Minggu, 31 Maret 2019

Namanya Mariam Abdullah. Wanita asal Bandung Jawa Barat ini memiliki empat orang anak, satu remaja putri yang masih polos bernama Nabila, dan tiga anak lainnya masih kecil-kecil.

Saat saya menulis ini, dia tengah berada di Kamp Al Hol, Provinsi Al Hasakeh, Suriah. Dia berada di sana, setelah keluar dari pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, setelah berhasil dipojokkan pasukan Suriah dan milisi Kurdi.

Suaminya bernama Saifuddin, yang saat ini entah dimana, tidak diketahui keberadaannya. Masih hidup atau mati.

Di pengungsian yang berjarak 60-70 jam jalan kaki dari Baghouz itu, mereka bersama ribuan keluarga ISIS lainnya, berasal dari berbagai negara.

Di kamp yang hanya menampung 10 ribu orang itu, terdapat 60-70 ribu orang pengungsi. Di pengungsian yang melebihi kapasitas itu, sanitasi dan cuaca musim dingin pun menjadi ancaman. Penyakit hipotermia dan penyakit menular lainnya kini tengah menghantui.

Entah sejak kapan Mariam dan anak-anaknya, diajak sang kepala keluarga, Saifuddin berangkat ke Suriah, bergabung dengan ISIS. Entah apa janji ISIS kepada mereka, sehingga satu keluarga rela meninggalkan NKRI demi bergabung dengan ISIS.

JANJI MANIS KHILAFAH

Sejak mendeklarasikan diri, ISIS gencar menipu orang-orang yang sangat mencintai Islam tapi minim pengetahuan agama di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Medio 2015, puluhan keluarga Indonesia berhasil dirayu untuk pindah menjadi warga negara ISIS.

Nurshadrina Khaira Dhania adalah salah satunya. Kecintaannya kepada agama berhasil ditipu, dimanipulasi ISIS. Saat berusia 16 tahun, dia mengenal ISIS dari pamannya, Imam Santoso. Dia pun mulai mengagumi ISIS dengan membaca berbagai propaganda manis tentang negara Islam dengan kepemimpinan Khilafah. Baginya saat itu, ISIS seperti wilayah yang mempraktekkan ajaran agama Islam yang sesungguhnya seperti di zaman Rasulullah SAW.


Dijanjikan hutang keluarga dilunasi, diberi uang tiap bulan, diberikan rumah gratis, pengobatan, sekolah dll gratis, dia pun berhasil meyakinkan keluarganya untuk berangkat ke Suriah melalui Turki.

Setibanya di sana, apa yang dijumpainya sangat lah berbeda dari janji-janji manis ISIS. Tidak ada praktek seperti di zaman Rasulullah SAW. Yang ditemui hanyalah asrama yang kotor, perkelahian, dan hal buruk lainnya. Dia pun dua kali terancam akan dinikahi militan ISIS, beruntung dia berhasil menolak. Hingga akhirnya, dia berhasil kabur dan kembali ke Indonesia di tahun 2017.

Cerita di atas adalah fakta bahwa banyak sekali janji-janji manis perubahan kehidupan dengan mengatasnamakan agama, padahal semuanya adalah palsu. Demi kepentingan nafsu serakah meraih kekuasaan, sentimen agama digunakan untuk menarik simpati dan dukungan.

Tapi, semua itu berujung pada penyesalan yang tiada akhir.

NKRI saat ini memang belum mencapai yang dicita-citakan pendiri bangsa ini. Semuanya, masih dalam tahap proses, penuh tantangan, dan perjuangan.

Tidak ada kata mudah dalam mencapai keadilan dan kemakmuran, jika ada yang bilang itu bisa dicapai dalam lima tahun, sudah pasti itu hanya propaganda dan janji kampanye yang tidak ada akan dia wujudkan setelah berkuasa. Apalagi jika tidak ada pengalaman kerja membangun bangsa ini dengan di masa lalunya atau bahasa kerennya tidak punya track record.

32 tahun dipimpin rezim diktator Orde Baru membuat Indonesia saat ini banyak tertinggal. Di tengah saat ini Indonesia mengejar revolusi 4.0, negara lain justru tengah mewujudkan 5.0.

Kita disibukkan dengan isu agama yang tidak berkesudahan. Negara lain sibuk dengan teknologi ke bulan, motor terbang, artificial intelegence, sementara kita masih sibuk meng-Kafir-kan orang lain dari bulan ke bulan.
#muslimsejati
Sumber :https://www.harakatuna.com/dikibuli-khilafah.html

Sabtu, 30 Maret 2019

Pancasila Sebagai Pelindung Ideologi Radikalisme

Pancasila diakui negara sebagai falsafah hidup, cita-cita moral, dan ideologi bagi kehidupan berbangsa. Pancasila diyakini mampu menyaring berbagai pengaruh ideologi yang masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi logis dari sebuah masyarakat dan bangsa yang majemuk (bhineka).
Dalam menghadapi ancaman terorisme di Indonesia, penanggulangan yang dipilih harus senantiasa berlandaskan Pancasila, seta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghormatan dan perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip utama kebijakan, strategi, dan upaya-upaya yang dijalankan. Selain itu, nilai-nilai keberagaman bangsa Indonesia dapat digali dari Pancasila karena di dalamnya mengandung filosofi berbangsa dan bernegara.
Filosofi tersebut tentunya masih memerlukan pemaknaan lebih lanjut agar dapat memperoleh nilai (value), sebagi rujukan konsep keberagaman bangsa. Karakteristik keberagaman bangsa memiliki arti yang luas, di mana di dalamnya turut mengantisipasi bahaya akan gerakan-gerakan radikalisme.
Bangsa Indonesia tidak menafikan kehadiran budaya luar maupun ideologi luar, tapi melalui Pancasila negara dapat memilah pengaruh mana yang dapat diterima atau tidak. Negara juga mampu menyesuaikan pengaruh luar tersebut dengan konteks budaya Indonesia ataupun menolak karena tidak sesuai dengan falsafah, cita-cita, moral, dan ideologi nasional.
Penanggulangan terorisme melalui pendekatan lunak memerlukan landasan idiil yang komprehensif. Pancasila diyakini sebagai salah satu pendekatan lunak yang selaras dengan perwujudan program deradikalisasi.  Selain itu, pancasila turut berfungsi sebagai falsafah hidup berbangsa serta ideologi nasional, yang konsep dan visinya dapat dijabarkan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Terdapat lima sila yang secara komprehensif menjabarkan arti kehidupan bernegara yang dapat dijadikan landasan melawan ancaman ideologi radikal.
Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengandung makna tauhid, toleransi dan kemajemukan, dan moderat yang seimbang. Dalam konteks hubungan antarumat beragama, Pancasila menolak pemaksaan kehendak oleh pribadi maupun kelompok terhadap satu sama lain berdasarkan penafsiran agama yang dianggap paling benar.
Ideologi fundamentalis radikal bertentangan dengan Pancasila karena ia memaksakan kehendak dengan menolak memberikan ruang kepada penafsiran yang berbeda. Pernyataan kebenaran yang absolute seperti itu akan merusak tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang memiliki ciri pluralis.
Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini mengandung makna pengakuan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak sipil, politik, ekonomi, dan hak sosial budaya. Dengan demikian, pemaksaan kehendak oleh kelompok radikal secara hakiki bertentangan dengan Pancasila karena jelas melanggar HAM yang menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia Sila ini mengandung makna bahwa Indonesia adalah negara yang dibentuk bedasarkan asas kebangsaan, bukan atas dasar agama, suku, atau ras tertentu. Kelompok fundamentalis radikal yang ingin mengganti asas kebangsaan dengan asas yang lain, berarti ingin mengubah dasar NKRI dari negara kebangsaan menjadi negara Islam. Hal ini tentunya jelas yang bertentangan dengan landasan ideologi nasional Pancasila.
Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila ini mengandung arti bahwa sistem kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia harus berlandaskan pada prinsip demokrasi. Kedaulatan berada di tangan rakyat yang jelas bertentangan dengan sistem totaliter yang ingin didirikan oleh kelompok fundamentalis radikal.
Pada umumnya ideologi radikal menoloak kedaulatan rakyat dan hanya mengakui kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan melalui sistem teokrasi.
 Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini mengandung makna bahwa kesejahteraan menjadi hak warga negara Indonesia. Pemerintah sebagai penyelenggara negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Hal ini berarti sistem totaliter yang eksploitatif bertentangan dengan Pancasila karena ia tidak mengakui adanya hak bagi warga negara untuk memperoleh kesejahteraan sebagai hak dasar mereka.

Ideologi radikal merupakan ancaman yang membahayakan kehidupan bermasyarakat Indonesia, serta mampu mengganggu disintegrasi bangsa. Melalui Pancasila, negara wajib hukumnya untuk melindungi rakyatnya dari penafsiran ilmu keagamaan yang salah. Negara memiliki hak untuk menumpas segala bentuk ideologi radikal yang berpotensi merusak tatanan kehidupan rakyat Indonesia.
Pancasila harus tetap dipegang sebagai dasar negara untuk melawan ancaman radikal yang saat ini keberadaannya terus berkembang di wilayah NKRI. Dasar-dasar Pancasila pada akhirnya diyakini sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia untuk terus mengawal masa kemerdekaannya.

Jumat, 29 Maret 2019

Belajar Demokrasi dari Teladan Nabi


Ada sebagian orang yang enggan menerima demokrasi sebagai sistem bernegara, dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ada pula yang menerima demokrasi secara mentah-mentah, sehingga cenderung terlalu bebas dalam aplikasinya dan terlalu mengekor ke Barat. Sementara sebagiannya lagi, menerima demokrasi dengan sedikit rasionalisasi bahwa nilai-nilai yang diusung di dalamnya disarikan dari ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, kelompok terakhir ini mengakui bahwa semenjak Islam diturunkan, telah ada perintah untuk bermusyawarah, yang merupakan esensi dari demokrasi.
Klasifikasi sikap seseorang dalam menerima demokrasi bisa kita temui dalam buku ciamik berjudul Rasul pun Mau Ngobrol, karya Cakra Yudi Putra. Untuk kelompok pertama, penulis buku mengistilahkan sebagai fundamentalis-tekstual. Kelompok kedua adalah liberalis-kontekstual. Sementara kelompok terakhir adalah modernis-kontekstual. Berangkat dari klasifikasi inilah, kerangka buku ini dibangun.
Buku ini hadir sebagai respon semakin menguatnya persepsi kelompok tertentu terhadap demokrasi sebagai produk kafir. Tapi pada saat yang sama, mereka menggunakan demokrasi untuk mengkampanyekan sistem baru yang dianggap lebih bisa membawa perubahan kepada kebaikan. Untuk meyakinkan publik bahwa demokrasi itu sistem cacat, adalah dengan cara mengaitkan seabrek persoalan negeri ini dengan kecacatan sistem demokrasi –dan selalu memberikan satu solusi yang utopis, khilafah.
Untuk menjelaskan konsep demokrasi kepada publik, buku ini merujuk kepada al-Qur’an dan hadits Nabi Saw., serta penjelasan ulama-ulama terkemuka. Buku ini agaknya mencoba mendamaikan demokrasi dan Islam, dua hal yang selalu diposisikan sebagai oposisi biner oleh kelompok tertentu. Tujuannya, supaya umat Islam bisa hidup di alam demokrasi seperti Indonesia ini. Ketika publik memiliki pemahaman yang baik terhadap demokrasi, maka harapannya bisa merespon dengan kritis seruan-seruan ‘kembali ke khilafah’ atau ‘formalisasi syariat’.
Bagi orang yang menolak mentah-mentah demokrasi lantaran dinilai tidak islami, kiranya perlu memerhatikan penjelasan Yusuf Qardhawi, cendekiawan muslim yang banyak menulis buku-buku berkualitas internasional. Menurutnya, sungguh aneh bila sebagian orang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu kemungkaran dan kekafiran, padahal mereka belum, bahkan tidak mengetahui persis hakikat dan esensi demokrasi, serta mereka hanya mengetahui cangkang kulit luarnya saja (halaman 37).
Penjelasan Yusuf Qardhawi bisa kita baca dengan logika begini: jika sementara orang menilai demokrasi itu produk kafir, bukan berarti penilaian tersebut benar, sekalipun mengutip ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi sebagai pembenarnya. Alih-alih mengamini, langkah tepat yang musti kita tempuh adalah mendekati demokrasi itu sedekat-dekatnya, lalu pelajari inti dari demokrasi tersebut. Tidak cukup kita hanya mempelajari demokrasi hanya kulitnya saja, misal dengan merujuk pada praktik demokrasi yang gagal oleh negara tertentu –karena itu kasuistik.
Demokrasi diambil dari kata ‘demos’ yang artinya rakyat dan ‘kratos’ yang berarti kekuasaan. Jadi, secara sederhana, demokrasi adalah kekuasaan ada pada keputusan rakyat. Ini artinya, kolektivitas lebih dikedepankan dalam bernegara ketimbang individualitas (halaman 39).
Meskipun demokrasi merupakan istilah eksperimental orang-orang Barat sebelum abad ke-20, namun Islam telah mengenal demokrasi dengan istilah lain, yakni musyawarah (pengelolaan suatu urusan secara kolektif) sejak zaman nabi, 15 abad yang lalu. Dalam QS As-Syuura ayat 38 juga ditegaskan, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” Bisa dikatakan, bahwa ayat ini dijadikan landasan teologis untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya di ranah politik kekuasaan, melainkan juga sosial-kemasyarakatan, supaya mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Ada banyak kisah teladan Rasulullah Saw. yang menunjukkan bahwa demokrasi (musyawarah) tidak berseberangan dengan Islam, bahkan bisa sebagai media untuk mencapai kemaslahatan. Misal, ketika tersiar kabar ada 3.000 pasukan Quraisy sedang menuju Madinah. Dengan sigap, Rasul memanggil para sahabat untuk bermusyawarah. Rasul sendiri menganggap menunggu musuh itu lebih baik, sementara ada sahabat yang mengatakan sebaliknya. Akhirnya, Rasul mengikuti pendapat sahabat tersebut dan langsung mengambil baju zirah lalu berangkat menjemput musuh (halaman 250)
Buku mungil ini menjadi menarik karena di samping kontennya yang berbasis data dan analisis dari penulisnya, juga disajikan dengan bahasa kekinian. Ulasannya juga tidak panjang lebar, bahkan ditampilkan seperti ‘quotes’, sehingga bagi mereka yang tidak terbiasa membawa buku, mudah memahaminya. Apalagi, layoutnya dibikin full color, membuat aktivitas membaca buku ini makin mengasyikkan. Selamat membaca!

Kamis, 28 Maret 2019

Demokrasi dalam Islam

Demokrasi dalam Islam
Berangkat dari sebuah kisah para sahabat, sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama, “Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.”Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi. Demokrasi adalah tatanan hidup bernegara dan mempunyai prinsi-prinsip yang disyaratkan untuk menjadi sebuah komunitas yang berdemokrasi. Menurut Sadek. J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat beberapa prinsip baku yang harus diaplikasikan dalam sebuah Negara demokrasi, di antaranya: (1) kebebasan berbicara bagi seluruh warga. (2) pemimpin dipilih secara langsung yang dikenal di Indonesia dengan pemilu. (3) kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan yang minoritas. (4) semua harus tunduk pada hukum atau yang dikenal dengan supremasi hukum. Dan prinsip-prinsip diatas sesuai dengan syariat islam yang juga menjunjung tinggi sebuah kebebasan, mulai dari kebebasan jiwa yang harus dijaga, kebebasan untuk mengelola harta dan juga kebebasan berpendapat. Bahkan dalam islam sendiri tidak mengenal pemaksaan untuk memeluk agama nya, hanya saja ada kewajiban mengajak kepada syariat islam yang disebut dakwah, tapi semua diserahkan kepada hidayah dari Allah nantinya. Misalnya lagi mekanisme pemimpin dalam islam juga sejalan dengan prinsip-prinsip diatas, dalam sebuah hadis rasulullah menganjurkan untuk memilih pemimpin dari sekelompok orang atau komunitas, dan juga kepemimpinan dalam Islam yang tidak dianggap sah kecuali bila dilakukan dengan bai’at secara terbuka oleh semua anggota masyarakat. Seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi tidak boleh mengambil keputusan dengan hanya dilandaskan pada pendapat dirinya belaka, ia harus mengumpulkan pendapat dari para cendikiawan atau ahli pikir dari anggota masyarakat. Menurut DR. Yusuf Qardhawi substansi demokrasi sejalan dengan  islam, hal ini bisa dilihat dari bebrapa hal, misalnya:
  1. Proses pemilihan pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat banyak, dan dalam islam hal ini contohnya menjadi imam shalat saja islam melarang imam yang tidak disukai oleh makmumnya.
  2. Pemilihan umum termasuk pemberian saksi, makanya barang siapa yang menolak untuk ikut dalam pemilihan dan kandidat yang baik kalah karena banyak yang tidak ikut memilih maka yang menang adalah kandidat yang tidak selayaknya, maka orang ini melanggar ajaran Allah untuk memberikan kesaksian disaat dibutuhkan.
  3. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas, dalam islam ada istilah syura. Yaitu musyawarah. “… sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka …” (Asy-Syura 38)dan “… karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran 159).
  4. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan islam.
Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa demorasi yang dikenal hari ini adalah tatanan hidup yang jauh hari telah dicontohnya oleh umat islam, dan menjadi sebuah jaminan kejayaan suatu negara kalau benar-benar menerapkan sistem demokrasi tersebut. Hanya saja banyak dikalangan negra demokrasi yang hanya menggemborkan demokrasi tapi jauh dari nilai dan praktek demokrasi itu sendiri. Misalnya Amerika dikenal dengan negara demokrasi, tapi negeri adi daya itu tetap menjadi penjahat HAM, membunuh jiwa-jiwa yang tak berdosa, mendukung penjajahan zionis Israel. Mereka berkoar-koar tentang tatanan demokrasi tapi aplikasi dari nilai-nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri masih jauh dan hanya omong kosong. Waalhualam bishowab.

Rabu, 27 Maret 2019

Perlukah Jihad di Negara Demokrasi?


Nah, jaminan terhadap kelima kebutuhan di atas dapat terwujud secara efektif melalui instrumen negara. Negara yang dapat menjamin keterpenuhan  kelima prinsip pokok di atas sama dengan menjamin terlaksananya syariat Islam. Sampai di sini ada pandangan unik dari seorang ulama kenamaan Tunisia. Ibnu Ashur (w.1973). Menurutnya, negara-negara demokratis pada prinsipnya telah memberikan jaminan lima prinsip itu.
Ibnu Ashur, salah seorang ulama terkemuka yang juga rektor Universitas Zaitunah, Tunisia, pernah menyatakan dalam bahwa negara yang paling islami adalah Amerika Serikat. Dia melihat demokrasi sebagai ‘illat atau alasan rasional mengapa Amerika Serikat saat itu disebutnya islami. Dibanding kekhalifahan Turki Usmani, atau kerajaan-kerajaan Muslim.
Ibnu Ashur mengkritik Ali Abd Raziq yang menyatakan Islam tidak pernah hadir dalam bentuk negara. Lebih-lebih model kekhalifahan. Menariknya, Ibnu Ashur juga tidak mendukung paham Pan-Islamisme mendukung kekhalifahan Turki saat itu. Ibnu Ashur malah mendukung demokrasi.
Saya menduga kuat, alasan utamanya adalah karena demokrasi menyediakan ruang bagi terlaksanakannya syariat Islam yang lebih adil di antara sesama umat Islam, bahkan berbagai kelompok sosial lain, dibanding model kekhalifahan. Negara yang menerapkan demokrasi yang mengizinkan warga negaranya melaksanakan ajaran agamanya, mendakwahkan dengan baik, dan memberikan perlindungan kepada penganutnya, tidak boleh dijadikan musuh, apalagi menjadi sasaran serangan dalam konteks jihad.
Baca Juga :  K.H. Ali Mustafa Yaqub: Jihad Bukan Terorisme dan Terorisme Bukan Jihad
Saya ingat Syekh Abu Bakr Syato, pengarang Syarah Fathul Muin pernah menulis dalam bab jihad. Jihad adalah sarana (wasilah). Tujuan atau ghoyah-nya adalah sampainya pesan Islam melalui dakwah. Jika dakwah dapat dilakukan dengan bebas, orang dapat melaksanakan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya jihad-qital tidak diperlukan.
Negara seperti Indonesia yang dihuni mayoritas Muslim, dikuasai oleh politikus-politikus Muslim dengan beragam gagasan politiknya, terjaminnya kesempatan pemenuhan lima kebutuhan dasariah warganya, kebebasan mendakwahkan dan menjalankan agama, yang dibangun dengan darah umat Islam adalah salah bila dianggap sebagai ‘musuh agama’, ‘musuh Tuhan’, yang harus diperangi.
Hari-hari ini, sebagian anak bangsa yang kehilangan memori historisnya, sedang berupaya mendeligitimasi eksistensi negara tempat mereka tinggal dan hidup. Mereka menggunakan dalil-dalil agama, teks-teks Alquran dan Hadis, yang dalam pandangan mereka telah mengecam realitas ekosospolbud mereka.
Padahal, menggunakan dalil-dalil agama untuk mendeligitimasi eksistensi negara Indonesia adalah sebuah upaya destruktif dan merusak yang dapat menghantarkan bangsa yang damai ini kepada perang saudara: terabaikannya kulliyatul khams dari kehidupan masyarakat banyak. Di sini, sepertinya teks-teks agama dibaca, dipahami pengertian tekstualnya, namun pada saat yang sama diabaikan tujuan-tujuannya yang berintikan serangkain virtue atau nilai kebajikan. Jadinya, orang beragama dengan spirit vandalistik.
Saya sih sayang bangsa dan negara. Sayang keluarga, sayang kawan dan saudara. Ngeri kalau kami harus saling bunuh. Lebih sayang lagi sama agama. Gak tega jika agama yg tujuan diturunkannya sebagai rahmat, malah jadi niqmat alias bencana. Apa gak bisa sih beragama yang konstruktif dan positif? Saya kira kok penting yah memahami filosofi syariah dalam konteks berbangsa dan bernegara. Biar kayak Syekh Ibnu Ashur dan Syekh Abu Bakr Syato itu.
  • #muslimsejati

Selasa, 26 Maret 2019

Lima Tanda Sikap Berlebihan dalam Beragama yang Patut Kamu Hindari

Setiap hal yang berlebihan adalah tidak baik. Selain Islam melarang berlebihan dalam makan dan minum, Islam juga melarang sikap berlebihan dalam beragama (ekstrim). Hal ini jelas termaktub dalam QS. Al-An’am ayat 141.
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)
“Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, dan jangalah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yang berlebihan.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam urusan zakat, yang termasuk bagian dari agamapun, kita dilarang untuk berlebih-lebihan.
Lalu apa saja tanda-tanda orang yang memiliki sikap berlebihan dalam beragama?
Menjawab hal ini, Yusuf Al-Qaradhawi dalam al-Shahwah al-Islamiyah  baina al-Juhud wa al-Tatharruf menyebutkan setidaknya ada lima tanda seseorang telah bersikap berlebihan dalam beragama.
Pertama, fanatik pada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat yang lain.
Tanda pertama ini adalah tanda pertama yang paling mencolok di antara tanda-tanda yang lain. Orang yang sudah memiliki sifat ini selalu merasa bahwa pendapat yang ia ikuti paling benar di antara pendapat-pendapat yang ada. Orang-orang seperti ini tidak pernah memberikan ruang diskusi kepada orang lain. Karena bagi mereka tetap saja yang paling benar adalah pendapat mereka.
Yang paling mengherankan, menurut Al-Qaradhawi, orang-orang seperti ini sering memfatwakan ijtihad-ijtihadnya dalam masalah agama yang sulit kita mengerti dan mengajak orang untuk mengikuti fatwannya. Namun saat ada ulama spesialis yang memiliki pendapat berbeda dengan fatwanya tetap ia tolak. Walaupun keilmuannya jauh di bawah ulama spesialis ini.
Mereka sering kali menganggap orang yang berbeda dengan berbagai tuduhan. Seperti bidah, menistakan agama, kufur, sesat dan julukan-julukan tak layak yang lain.
Kedua, sering mewajibkan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Swt.
Orang-orang yang memiliki sikap berlebihan dalam beragama seringkali mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh agama. Sering kali mengajak orang lain melakukan hal yang sulit, padahal agama telah menyediakan hal yang mudah.
Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Mudahkanlah dan jangan menyusahkan, berikanlah kabar gembira dan jangan menyusahkan.” Selain itu, tidaklah Rasulullah Saw diberikan dua pilihan kecuali beliau memilih hal yang paling mudah di antara pilihan tersebut.
Dalam sejarahnya Rasul pernah marah besar kepada Imam shalat yang membuat jamaahnya meninggalkan masjid gara-gara ia terlalu panjang membaca surat dalam shalat. Di sisi lain, Rasul meringankan bacaannya ketika mendengar ada seorang anak kecil yang sedang menangis. Rasul takut lamanya shalat yang ia lakukan memberatkan si ibu yang sedang shalat tersebut.
Di masa sekarang, banyak sekali orang-orang yang mewajibkan urusan yang tak pernah diwajibkan oleh Allah Swt., seperti mewajibkan orang lain memilih calon yang dikehendakinya. Padahal Allah maupun Rasul tidak pernah mewajibkan hal itu.
Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa cukup bagi seorang muslim untuk mengerjakan perkara wajib dan menjauhi dosa besar. Lalu apa saja perkara wajib tersebut?
Seorang Arab Badui pernah bertemu dengan Rasul dan menanyakan satu hal: Apa yang menjadi kewajibannya sebagai muslim? Rasul pun menjawab bahwa yang menjadi kewajibannya adalah menunaikan shalat lima waktu, membayar zakat dan berpuasa Ramadhan. Ketika Rasul ditanya kewajiban lain selain tiga hal itu, Rasul hanya menjawab: tidak ada, kecuali ia mau mengerjakan perkara yang sunnah.
Nah selama orang tersebut masih mengerjakan hal-hal yang diwajibkan dan tidak melakukan dosa besar, jangan sampai disebut sebagai penista agama atau bahkan kafir, apalagi jika hanya berbeda pilihan politik.

Ketiga, bersikap keras dan kasar juga menjadi tanda berlebihan dalam beragama.
Allah Swt mengajak kita agar mengajak atau berdakwah dengan cara yang halus nan bijaksana. Namun sekarang ada beberapa orang yang mengatasnamakan sebagai pejuang Islam tapi sama sekali tidak sesuai dengan ajaran berdakwah ala Islam.
Rasul Saw sendiri disifati dalam Al-Quran sebagai orang yang halus lembut, penuh kasih sayang, dan bukan bersifat kasar dalam Q.S al-Taubah: 128.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri; berat terasa olehnya  penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, sangat belas kasih dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”
Lalu, ada seorang ustad gadungan yang mengatakan bahwa Rasul memang halus, tapi ketika ada orang yang menghina agamanya beliau angkat senjata, benarkah demikian?
Al-Quran sama sekali tidak pernah memerintahkan sikap keras kecuali dalam dua tempat. pertama, dalam suasana perang menghadapi musuh. Tentu ini hal maklum. Karena situasinya dalam peperangan; kedua, dalam pelaksanaan sanksi hukum.
Keempat, sering berburuk sangka dan gampang menuduh.
Salah satu sifat yang gampang ditebak dari seorang yang memiliki perilaku ekstrim dalam beragama adalah gampang menuduh orang lain, menyembunyikan kesalahan sendiri dan membesar-besarka kesalahan orang lain.
Orang ekstrim ini selalu saja menuduh orang yang bertentangan dengan pendapat mereka, selalu dituduh kafir, maksiat atau bidah. Kalau zaman sekarang, mungkin tuduhannya bergeser, menjadi liberal, syiah, komunis, dan lain sebagainya.
Menurut Al-Qaradhawi, mereka bahkan tidak segan-segan menuduh orang yang sangat dipercaya kredibilitasnya tentang agama, seperti ulama, juru dakwah, dan pemikir Islam dengan tuduhan-tuduhan seperti disebutkan di atas.
Kelima, mudah mengkafirkan orang lain.
Sikap berlebihan atau ekstrim ini mencapai puncaknya ketika sudah dalam kondisi mudah mengkafirkan orang lain, apa lagi sampai menghalalkan darah orang lain.
Al-Qaradhawi menyebutkan, hal seperti inilah yang terjadi pada orang-orang Khawarij. Mereka adalah orang-orang yang sangat ketat dalam melaksanakan berbagai macam ritus keagamaan, mulai shalat, puasa, membaca Al-Quran, dan beberapa peribadatan yang lain. Namun mereka menghalalkan darah orang lain yang tidak sependapat dan berbeda dengan mereka.
Padahal Rasul Saw telah mewanti-wanti kepada umatnya agar tidak mudah mengucapkan kata ‘kafir’ kepada saudaranya, “Siapa yang mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim) dengan ucapan “Hai kafir!” maka berlakulah perkataan itu bagi salah satu dari keduanya. Jika tuduhan itu tidak terbukti, maka tuduhan itu kembali kepada orang yang mengatakannya.”
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim yang baik, seharusnya kita berhati-hati dan menghindari lima hal di atas agar tidak menjadi bagian dari kelompok yang memiliki sikap berlebihan (ekstrim) dalam beragama. Karena selain mengikuti perintah Allah, meninggalkan hal-hal di atas juga memiliki kemaslahatan bagi kehidupan beragama dan bermasyarakat kita.
Wallahu A’lam.

Senin, 25 Maret 2019


Demokrasi dalam sudut pandang Islam

Demokrasi dalam sudut pandang IslamDemokrasi 
Berbicara tentang paham demokrasi itu menarik, banyak negara yang saat ini menganut paham ini. Salah satunya ialah negara kita sendiri yaitu negara Indonesia. Demokratis seringkali disebut-sebut dan dipandang sebagai sistem yang paling adil untuk penyusunan dan penegakan hukum. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman yunani kuno hingga sekarang, mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja. Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham demokrasi.
Menurut asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa).  Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1]
Pandangan Islam tentang Demokrasi 
Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada  ulil amr (pemerintah). Syura (Musyawarah) terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.
Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.[2]
Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.
maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159.
Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
            Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah (anggota musyawarah) Islam tidak ada aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya.
Rasulullah tidak membuat kaidah-kaidah syura (kaidah musyawarah ) karena beberapa hikmat dan sebab:[3]
  • Kaidah-kaidah syura bisa berlain-lainan menurut perkembangan masyarakat (bangsa), masa dan tempat.
  • Seandainya Nabi telah menentukan kaidah-kaidah Syura saat itu, maka menjadilah kaidah-kaidah itu sebagai hukum agama yang wajib ditaati dan wajib dilaksanakan di semua masa dan tempat. Kaidah-kaidah yang ditetapkan pada masyarakat yang sistemnya masih sederhana, tentu tidak akan sesuai lagi untuk masa-masa kemudian.
  • Inilah sebabnya para sahabat berkata, ketika mereka memilih Abu bakar: “Rasulullah telah menyukainya untuk menjadi imam kita di dalam sembahyang. Apakah kita tidak menyukai dia untuk menjadi kepala negara kita?”
  • Berbeda dengan zaman Nabi, tindakan-tindakan pemerintahan Abasiyah (sebagai contoh kasus) bisa menimbulkan dugaan atau anggapan bahwa kekuasaan dalam Islam bersifat otoriter dan tidak demokratis.
  • Sekiranya kaidah-kaidah syura itu ditetapkan sendiri oleh Nabi tidak menjalankan musyawarah. Syura (musyawarah) mengandung beberapa kemanfatan:
  • Digunakan pertimbangan akal dan paham, serta memperhatikan kemaslahatan masyarakat.
  • Menggali apa yang tersembunyi. Akal manusia selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan musyawarah akan dapat dilakukan kajian dan tinjauan dari macam-macam aspek yang menyangkut banyak segi, karena terdapatnya banyak pemikiran dan usulan.
  • Menghasilkan pendapat-pendapat benar dan terbaik, dengan dasar yang kuat dengan bertemunya berbagai pemikiran dari banyak orang.
  • Menciptakan suasana persatuan dan kesatuan dalam pelaksanaan dan penyelesaian masalah, karena banyak orang yang dilibatkan didalamnya.
[1] Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 195.
[2] Ibid hal 220.  
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 1995, PT Pustaka Rizki Putra:Jakarta, hal 717-721.

Minggu, 24 Maret 2019

Mantan Aktivis HTI Cerita Teori Tebar Jala di Lautan Medsos


Kendi, NU Online | Rabu, 28 November 2018 20:15
Bintan, NU Online
Mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Rofiq Al Amin mengatakan dalam kitab HTI disebutkan mereka yang tidak melaksanakan khilafah termasuk akbarul ma'asi atau kemaksiatan yang paling besar.

"Saya lima tahun aktif di HTI. Di antara upaya gerakan radikalisme itu tebar jala ide dan hoaks, daya tunggang dan kamuflase," kata Rofiq dalam Dialog Kebangsaan GP Ansor Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (27/11).

Ia menjelaskan di era saat ini, generasi milenial hidup berakrab ria dengan medsos. Di 'lautan' medsos inilah generasi milenial banyak belajar dan diajari untuk hidup, tumbuh dan berkembang; baik cara tampilan diri, cara berfikir, cara bergaul, hingga sikap dan cara keberagamaannya.

"Lalu, siapa yang mengajarinya? Tidak lain semua pihak dari seluruh penjuru jagat raya yang berkepentingan. Seluruh pihak yang berkepentingan akan berupaya menebar 'jala' pemikiran di 'lautan' medsos untuk menjaring generasi milenial agar mengikuti idenya," papar Gus Rofiq, panggilan akrabnya.

Menurutnya semakin sering, massif, dan sistematis mereka menebar 'jala', maka akan semakin banyak 'ikan' tangkapan yang didapat, yakni generasi milenial yg  terperangkap 'jala' ide tersebut.

"Apesnya, di antara sekian  banyak penebar 'jala' di 'lautan' medsos adalah kelompok radikal; entah mereka yang mau menegakkan negara Islam (khilafah), atau mereka yang ingin melakukan purifikasi yang over alias kebacut," sesalnya.

Situasi demikian, bagi yang ingin menyelamatkan generasi milenial dari radikalisme tiada lain harus melakukan perlawanan, kontranarasi atau wacana balik. "Kita tidak boleh diam, 'jala-jala'  yang ditebar itu harus kita difungsikan dengan cara menyampaikan pencerahan akan bahaya radikalisme kepada generasi milenial agar mereka bisa menghindar dari jebakan  tebaran 'jala-jala' tersebut," imbuhnya. 

Lebih berbahaya lagi, lanjut Gus Rofiq, jika 'jala' tersebut dimodifikasi menjadi 'pukat harimau'. Daya destruksinya terhadap generasi milenial semakin besar. Diibaratkan pukat harimau di dunia kelautan dilarang karena merusak alam bawah laut dan ikan-ikan kecil, 'pukat harimau' di 'lautan' medsos yang berkomposisi, hoaks, adu domba, isu SARA serta dihubungkan dengan kepentingan politik, akan merusak alam bawah sadar, pikiran, rasa, dan sikap generasi milenial.

Dosen UIN Sunan Ampel ini menegaskan NKRI adalah kesepakatan yang dibangun berdarah-darah. Ia bercerita, dulu ia memiliki tugas bergerilya dari tokoh ke tokoh, untuk mempengaruhi agar mereka mendukung khilafah. Kini dia justru jadi rujukan jawaban atas pertanyaan masyarakat umum yang acap kali dikampanyekan kalangan HTI untuk menggerus kemantapan warga negara Indonesia tetap berada di barisan Pancasila, lalu mengikuti propaganda mereka, yakni khilafah.

Sementara Rektor Inafis Jember,  Rijal Mumazziq menegaskan dalil untuk mencintai Indonesia itu cukup dengan ayat yang artinya 'Nikmat apa lagi yang engkau dustakan.'

"Karena Indonesia yang terdiri dari ribuan suku bisa hidup aman dan damai dan ini harus kita pertahankan," katanya.

Pada kegiatan bertema Meneguhkan kembali peran OKP dan Ormas dalam mengisi dan menjaga keutuhan NKRI yang berlangsung di Wisma Karya Kijang, Bintan, Provinsi Kepulauan Riau ini, Kapolres Bintan mengatakan GP Ansor sebagai mitra Polri sangat dibutuhkan sinergitasnya.

Selain Kapolres Bintan, hadir juga Kesbangpol Bintan, PWNU Kepri, PP GP Ansor, Ormas dan OKP se-Kabupaten Bintan. Ketua Panitia Muhammad Sahroni berharap kegiatan ini dapat menjadi bekal kita untuk menjaga dan merawat keberagaman. Kegiatan diakhiri dengan pelantikan PC GP Ansor Bintan. (Abdul Madjid Al Jufri/Kendi Setiawan)

Khilafah Bukan Syariat Islam 

Senada dengan itu, Nahdhatul Ulama (NU), yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan pada 1-2 November 2014 menegaskan bahwa Islam tidak menentukan ataupun mewajibkan suatu bentuk negara atau sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan yang sesuai denganperkembangan dan kemajuan zaman. Pandangan demikian menunjukkan bahwa NU menolakklaim kewajibanmenegakkan khilafah.
NU juga menegaskan bahwa khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan merupakan fakta sejarah yang pernah dipraktikan pada masa khulafa al-rasyidinKhilafah, bagi NU, adalah model pemerintahan yang sangat sesuai pada masanya, karena kehidupan umat Islam saat itu belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa. Pada masa itu, umat Islam masih sangat dimungkinkan untuk hidup di bawah satu sistem khilafah. Namun dalam konteks sekarang, di mana umat Islam berada di bawah naungan negara-negara bangsa, tentu ide membangkitkan kembali khilafahIslamiyah dalam konteks kekinian merupakan sebuah utopia.
Selain itu, Majlis Bahtsul Masail NU—sebagaimana ditegaskan Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam—menyatakan bahwa khilafah Islamiyah sama sekali tidak memiliki rujukan teologis, baik dalam al-Quran maupun hadis. Sementara itu, penyematan kata “Islamiyah”, tak lain hanya untuk memberi bobot teologis, dan lebih sebagai komoditas politik.
Dalam konteks modern, ada banyak kelompok yang mencita-citakan tegaknya khilafah Islamiyah. Anehnya, masing-masing dari kelompok tersebut memiliki konsep kekhilafahan yang berbeda. Bahkan, masing-masing dari mereka mengklaim bahwa konsep ke-khilafah-annyalah yang paling benar dan sesuai dengan syariat, sedangkan gagasan dan konsep ke-khilafah-an kelompok lainnya dianggap salah.
Berdasarkan fakta tersebut, maka poin yang hendak penulis tegaskan ialah,bahwa adanya perbedaan konsep di antara mereka,semakin menunjukkan bahwa Islam tidak pernah mewariskan konsep baku dalam bernegara. Ketidakbakuan ini secara otomatis menunjukkan bahwa khilafahIslamiyyahbukan bagian dari syariat Islam yang bersifat abadi.
Jika memang khilafah merupakan syariat Islam, tentu nash-nash kegamaan, baik al-Quran ataupun hadis akan mengurai konsepnya secara eksplisit. Faktanya,—sebagaimana telah penulis singgung pada artikel sebelumnya berjudul “Adakah Dalil Khilafah Dalam al-Quran?— bahwa al-Qur’an hanya menyajikan nilai-nilai moral-etik yang dapat dipedomani dalam bernegara semisal adil (al-adalah), musyawarah (al-Syura), amanah (al-amanah) dan lain sebagainya tanpa mewajibkan sistem atau model pemerintahan tertentu.
Berberapa uraian di atas menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dalam bentuk khilafah Islamiyah yang selama ini dicita-citakan oleh kelompok tertentu, sesungguhnya bukanlah syariat Islam. Ia tak ubahnya merupakan hasil kreasi orang-orang yang hidup pada masa awal, sehingga tidak relevan untuk diterapkan di era modern seperti sekarang di mana seluruh negara di dunia telah menerapkan konsep negara bangsa. Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa penegakkan khilafah Islamiyahsebagai sistem pemerintahan bukanlah segalanya. Ia bukanlah sistem baku yang tak dapat berubah mengikuti laju perkembangan zaman.

Sumber : https://islami.co/khilafah-bukan-syariat-islam-2/

#muslimsejati 

Sabtu, 23 Maret 2019

Alasan Para Ulama NU Tidak Menerapkan Sistem Khilafah dan Negara Islam di Indonesia

MusliModerat.Com - Mungkin ada diantara kita yang pernah terlintas dalam pikiran, yaitu: “Mengapa para ulama khususnya di Nahdlatul Ulama tidak menerapkan hukum Islam di Indonesia setelah kemerdekaan padahal kondisinya saat itu sangat memungkinkan? Mengapa pula penerus perjuangan NU hingga saat ini tetap mempertahankan negara ini dan tidak merubahnya menjadi sistem Islam seperti khilafah?”

Terlebih saat ini begitu marak kelompok yang memperjuangkan sistem negara Islam, baik yang berbentuk khilafah, piagam Jakarta, Perda Syariah dan lain sebagainya. Hal yang semacam ini kerap memunculkan propaganda yang menyudutkan NU, misalnya “NU yang murni adalah NU yang memperjuangkan Khilafah”, hingga mengakibatkan anak-anak muda NU, akademisi, pekerja profesional dan masyarakat awam sekalipun yang demam istilah “Syariah”, membuat mereka berpindah haluan secara ‘politik’ dan menjadi sipatisan mereka, meski secara amaliyah mereka tetap mengamalkan amaliyah NU.



NU bukan paranoid terhadap sistem Negara Islam, NU bukan berarti anti terhadap yang berbau “Syariah Islam”. Sebab bagaimana mungkin NU alergi kepada Islam padahal ruh Nahdlatul Ulama adalah Islam itu sendiri? NU menerima Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah sebagai strategi untuk menjalankan ajaran Islam secara merdeka bagi umat Islam di Indonesia tanpa ada disintegrasi bangsa, tanpa perang, tanpa kekerasan dan lainnya sebagaimana Rasulullah Saw menerima perjanjian damai Hudaibiyah yang seolah merugikan Islam, namun kenyataannya disanalah titik balik menyebarnya Islam tanpa perang dan senjata.
Saya baru bisa memahami secara utuh tentang sikap dan landasan ulama NU diatas setelah sering mengikuti Bahtsul Masail di NU, kajian Aswaja dari Ust. Idrus Ramli, riwayat kisah NU melalui Kyai As’ad yang disampaikan Gus Sholahuddin Mujib dan sebagainya. Semoga secuil tulisan ini bermanfaat.


Formalitas Agama Bukan Segalanya

Ketika Orde Baru berupaya memberangus Ormas Islam di tahun 80-an, kala itu Presiden Suharto menerapkan peraturan Azaz Tunggal Pancasila. Yang ia harapkan, jika ada ormas Islam yang menolaknya maka dengan mudah ‘diberhentikan’. Namun, Suharto salah prediksi, sebab ternyata NU menerima Azaz Tunggal Pancasila, sehiangga Suharto tidak punya alasan untuk membubarkan NU.



Telah sampai kepada saya riwayat dari Gus Sholahuddin, putra Kyai Mujib Ridlwan Abdullah, beliau dari ayahnya Kyai Mujib, bahwa awalnya Kyai As’ad di masa itu tidak menerima adanya Azaz Tunggal Pancasila. Bagi kyai pelaku sejarah NU ini, Islam tidak bisa diganti dengan apapun termasuk dengan Pancasila. Kyai As’ad berkata kepada Kyai Mujib: “Tidak bisa Pak Mujib. Islam tidak bisa diganti dengan Azaz Tunggal. Kalau Suharto masih meneruskan ini, kita harus Sabil (perang), Pak Mujib. Saya meski sudah tua begini jangan dikira takut perang. Kita turun ke hutan lagi seperti dulu”.
Terjadi dialog panjang antara Kyai As’ad dengan Kyai Mujib yang cenderung menerima Azaz Tunggal Pancasila. Tidak ada argumen yang keluar dari Kyai Mujib kecuali langsung dijawab oleh Kyai As’ad. Ketika Kyai Mujib mengeluarkan dalil al-Quran, maka Kyai As’ad juga berdalil al-Quran, begitu pula dengan dalil hadis. Akhirnya Kyai Mujib berkata: “Kyai, lebih berat mana NU menerima Azaz Tunggal Pancasila dengan Rasulullah menerima Perjanjian Hudaibiyah?”. Sejak itulah kemudian Kyai As’ad menerima Azaz Tunggal Pancasila pada Munas Alim Ulama dan Muktamar NU di Situbondo.


Yang dimaksud oleh Kyai Mujib dengan perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah sebagai berikut:

عَنِ الْبَرَاءِ - رضى الله عنه - قَالَ لَمَّا اعْتَمَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، فَأَبَى أَهْلُ مَكَّةَ أَنْ يَدَعُوهُ يَدْخُلُ مَكَّةَ ، حَتَّى قَاضَاهُمْ عَلَى أَنْ يُقِيمَ بِهَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَتَبُوا الْكِتَابَ كَتَبُوا ، هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . قَالُوا لاَ نُقِرُّ بِهَذَا ، لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا مَنَعْنَاكَ شَيْئًا ، وَلَكِنْ أَنْتَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ . فَقَالَ « أَنَا رَسُولُ اللَّهِ ، وَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ » . ثُمَّ قَالَ لِعَلِىٍّ « امْحُ رَسُولَ اللَّهِ » . قَالَ عَلِىٌّ لاَ وَاللَّهِ لاَ أَمْحُوكَ أَبَدًا . فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْكِتَابَ ، وَلَيْسَ يُحْسِنُ يَكْتُبُ ، فَكَتَبَ هَذَا مَا قَاضَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لاَ يُدْخِلُ مَكَّةَ السِّلاَحَ ، إِلاَّ السَّيْفَ فِى الْقِرَابِ ، وَأَنْ لاَ يَخْرُجَ مِنْ أَهْلِهَا بِأَحَدٍ ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يَتْبَعَهُ ، وَأَنْ لاَ يَمْنَعَ مِنْ أَصْحَابِهِ أَحَدًا ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ بِهَا . (رواه البخارى)

“Diriwayatkan dari al-Barra’, ia berkata: Ketika Nabi Saw melakukan umrah di bulan Dzulhijjah, maka penduduk Makkah menolak jika Nabi Masuk ke Makkah, hingga Nabi memberi keputusan kepada mereka untuk menetap di Makkah selama 3 hari. Ketika mereka menuliskan surat, mereka menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad Rasulullah”. Mereka (Kafir Quraisy) berkata: “Kami tidak mengakui dengan nama ini. Andai kami tahu bahwa kau adalah utusan Allah, maka tentu kami tidak akan menghalangimu sedikitpun. Tetapi kau adalah Muhammad bin Abdullah”. Nabi Saw bersabda: “Aku adalah utusan Allah dan aku adalah Muhammad bin Abdullah”. Lalu Nabi berkata kepada Ali: “HAPUSLAH KALIMAT RASULULLAH!” Ali berkata: “Tidak. Demi Allah saya tidak akan menghapusmu selamanya”. Kemudian Rasulullah mengambil kertas perjanjian, padahal beliau tidak bisa menulis, lalu beliau menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad bin Abdullah. Muhammad tidak akan masuk ke Makkah dengan pedang kecuali pedang yang tertutup, tidak membawa keluar seorangpun dari penduduk Madinah jika ia ingin mengikutinya, dan tidak melarang seorang pun dari sahabat Nabi jika ingin menetap di Makkah” (HR al-Bukhari)



Jelas sekali di dalam hadis ini Nabi Muhammad memerintahkan Sayidina Ali menghapus gelar formal Nabi Muhammad berupa kalimat RASULULLAH, sementara Sayidina Ali tidak mau menghapusnya, maka Nabi Muhammad sendiri yang menghapusnya. Bagi ulama di kalangan NU, hadis ini memberi pemahaman bahwa gelar formal dalam agama bukan segala-galanya yang harus dibela mati-matian. Justru tidak adanya gelar formal Islam, umat Islam bisa leluasa keluar-masuk kota Makkah, menyebarkan Islam, mengenalkan Rasulullah Saw dan sebagainya.



Demikian halnya dengan Indonesia, bagi ulama di kalangan NU, Pancasila bukan agama, oleh karenanya selamanya Pancasila tidak akan menggantikan Islam. Justru dengan NU menerima Pancasila, umat Islam di Indonesia bisa melakukan ajaran Islam kesehariannya dengan aman, tanpa rasa takut. Umat Islam juga bisa masuk ke wilayah provinsi atau kabupaten yang asalnya sama sekali tidak ada Islamnya, seperti Medan, Manado, Ambon, Papua, Timor Timur (dahulu), sehingga perlahan di daerah sana banyak yang memeluk Islam.


Berperang Atau Menerima Perjanjian Damai

Bagi di luar NU, untuk negara Indonesia dirubah dengan sistem Syariat Islam akan berani membela mati-matian, meski setelah itu akan berlanjut perang dan disintegrasi bangsa, bahkan mungkin perang saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah. Namun bagi NU akan memilih opsi perjanjian damai, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, meski diprotes oleh Sayidina Umar bin Khattab:


عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ كُنَّا بِصِفِّينَ فَقَالَ رَجُلٌ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ . فَقَالَ عَلِىٌّ نَعَمْ . فَقَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ - يَعْنِى الصُّلْحَ الَّذِى كَانَ بَيْنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَالْمُشْرِكِينَ - وَلَوْ نَرَى قِتَالاً لَقَاتَلْنَا ، فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى » . قَالَ فَفِيمَ أُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا ، وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا . فَقَالَ « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا » . فَرَجَعَ مُتَغَيِّظًا ، فَلَمْ يَصْبِرْ حَتَّى جَاءَ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا . فَنَزَلَتْ سُورَةُ الْفَتْحِ (رواه البخارى)

Diriwayatkan dari Abu Wail, ia berkata: “Kami berada dalam Shiffin, ada seseorang berkata: Apakah kamu melihat orang-orang yang diajak kembali ke al-Quran. Lalu Ali menjawab: Ya”. Sahal bin Hunaif berkata: “Berprasangkalah pada diri kalian. Sungguh saya melihat diri kami dalam perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi Saw dan orang musyrikin. Jika kami berpendapat perang maka kami akan berperang. Kemudian Umar berkata: Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah? Bukankah orang yang terbunuh diantara kami ada di surga dan yang terbunuh dari mereka ada di neraka? Nabi menjawab: “Ya”. Umar berkata: “Dimanakah saya meletakkan kehinaan dalam agama kita? Dan kita kembali sebelum Allah memberi keputusan diantara kita”. Nabi Saw bersabda: “Wahai putra Khattab. Saya adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan saya selamanya”. Umar lalu kembali dengan amarah dan tidak bisa sabar hingga ia datang kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Wahai Abu Bakar, Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah?” Abu Bakar berkata: “Wahai putra Khattab. Muhammad adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad selamanya”. Maka turunlah surat al-Fath” (HR al-Bukhari)



Maslahat atau nilai plus yang dipilih oleh Rasulullah dalam perjanjian damai ini adalah sebagai berikut, seperti yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi:

قَالَ الْعُلَمَاء : وَالْمَصْلَحَة الْمُتَرَتِّبَة عَلَى إِتْمَام هَذَا الصُّلْح مَا ظَهَرَ مِنْ ثَمَرَاته الْبَاهِرَة ، وَفَوَائِده الْمُتَظَاهِرَة ، الَّتِي كَانَتْ عَاقِبَتهَا فَتْح مَكَّة ، وَإِسْلَام أَهْلهَا كُلّهَا ، وَدُخُول النَّاس فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا ؛ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ قَبْل الصُّلْح لَمْ يَكُونُوا يَخْتَلِطُونَ بِالْمُسْلِمِينَ ، وَلَا تَتَظَاهَر عِنْدهمْ أُمُور النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا هِيَ ، وَلَا يَحِلُّونَ بِمَنْ يُعْلِمهُمْ بِهَا مُفَصَّلَة ، فَلَمَّا حَصَلَ صُلْح الْحُدَيْبِيَة اِخْتَلَطُوا بِالْمُسْلِمِينَ ، وَجَاءُوا إِلَى الْمَدِينَة ، وَذَهَبَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى مَكَّة ، وَحَلُّوا بِأَهْلِهِمْ وَأَصْدِقَائِهِمْ وَغَيْرهمْ مِمَّنْ يَسْتَنْصِحُونَهُ ، وَسَمِعُوا مِنْهُمْ أَحْوَال النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُفَصَّله بِجُزْئِيَّاتِهَا ، وَمُعْجِزَاته الظَّاهِرَة ، وَأَعْلَام نُبُوَّته الْمُتَظَاهِرَة ، وَحُسْن سِيرَته ، وَجَمِيل طَرِيقَته ، وَعَايَنُوا بِأَنْفُسِهِمْ كَثِيرًا مِنْ ذَلِكَ ، فَمَا زَلَّتْ نُفُوسهمْ إِلَى الْإِيمَان حَتَّى بَادَرَ خَلْق مِنْهُمْ إِلَى الْإِسْلَام قَبْل فَتْح مَكَّة فَأَسْلَمُوا بَيْن صُلْح الْحُدَيْبِيَة وَفَتْح مَكَّة ، وَازْدَادَ الْآخَرُونَ مَيْلًا إِلَى الْإِسْلَام ، فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْفَتْح أَسْلَمُوا كُلّهمْ لِمَا كَانَ قَدْ تَمَهَّدَ لَهُمْ مِنْ الْمَيْل ، وَكَانَتْ الْعَرَب مِنْ غَيْر قُرَيْش فِي الْبَوَادِي يَنْتَظِرُونَ بِإِسْلَامِهِمْ إِسْلَام قُرَيْش ، فَلَمَّا أَسْلَمَتْ قُرَيْش أَسْلَمَتْ الْعَرَب فِي الْبَوَادِي . قَالَ تَعَالَى : إِذَا جَاءَ نَصْر اللَّه وَالْفَتْح وَرَأَيْت النَّاس يَدْخُلُونَ فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا (شرح النووي على مسلم - ج 6 / ص 241)

“Ulama berkata: Maslahat yang timbul atas perjanjian damai ini adalah sesuatu yang tampak dari buahnya yang indah dan manfaat yang nyata, yang berujung pada penaklukan kota Makkah, dan semua penduduknya memeluk Islam dan orang-orang masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Sebab sebelum terjadinya perjanjian damai para penduduk Makkah tidak pernah berkumpul dengan umat Islam dan tidak tampak kepada mereka perilaku-perilaku Nabi Saw yang nyata, serta tidak ada yang menjelaskan kepada mereka secara terperinci. Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, mereka berbaur dengan umat Islam, mereka datang ke Madinah dan umat Islam berkunjung ke Makkah. Mereka berkumpul bersama keluarga, kawan dan lainnya. Mereka mendengar dari para sahabat tentang perilaku Nabi secara mendetail, mukjizat yang nyata, tanda kenabian yang jelas, kepribadian yang bagus, perilaku yang indah dan mereka sering menyaksikan secara langsung. Maka hati mereka mulai condong pada iman hingga banyak dari mereka bergegas dalam Islam sebelum penaklukan kota Makkah. Maka mereka telah masuk Islam antara perjanjian damai Hudaibiyah dan penaklukan Makkah. Orang yang lain pun bertambah condong ke dalam Islam. Ketika hari penaklukan kota Makkah, maka mereka telah masuk Islam semua, sebab mereka telah memiliki bekal terhadap Islam. Sementara orang Arab yang di pedalaman selain Quraisy, mereka masih menunggu orang Quraisy masuk Islam. Dan ketika orang Quraisy masuk Islam maka orang-orang Arab pedalaman masuk Islam. Allah berfirman: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong” (Syarah Muslim, Imam Nawawi 6/241)



Dengan demikian, 4 Pilar kebangsaan yang telah dinyatakan final oleh NU sebagai langkah wujudnya perdamaian di Indonesia baik antar pulau, suku dan agama, telah sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Namun bagi aliran yang berseberangan dengan NU, yang sebenarnya mereka belum merasakan derita jika suatu negara telah terjadi perang agama atau perang saudara tidak akan bisa pulih dalam waktu cepat, dan mereka belum tahu mahalnya sebuah kedamaian, maka mereka pun akan tetap maju menyuarakan harapannya. Disinilah mereka akan berhadapan dengan NU.

(Bersambung)

Sumber : http://www.muslimoderat.net/2015/11/alasan-para-ulama-nu-tidak-menerapkan.html#ixzz5izzDhF2w