuk terorisme, menjadikan wajar dalam berbagai media yang disuguhkan adalah bagaimana tidak eloknya tindakan organisasi tersebut. Penulis yang juga mengamati pemberitaan ISIS sebatas pada suguhan media yang terbatas pula merasa tidak cukup bijaksana untuk menilai apakah tindakan dan sepak terjang organisasi tersebut buruk atau baik. Sehingga caatatan-catatan opini ini hanya beranjak dari perenungan akan pemahaman yang dangkal terkait hal tersebut.
Sebelumnya disebutkan bahwa sereotype yang melekat pada ISIS adalah teroris. Sebuah kategorisasi yang sering dipandang negatif oleh orang kebanyakan. Tajfel (dalam Brown, 2000) menyatakan bahwa Proses kategorisasi merupakan dasar dari dampak stereotype yang diterima dari kategori yang diberikan sebagai bagian dari variasi yang mengikat–dengan kata lain, melihat kesamaan yang lebih daripada mereka yang berada didalam kategori yang berbeda. Ini menjelaskan kesamaan didalam kelompok dan terdapat dua hal yang memiliki kontribusi signifikan terkait teori identitas sosial ini. Pertama, melawan kebijakan konvensional mengenai in-group yang selalu merasa lebih homogen daripada out-group. Kedua, melihat perspektif kelompok homogen secara umum (antara in-group dan out-group) sebagai jaringan proses identitas kelompok(Tajfel dalam Brown, 2000).
Baca Juga:  Ilusi Negara Islam
Jalan jihad melalui sikap anti-kristen serta tindak perlawanan terhadap dunia luar yang bertentangan dengan organisasi ini membuat ruang gerak mereka terkesan eksklusif. Identitas gais keras yang melekat cukup kuat tidak membuat organiasi ini kehilangan pengikut. Hal ini dapat terlihat dengan eksistensi ISIS yang semakin tampak terang pada 2014. Organisasi yang sebelumnya berada pada perahu yang ama dengan Al-Qaeda dan Al-Nusra ini, memiliki daya tarik tersendiri yang membuaatnya tetap memiliki anggota serta pendanaan yang cukup untuk terus memperjuangkan tujuan mereka.
Sepak terjang yang menuai cukup banyak kecaman dari berbagai kalangan serta label organisasi garis keras yang melekat pada ISIS lebih kepada kategorisasi yang dihadiahkan oleh masyarakat pada umumnya sebagai out-group terhadap organisasi ini sebagai in-group. Hal yang menarik dari teori identitas sosial yang dikemukakan oleh Tajfel (dalam Brown, 2000) adalah adanya kategorisasi yang membentuk stereotype serta adanya kelompok in-group dan out-group. Berbicara in-group dan out-group membuat kita dapat menjelaskan bagaimana pola tindakan garis keras yang dipilih oleh ISIS dalam pencapaian konflik-konflik yang mewarnai media akhir-akhir ini. Adanya in-group dan out-group membuat kecenderungan anggota kelompok minoritas membandingkkan kelompok mereka dengan kelompok lainnya yang dianggap lebih superior. Perbandingan ini salah satunya menyebabkan kompetisi dan konflik. Perbandingan yang dirasakan oleh kelompok minoritas sebagai ancaman yang perlu dillawan merupakann nalurii dasar dari mahkluk untuk tetap survive dalam keyakinan mereka.
oleh: Alifah Nabiah Masturah, S.Psi., M.A, Penulis adalah Alumni Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2008
Referensi
Brown, Rupert. (2000). Social identity theory: past achievements, current problems and  future challenges. European Journal of Social Psychology.

[1] Opini dalam renungan ditujukan kepada kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Psikologi UMM

Sumber :https://www.harakatuna.com/negara-islam-organisasi-dengan-identitas-garis-keras.html

Kamis, 30 Mei 2019


Ber-Islam Tak Perlu Kejam (Radikal)


0
6

Saat saya masih kecil (sekitar tahun 90-an), aktivitas ngaji di langgar setiap habis maghrib selalu menjadi idola. Orang begitu bergairah dan betah ngobrol (berbincang) di langgar sehabis sholat fardhu. Rasanya tidak ingin pulang. Mulai anak-anak, orang tua, muda-mudi berkumpul syahdu tanpa diselimuti rasa iri, dengki, saling curiga, apalagi benci. Pembicaraan tetang aliran, kelompok, mazhab tidak terdengar.
Kita coba bandingkan dengan era kini (bapak/ibu modern). Saat anaknya begitu rajin ke masjid, apalagi ikut berbagai kajian majelis taklim, mereka akan sangat khawatir. Jangan-jangan terjerumus kelompok (aliran) tertentu. Hingga akhirnya anak dilarang bermain/sekolah di pondok, konon tempat itu (masjid dan pondok) adalah tempat terlarang, sarang teroris, dan wilayah kelompok Islam garis keras berkumpul, katanya.
Penulis mencoba menilisik kembali apa yang menyebabkan Islam tidak lagi mendamaikan dan menentramkan. Justruk Islam identik dengan kolot, puritan, radikal, dan lainnya.
Pertama, memaksa semua manusia masuk Islam. Kita perlu mengingat sejarah dan firman Allah bahwa misi utama Rasulullah bukan untuk meng-Islam-kan dunia. Jika hanya ingin meng-Islam-kan seluruh dunia, Allah tidak membutuhkan nabi Muhammad. Karena ia sendiri telah berfirman “Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?”[1].
Jelaslah bahwa misi seorang pendakwah bukan memaksa seseorang masuk Islam, mengikuti fatwa/tafsirnya, apalagi mengikuti pilihan partai politik yang ia gawangi. Sejak awal Al-Qur’an telah menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menambahkan: barangsiapa dibukakan pintu hatinya oleh Allah maka mereka akan memeluk Islam. Barang siapa dikunci hati, pendengaran dan penglihatannya maka mereka tidak akan mendapat manfaat jikalau dipaksa masuk Islam. Tafsir ini diperkuat dengan tafsir Fi Zhilalil Qur’an (1982) karya Sayyid Quthb bahwa manusia telah diberi tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, dan mereka pula lah yang akan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut.
Jika memang seseorang ingin mendakwahkan ajaran Islam ia boleh menyampaikan dengan tiga syarat: hikmah, mauizah khazanah (nasehat/pelajaran) yang baik, dan kalau harus berdebat bantahlah dengan argumentasi yang lebih baik[2]. Tidak perlu dalam berdakwa sampai menghina, mencaci, menjelekkan, kepercayaan agama lain.

Mencetak Generasi Toleran


0
5

Dulu ketika penulis ikut kegiatan buka bersama di mushola kampung, kebetulan duduk berdampingan dengan anak-anak kecil usia lima tahunan. Mereka dengan ceria bercanda, sembari menunggu waktu berbuka puasa –meskipun mereka tidak berpuasa. Begitu masuk waktu berbuka, salah satu anak membaca doa sebelum makan Allahumma bariklana ….. Mendengar doa tersebut, anak lainnya mencoba untuk meluruskan: doanya bukan begitu, tapi cuma bismillah. Pun, salah satu orang tua yang tengah berada di situ, mengatakan hal yang sama.
Penulis terdiam sejenak, lalu berpikir bahwa ternyata hal-hal semacam ini menjadi masalah besar oleh sebagian orang. Dengan niat baik untuk mencairkan suasana, penulis pun menambahkan, bahwa kedua doa tersebut benar dan boleh dibaca, yang salah itu kalau sebelum makan tidak membaca doa.
Sekelumit pengalaman penulis tersebut, menjadi bukti bahwa ternyata klaim kebenaran masih kuat terasa dalam masyarakat kita. Bahwa seakan-akan dunia hanya hitam-putih; benar-salah. Apalagi jika bicara soal ajaran agama, antar muslim kerap merasa diri paling benar, sehingga menyalahkan muslim lainnya. Padahal, amalan yang dilakukan keduanya memiliki landasan dalil yang kuat.
Perspektif keagamaan anak kecil tadi tentu mereka dapat dari lingkungan belajar anak. Yang dimaksud lingkungan belajar di sini bisa berarti taman kanak-kanak maupun tempat pendidikan al-Qur’an. Karena kedua anak tersebut berasal dari lembaga pendidikan non-formal yang berbeda, hasil yang muncul pun berbeda. Satunya memiliki perspektif bahwa dalam beragama, bid’ah adalah keniscayaan, sehingga selama hal itu tidak menyalahi syariat Islam, maka dibolehkan. Adapun satunya, beranggapan bahwa apapun yang diada-adakan setelah Rasul Saw. wafat, dikategorikan bid’ah dan wajib hukumnya ditinggalkan. Tidak ada bid’ah yang baik.
Sementara anak yang nota bene berada pada usia emas, dengan mudah didoktrin dengan ajaran apapun. Jika semenjak dini sudah dicekoki ajaran-ajaran yang tidak ramah perbedaan, maka setelah beranjak dewasa, akan tumbuh menjadi pribadi yang intoleran. Pada akhirnya, ia melihat diri sebagai seseorang yang suci dan pemahaman keagamaannya paling benar, sementara yang berbeda dengannya pasti salah.
Maka dari itu, begitu anak masuk usia Sekolah Dasar (SD), guru mesti memahami psikologi mereka. Bahwa pada usia SD, ada masa di mana peserta didik menjadikan guru sebagai teladan paling berpengaruh dalam hidupnya –sampai-sampai orang tua pun kalah. Apapun yang dikatakan dan dilakukan guru, mereka serap sebagai keteladanan dalam hidup.
Kosasih Djahiri (1999) dalam seminar Center for Indonesian Civic Education (CICED) menjelaskan bahwa strategi yang mesti diterapkan pendidik, terutama di kelas adalah; (1) membina dan menciptakan keteladanan, (2) mempraktikkan pelajaran, dan (3) memotivasi peserta didik agar gairah belajar terus meningkat.
Implementasi dari poin pertama, dengan menata kelas atau sekolah supaya mendukung pembelajaran. Misalnya kaitannya dengan toleransi, guru bisa memasang asesori berupa gambar kerukunan umat beragama di kelas. Di samping tata kelola kelas, proses belajar-mengajar juga mesti berorientasi pada kenyamanan peserta didik. Misalnya, cara-cara inovatif yang bisa menarik peserta didik untuk belajar giat. Dan yang terpenting adalah, keteladanan semua pihak yang terlibat dalam sekolah, baik itu guru, pimpinan sekolah, maupun tokoh unggulan. Semua itu mesti bisa memberikan teladan yang baik kepada peserta didik.
Poin kedua bisa diaplikasikan dengan cara mengajak peserta didik untuk melakukan praktikum setelah mempelajari teori. Misalnya, teori tentang kewarganegaraan, peserta didik bisa diajak untuk berbaur dengan masyarakat; misal dengan berkeliling di lingkungan sekitar sekolah. Sehingga, peserta didik bisa mengenal lingkungan mereka, dan juga masyarakat yang hidup bersama mereka.
Adapun yang terakhir adalah, memberikan motivasi kepada peserta didik. Ini tugas guru yang kelihatan sepele tapi praktiknya luar biasa sulit. Bahwa banyak peserta didik yang merasa bebas, begitu mendengar pengumuman pelajaran diliburkan atau hari libur nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa peserta didik tidak bisa menikmati pembelajaran, dan gairah untuk belajar secara otomatis menurun. Karena itu, guru yang kreatif dan paham psikologi anaklah, yang mampu mengatasi persoalan ini.
Sementara untuk mencetak generasi ramah perbedaan, guru mesti mampu memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa beda itu niscaya, dan kita hanya cukup mengelolanya, bukan menyeragamkannya. Tentu, cara terbaik untuk itu adalah dengan merujuk kepada teladan Nabi Agung Muhammad Saw. Beliaulah teladan sepanjang zaman, yang telah mampu mendidik umat manusia supaya dewasa dalammenghadapi perbedaan.
Dikisahkan, ada dua orang sahabat berjalan di padang pasir. Ketika itu telah memasuki waktu dzuhur, sementara mereka tidak menemukan air untuk berwudhu. Karena itu, mereka bertayamum lalu menunaikan shalat dzuhur. Belum lama berjalan, dan waktu dzuhur belum habis, mereka menemukan air. Salah seorang di antara mereka berwudu dan mengulangi shalatnya. Sementara seorang lainnya bergeming, karena merasa sudah shalat.
Ketika keduanya sampai kepada Rasulullah Saw., dan menceritakan kejadian tersebut, beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: Kamu sudah benar menjalankan sunnahCukuplah shalat yang sudah kamu lakukan. Sementara kepad orang yang mengulangi shalat setelah menemukan air, beliau berkata: Bagimu pahala dua kali. (Rahmat: 2007)
Secara tersirat, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada para sahabat supaya menerima perbedaan sebagai rahmat. Beliau mengajarkan bahwa toleransi merupakan pangkal dari kehidupan masyarkat yang damai, dan merupakan obat mujarab dari potensi konflik yang kerap muncul dari perbedaan pendapat.
Dengan begitu, guru sebagai sosok teladan peserta didik, mesti mampu mentransfer ilmu dan nilai-nilai toleransi kepada peserta didik. Peserta didik, apalagi usia SD, amat mudah untuk diajari ini-itu, dan hal ini merupakan peluang besar bagi guru untuk menanamkan bibit-bibit toleransi kepada peserta didik, sehingga kelak bisa tumbuh menjadi warga negara yang baik dan memiliki andil dalam mempertahankan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia.


Medsos dan Jalan Pintas yang Tak Pantas


0
5



Main social networks - Brands
Medsos dan Jalan Pintas yang Tak Pantas
Oleh: Ali Usman*
Ada pepatah Arab yang berbunyi: bul ‘ala zamzam, artinya “kencingilah air zamzam”. Ungkapan ini bermakna sebagai jalan pintas untuk meraih popularitas yang bisa ditempuh oleh seseorang jika ingin cepat terkenal seantero dunia, maka lakukanlah suatu aktivitas yang oleh akal sehat dianggap tidak etis.
Makna dari pepatah tersebut juga memiliki relevansi dengan situasi mutaakhir di sekitar kita, terutama dalam aktivitas media sosial (medsos). Banyak orang terkenal lantaran kepopulerannya di medsos, baik positif maupun negatif. Hal yang positif tentu tidak mempunyai relasi langsung dari uangkapan di atas. Karena itu, ungkapan bul ‘ala zamzam tentu saja bukan perintah atau anjuran yang perlu dicoba, tetapi justru perlu dihindari.
Namun sebaliknya, perangai negatif yang ditunjukkan oleh seorang pengguna medsos untuk menyatakan tidak setuju kepada pendapat atau perkara tertentu, misalnya, seringkali disampaikan dengan cara-cara yang tidak sopan atau dalam terminologi agama disebut su’u al-adab. Pelaku seolah tidak punya beban moral melakukan penyerangan berupa bully, fitnah, teror, dan padanan negatif lainnya.
Itulah relevansi pepatah Arab di atas. Korban bully bisa beragam, dari politisi hingga tokoh agama (kiai) sebagaimana marak terjadi akhir-akhir ini, seperti Buya Syafii Maarif, KH. Ma’ruf Amin, KH. Said Aqil Siradj, dan terakhir KH. Musthafa Bisri (Gus Mus). Para tokoh tersebut tentu disadari sebagai manusia biasa, pasti juga tidak luput dari salah, dan karenanya boleh dikritik jika menghendaki demikian, tetapi caranya juga wajib etis, santun, dan elegan, tidak mencaci-maki secara emosional.
Di hadapan para penggunanya, medsos tidak bisa diposisikan sebagai “realitas” yang netral, tetapi penuh dengan kepentingan dan ideologi. Seorang yang menganut agama Islam lebih enjoy mengakses berita dan informasi pengetahuan dari website bernuansa agamanya sendiri dibanding agama non-Islam; seorang yang mendukung calon pemimpin dalam sebuah kontestasi politik selalu dipastikan menyukai update berita-berita positif berkaitan dengan calon idolanya, sementara berita-berita negatif terkait lawan idolanya, meski juga melakukan akses, seringkali digunakan sebagai senjata untuk menyerang; dan lain sebagainya.
Baca Juga:  Menakar Fitnah Untuk Quraish Shihab
Begitulah yang terjadi sekarang, maka berhati-hatilah, sebab medsos jika digunakan untuk hal negatif akan berujung malapetaka yang dapat merugikan penggunanya. Medsos sebagaimana dunia nyata memberikan sarana kebebasan berekspresi, tetapi kebebasan itu tetap dibatasi oleh hak kebabasan orang lain. Medsos justru sangat rawan dan lebih “berbahaya” dibanding dunia nyata.
Indonesia mempunyai perangkat hukum tentang tindak pidana berbasis medsos lewat UU ITE. Dan oleh karena itu, setiap individu yang melakukan provokasi, fitnah, pencemaran nama baik, berpotensi akan dijerat oleh UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Apalagi di musim kampanye pilkada dan jelang pemilu, fluktuasi pelanggaran berbasis medsos akan semakin meningkat.
Maaf dan nilai etis
Berdasarkan realitas itu, penting menjadikan nilai-nilai etis, baik bersumber dari agama maupun adat tradisi sebagai acuan perilaku ber-medsos. Kalau prinsip ini dapat dipegang teguh, maka tidak akan terjadi seorang anak muda yang baru mengalami pubersitas beragama melakukan caci-maki dan sinis mengumpat perkataan kotor kepada seorang kiai. Artinya, kalau berpikiran “sehat”, seseorang akan berpikir seribu kali kalau ia hendak mencaci-maki Gus Mus, misalnya, sebab akan mempertimbangkan etika layaknya seorang anak kepada orang tua, kiai, dan panutan umat.
Beruntung Gus Mus memaafkan para pencela itu sebelum sowan bertemu langsung dengannya di Rembang selang beberapa hari kemudian setelah itu. Inilah wajah Islam yang ramah, rahmat li al-‘alamin,tidak seperti ditunjukkan oleh sebagian kalangan, yang kokoh tak berkutik enggan memaafkan orang yang bersalah. Gus Mus mengamalkan apa yang oleh al-Qur’an disebutkan setidaknya dalam tiga bentuk: memaafkan kesalahan manusia (wa al-‘afina al-nas), maafkanlah mereka (fa’fu ‘anhum), dan jika kamu memaafkan (wa in ta’fu).
Baca Juga:  Menanamkan Nilai Piagam Madinah dan Pancasila di Generasi Melineal
Memaafkan dan proses meminta maaf, meminjam istilah Jacques Derrida, merupakan “rahasia batin yang tak terungkap”. Pengalaman meminta maaf dan memaafkan membutuhkan lapang dada antar keduabelah pihak, meski Derrida sendiri pesimis: adakah pemberian (maaf) yang tulus dan tanpa syarat? Ikhlas, dalam istilah agama, juga membutuhkan balasan dari Tuhan. Lalu bagaimana? Jalan terakhir, melupakannya. Ya, lupakan saja tragedi bersalah dan pe(maaf)an itu.
Kita perlu belajar dan mengambil hikmah dari apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang suci. Kanjeng Nabi Muhammad Saw. layak jadi tauladan. Dikisahkan, meskipun Nabi seringkali diperlakukan hina, ia tetap meaafkan kezhaliman para pelakunya.
Peristiwa Fathu al-Makkah (pembebasan kota Mekkah) menjadi bukti historis, ketika Nabi dan umat muslim memperoleh kemenangan, di sanalah ia menunjukkan akhlak mulia dengan memaafkan kaum Quraisy Mekkah yang selama bertahun-tahun melakukan penistaan kepadanya berupa provokasi boikot ajaran Islam, para pengikutnya dianiaya, bahkan dibunuh, tetapi Nabi tetap dalam pendirian: memaafkannya.
Itulah misi profetik Islam. Memberi maaf kepada orang, yang, apalagi secara tulus mengaku bersalah, adalah keniscayaan. Sebab dari sinilah kehidupan masyarakat yang harmonis tersemai. Jika dalam suatu masyarakat memupuk subur kebencian, curiga, dan balas dendam, maka ini penanda sebagai masyarakat yang sakit. Obatnya hanya satu, yaitu rokonsiliasi (islah) dengan cara saling memaafkan. Semoga.

*Penulis adalah Pendidik dan aktivis sosial di Yogyakarta

Minggu, 26 Mei 2019

SIKAP TERHADAP PEMIMPIN MENURUT AJARAN ISLAM



Setelah usai dari perhelatan pesta demokrasi untuk memilih presiden, ada hal-hal yang perlu bahkan wajib kita perhatikan mengenai bagaimana pandangan syariat Islam dan sikap yang harus kita jalani terhadap pemimpin yang terpilih secara sah dan demokratis di negara kita tercinta, Indonesia. Di antaranya adalah:

Kewajiban Menaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits sangat banyak sekali. Dalil di dalam Al-Qur’an di antaranya adalah firman Allah ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa' [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh perintah "taatilah" karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (tâbi') dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan taat kepada mereka

Dalil-dalil ketaatan kepada pemimpin meskipun mereka zalim di dalam hadits:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

"Abu Hunaidah (wail) bin Hudjur RA berkata: Salamah binti Yazid Al Ju'fi bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat di atas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah anda memerintahkan pada kami ? Pada mulanya beliau mengabaikan pertanyaan itu, hingga beliau ditanya yang kedua kalinya atau ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menarik Al Asy'ats bin Qois dan bersabda: Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka sesungguhnya di atas mereka ada tanggung jawab/kewajiban atas mereka sendiri dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri." (HR Muslim)

وَرَوَى هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: { سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

"Sepeninggalku nanti ada pemimpin-pemimpin yang akan memimpin kalian, pemimpin yang baik akan memimpin dengan kebaikannya dan pemimpin yang fajir akan memimpin kalian dengan kefajirannya. Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara-perkara yang sesuai dengan kebenaran saja. Apabila mereka berbuat baik maka kebaikannya adalah bagimu dan untuk mereka, jika mereka berbuat buruk maka bagimu (untuk tetap berbuat baik) dan bagi mereka (keburukan mereka)." (HR Bukhari Muslim)

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

"Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia." (Hudzaifah berkata), "Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?" Beliau menjawab, "Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil." (HR. Muslim)

Padahal sudah maklum kita ketahui, bahwa menyiksa atau memukul punggung seseorang dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari'at–tanpa ragu lagi—termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, "Saya tidak akan taat kepadamu sampai engkau menaati Rabb-mu." Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabb-nya.

Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan menaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta'ala oleh karena itu wajib taat kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

"Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf (bukan maksiat)." (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

"Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat." (HR. Bukhari no. 7144)

Mencontoh Jihad Nabi Muhammad

Mencontoh Jihad Nabi Muhammad
Ilustrasi (NU Online)
Fathoni, NU Online | Kamis, 23 Mei 2019 23:15
Teladan terbaik bagi umat Islam ialah Nabi Muhammad. Secara umum, dakwah Rasulullah SAW dalam menyampaikan Islam penuh dengan ajakan, bukan pemaksaan. Ia mengedepankan akhlak baik, tutur kata santun dan ramah walaupun kerap mendapat perlakuan tidak baik. Simpul sederhana yang bisa menjadi pelajaran, Nabi Muhammad berjihad dengan akhlak dan perbuatan baik.

Rasulullah memahami betul ketika Islam disampaikan dengan cara yang keras dan kasar, niscaya umat akan menjauh. Kita semua memang bukan Nabi, tetapi setidaknya mempunyai pijakan moral dan syariat dalam menyampaikan dan menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

Jauh sebelum diangkat menjadi utusan Allah SWT, Muhammad muda sudah mendapat gelar al-amin(orang yang dapat dipercaya) oleh masyarakat Arab. Perangainya yang baik dan adil kerap mendapat kepercayaan orang-orang Arab untuk menengahi segala konflik yang muncul di tengah masyarakat kala itu.

Terkati dengan jihad, lalu bagaimana dengan sejumlah peperangan yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya? Pertanyaan tersebut penting dijelaskan agar mindset perang bukan satu-satunya fakta sejarah Islam yang mendapat perhatian penuh karena sejarah Nabi Muhammad ialah kehidupan mulia penuh dengan kebaikan dan pelajaran hidup.

Dalam Al-Qur’an tidak kurang dari 33 ayat yang membahas tentang jihad sesuai konteks turunnya ayat dengan makna beragama dan berbeda. Ayat-ayat jihad bisa dipetakan berdasarkan periode Makkah dan Madinah. Keduanya akan sangat nampak membedakan pemaknaan ayat-ayat tentang jihad.

Al-Qur’an menunjukkan kepada umatnya bahwa jihad harus dilakukan di segala lini kehidupan sesuai dengan peran dan keahlian masing-masing manusia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi sesama. Kontekstualisasi makna jihad ini sekaligus menepis pandangan sejumlah kelompok yang memaknai jihad hanya sebagai perang dan kekerasan fisik belaka melalui pemahaman tekstual ayat-ayat Al-Qur’an.

Khamami Zada dalam Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis (2018) mencatat bahwa terlalui sulit ditemukan bukti bahwa Rasulullah melakukan dan menganjurkan jihad ofensif terhadap para sahabatnya. Dari 22 perang yang diikuti Nabi—mengacu pada keterangan Ibnu Katsir—hampir tidak ditemukan bentuk peperangan dalam rangka ekspansi kekuasaan.

Jihad yang banyak terjadi—meski berupa jihad fisik—adalah peperangan dalam rangka mempertahankan kedaulatan atas hak hidup. Dalam kaidah ushul dikenal ada kedaulatan harta, kedaulatan harta benda, kedaulatan beragama, kedaulatan melanjutkan keturunan serta hak dalam hal harga diri. Nabi Muhammad dan umatnya tidak akan berperang jika tidak diperangi. Apalagi kaum musyrikin terus melakukan ancaman pembunuhan bagi umat Islam untuk menutup dakwah Rasulullah.

Sejarah mencatat, Rasulullah SAW tidak pernah bosan menghampiri umatnya untuk melakukan dakwah Islam dengan cara yang santun dan kesabaran yang tinggi. Karena tidak jarang Rasulullah mendapat perlakuan jauh dari kata ramah meskipun Nabi menyampaikannya secara ramah. Namun, berkat kesabaran dan kesejukan yang ditunjukkannya, tidak jarang pula akhirnya mereka memeluk agama Islam.

Meskipun Rasulullah tidak bisa membaca dan menulis, beliau amat cerdas memilih Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pribadi yang terkenal sebagai ahli bahasa-bahasa asing dunia kala itu. Gagasan Nabi ditulis oleh Zaid bin Tsabit lalu dikirim ke pusat-pusat kerajaan strategis.

Bukan hanya memilih Zaid bin Tsabit yang cerdas, Nabi juga memilih para diplomat ulungnya untuk menyampaikan langsung surat dakwah yang berisi ajakan memeluk Islam. Seperti diketahui, tradisi kerajaan terdahulu ialah suatu keberanian dan tentu sebuah penghormatan tinggi ketika ada utusan resmi menghampiri kerajaan untuk menyampaikan sebuah pesan. Apalagi pesan tersebut disampaikan secara damai dan tidak mudah karena harus mengarungi lautan dan melewati bentangan jarak yang sangat panjang bagi para utusan.

Ajaran dan seruan Nabi melalui surat direspon positif oleh kerajaan. Hasilnya menakjubkan, banyak raja dan orang-orang penting lainnya memeluk Islam. Raja-raja tersebut bukan tanpa alasan serta merta mengikuti seruan Nabi, karena mereka sebelumnya telah mendengar kabar soal utusan Allah bernama Muhammad, manusia terpercaya, jujur, dan menyampaikan kebenaran di setiap ucapannya.

Guru Besar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) mengungkapkan di antara surat-surat Rasulullah ialah kepada Muqawqis, Raja Qibthi di Mesir sekitar akhir tahun 6 H atau awal tahun 7 H sebagai berikut:

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Muqawqis, Raja Qibthi. Keselamatan semoga tercurah kepada orang yang mengikuti Petunjuk-Nya, amma ba’du: aku mengajakmu dengan ajakan kedamaian. Masuklah Islam maka engkau akan selamat. Masuklah Islam maka engkau akan diberikan Allah pahala dua kali. Jika engkau menolak maka atasmu dosa penduduk Qibthi.”

Sebagai sebuah penyampai kebenaran, tentu saja seruan Nabi Muhammad disambut gembira oleh Raja Muqawqis. Surat berisi seruan yang sama juga disampaikan Rasulullah kepada Kaisar Heraclius Raja Romawi, Raja Najasyi Penguasa Habasyah, Raja Gassan Jabalah bin Aiham, Raja Thaif, dan raja-raja besar lainnya.

Dakwah Nabi Muhammad melalui surat membuahkan teladan luhur bagi umat Islam bahwa kebenaran harus disampaikan dengan ajakan dan cara yang baik. Selain itu, dakwah juga menuntut kearifan akhlak penyampainya sehingga antara hati dan perkataan merupakan satu-kesatuan. Itulah bentuk integritas Nabi yang teguh dan berani tapi tetap ramah, berakhlak baik, dan menghormati.

Teladan dakwah tersebut merupakan jihad luar biasa dari junjungan ‘alam. Dalam khotbah haji Wada’, Rasulullah SAW telah jelas-jelas menjamin segenap nyawa, harta, dan kehormatan setiap manusia, apapun agama maupun sukunya. (Fathoni)