Kamis, 22 Agustus 2019

Membaca Esai Gus Dur dalam “Islam Tanpa Kekerasan”

Buku berjudulkan Islam Tanpa Kekerasan diterbitkan untuk pertama kalinya oleh LKIS Yogyakarta pada bulan Agustus 1998. Di dalamnya termaktub beberapa esai yang mengetengahkan bagaimana seharusnya Islam memperjuangkan keadilan tanpa menggunakan kekerasan. Selain Esai Gus Dur, ada tujuh penyumbang tulisan lainnya. Masing-masing adalah: Razi Ahmad, Chaiwat Satha-Anand, Sarah Gilliatt, M. Mazzahim Mohideen, Glenn D. Paige, Mahmoon-al-Rasheed serta Khalijah Mohd. Salleh.
Kita ketahui, pada saat itu, secara karier organisasi, Gus Dur merupakan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tulisan Gus Dur dalam buku tersebut berjudul Islam, Anti-Kekerasan, dan Transformasi Nasional. Gus Dur membuka tulisannya dengan menyebutkan pendekatan historis dalam membaca konsep umat. Ia menuliskan—untuk mengaitkan Islam dan anti-kekerasan dalam sorotan transformasi nasional memerlukan pemahaman yang tepat terhadap bentuk sosial yang digunakan oleh umat Islam untuk tujuan tersebut sepanjang sejarah mereka.

Gus Dur dan Perjuangan Pluralisme

Salah satu sisi penting dari sosok Gus Dur memang adalah terkait mengenai perjuangan akan pluralisme. Benyamin F. Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society dalam buku Nasionalisme dan Islam Nusantara (Buku Kompas, 2015) menuliskan sebuah esai berjudul Gus Dur Pejuang Pluralisme Sejati. Ia menelisik beberapa perjuangan Gus Dur yang berkaitan mengenai pluralisme. Seperti diantaranya adalah saat Gus Dur mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Selain itu, tatkala pada tahun 1995-1997, banyak daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami kerusuhan etnoreligius. Ratusan gereja dan beberapa toko milik orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Pada saat itu, Gus Dur punya cara yang jitu. Untuk merespon kekerasan tersebut, Gus Dur menciptakan aktivis muda NU dengan tujuan mencegah teror lebih lanjut serta mengorganisasikan patroli keamanan di gereja dan toko Tionghoa.
Konsep umat dalam pembuka tulisan Gus Dur menyebutkan bahwa—“..selama periode kolonial, istilah umat memiliki makna yang lebih sempit: ia merupakan bagian dari unit rasial, kelompok etnis, atau entitas kultural, dan digunakan dalam frase-frase seperti umat Arab (‘ummah ‘arabiyah), sebagaimana dicirikan dengan munculnya kampung Arab (Arab town) di kota-kota Asia Tenggara. Setelah kemerdekaan, makna umat menjadi terbatas lagi. Ia menunjuk keanggotaan dalam gerakan Islam formal, seperti yang biasa digunakan di negeri ini, umat Islam Indonesia” (hlm. 70).
Dalam tulisan tersebut, Gus Dur menggarisbawahi—bahwa konsep umat yang dimaksudkan dalam arti geografis untuk menunjukkan pada konsep negara-bangsa (nationstate) di abad ke-20. Lebih lanjut, papar Gus Dur, diskursus pada tulisan tersebut tidak semata-mata terbatas pada konsep umat sebagai objek. Melainkan dari itu, ada pengembangan yang lebih, yakni berupa—bagaimana konsep tersebut dapat melakukan transformasi bangsa-bangsa. Dalam bahasa lain, Gus Dur menggunakan istilah transformasi nasional.

Transformasi Nasional

Bagi Gus Dur, pada saat itu, transformasi nasional merupakan tantangan besar “negara bangsa” di negara-negara Muslim. Terlebih dalam beberapa aspek persoalan, banyak negara yang sedang menghadapi ekspresi komunalisme yang kian membesar serta upaya untuk memelihara integrasi nasional yang mana baru bisa dicapai setelah perjuangan yang panjang, pahit dan penuh dengan kesulitan-kesulitan. Varian respon pemerintah hadir dalam beberapa macam; rekayasa sosio-politik yang teknokratis, konsolidasi ideologi nasional, serta penekanan pada aspek politik.
Dua aspek yang diketengahkan oleh Gus Dur dari transformasi nasional tersebut masing-masing adalah: pertama, terdapat perubahan pembagian kerja yang lebih jelas antara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lebih lanjut, dalam Esai  Gus Dur ini menjelaskan bahwasannya perubahan dalam struktur sosial itu mengandung perubahan fundamental pada hubungan institusional antara negara dan warga negara individual.
Baca Juga:  Indonesia Tidak Lahir dari Satu Agama Tertentu
Kedua, perubahan itu diperlukan dalam hubungan-hubungan sosial antara tingkatan sosial yang berbeda. Perubahan-perubahan itu bisa jadi merupakan transformasi yang damai atau bahkan suatu pergolakan yang keras. Nah, kemudian dari pada itu, untuk menghindari kemungkinan situasi lahirnya kekerasan, Gus Dur mewanti-wanti dengan pesan berupa; gerakan-gerakan Islam harus mengabdikan diri mereka pada anti-kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka.

Sejarah

Menilik pada histori atas hal maupun upaya yang dilakukan oleh Gus Dur tentu saja tak salah ketika membaca ulang esai Mitsuo Nakamura dalam bunga rampai berjudul NU dan Keindonesiaaan (Gramedia Pustaka Utama, 2010). Profesor emeritus Chiba University Jepang tersebut mengisahkannya dalam tulisan yang berjudul Harapan Terhadap NU Pasca-Gus Dur. Gus Dur melakukan banyak hal dalam peran serta upaya untuk mewujudkan konsep Islam tanpa kekerasan.
Seperti diantaranya adalah rehabilitasi eks PKI/ tapol, pengakuan kultur dan agama keturunan Tionghoa dan suku etnis Papua, dialog langsung dengan masyarakat luas hingga usaha-usaha menanamkan hubungan akarab dan kepercayaan pribadi dengan para pemimpin dunia.
Nakamura kemudian juga menyampaikan bahwa sosok Gus Dur merupakan sosok seorang pemikir, guru, dan negarawan yang luar biasa. Dia telah memformulasikan garis besar untuk menuju Indonesia yang demokratis dan sejahtera. Dia tidak hanya menunjukkan pemikirannya, tetapi juga telah berhasil merealisasikan hal-hal yang dicita-citakan dengan keberanian pribadi. Upaya ini tentu saja merupakan salah satu hal yang luar biasa dari sosok Gus Dur.
Gagasan-gagasannya menjadi api semangat untuk perjuangan dalam konteks bernegara, berbangsa hingga beragama yang tidak akan lekang oleh waktu. Sudah menjadi keharusan bagi kita yang masih hidup untuk meneruskan perjuangan.[]
*Oleh: Joko Priyono. Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Sabtu, 17 Agustus 2019

NU dan Muhammadiyah dalam Himpitan Ideologi Radikal




NU dan Muhammadiyah dalam Himpitan Ideologi Radikal


0
5

Dua ideologi yang kerap menimbulkan perpecahan adalah ideologi Wahabi dan khilafah. Jika Wahabiberwujud gerakan dakwah pemurnian yang menyebut diri mereka sebagai salafi sedangkan khilafah HTI berwujud ormas. Walau sudah dibubarkan sehingga menjadi ormas terlarang namun propaganda HTI tak pernah surut. Hingga akhir-akhir ini keberadaannya terpapar dengan ideologi radikal.
Dua ideologi ini, terus berupaya menjebol NKRI walau dengan strategi yang berbeda. Jika target Wahabi adalah menyerang amaliyah Aswaja dengan tuduhan syirik dan bid’ah sedangkan target Khilafah-HTI adalah ideologi bangsa yakni mengganti dasar negara dengan ideologi bersyariah.
NU dan Muhammadiyah sebagai gerbong NKRI, menjadi target utama Wahabi dan Khilafah. Target menghancurkan idelogi Aswaja dan ideologi Pancasila tentu tidak dengan cara menyerang secara frontal sebagaimana kaum kolonial namun dengan cara penetrasi ideologi. Wahabisme dan Khilafahisme masuk melalui propaganda media. Menyebarkan doktrin Wahabi dan Khilafah dengan bumbu ayat dan cuilan-cuilan hadits.
Penetrasi ideologi Wahabi dan Khilafah nyaris berhasil menjebol gawang NU dan Muhammadiyah. Jika tidak diwaspadai maka bukan tidak mungkin, NKRI akan runtuh manakala NU dan Muhammadiyah sudah jebol. Mengganasnya Wahabi dan Khilafah di media, sebagai bukti bahwa doktrin yang mereka tanam melalui cekok ideologi sudah terlihat hasilnya.

Ideologisasi Radikalisme

Kaum khilafah rata-rata adalah mantan warga NU. Mereka mengaku melakukan amaliyah NU seperti tahlilan dan sebagainya. Mantan HTI yang sudah bertaubat juga kembali menjadi warga NU. Bahkan tokoh-tokoh khilafah muncul dari kalangan pesantren. Sebaliknya, ideologi Wahabisme muncul dari kalangan Muhammadiyah. Karena kemiripan misi pemurnian, Wahabi sering bersembunyi dibalik kebesaran Muhammadiyah. Muhammadiyah kerap menjadi korban taqiyah (kamuflase) Wahabi.
Selain propaganda, kaum Wahabi dan Khilafah lihai menebar fitnah. Jika kaum Khilafah memfitnah NU bahwa NU tertarik dengan ideologi khilafah dan memiliki misi penegakan khilafah sebagaimana HTI, sedangkan fitnah Wahabi kepada NU, bahwa NU sudah menyimpang dari ajaran NU mbah Hasyim Asy’ari. Mereka menuduh NU sebagai Syiah, Kafir dan biang kemusyrikan. Padahal NU sejak dahulu sudah dimusuhi Wahabi, dimusuhi pada masa kepemimpinan mbah Hasyim, mbah Wahab Hasbullah dan tokoh pendiri NU. Kaum Wahabi dan Khilafah memusuhi NU untuk melampiaskan birahi doktrin takfirinya. Kalau Wahabi teriak bid’ah, sedangkan kaum khilafah teriak thaghut.
Baca Juga:  Menyandingkan UUD Khilafah HT/HTI Dengan UUD 1945 NKRI
Sudah menjadi suratan takdir bagi NU dan Muhammadiyah sebagai penjaga NKRI dimusuhi ormas-ormas ideologi radikal. Jika saat ini NU di-bully habis-habisan oleh gerombolan Wahabi dan Khilafah, itu hanya pengulangan masa lalu. Selama NU dan Muhammadiyah teguh menjaga NKRI, maka risikonya akan selalu dimusuhi.

Menyelamatkan Ormas Islam

Agar NU dan Muhammadiyah kuat dan selamat dari ideologi radikal, selamat dari fitnah dan propaganda kaum Wahabi dan Khilafah maka perlunya warga NU dan Muhammadiyah memperdalam pengetahuan dan mengkaji ulang tokoh mereka sehingga tidak terkena fitnah Wahabi dan kaum Khilafah. Warga NU harus memperdalam ke-NU-an dan warga Muhammadiyah wajib memperdalam ilmu kemuhammadiyahan sehingga tidak tertipu fitnah kaum Wahabi dan Khilafah. Warga NU dan Muhammadiyah harus paham mengapa mbah Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mbah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Warga NU harus paham tentang akidah Aswaja sehingga tidak terkontaminasi virus khilafah dan warga Muhammadiyah harus mengerti tentang prinsip Muhammadiyah sehingga tidak terdoktrin ideologi takfiri Wahabi.
Dengan memahami ormas NU dan Muhammadiyah secara kaffah, maka kita akan paham mengapa NU dan Muhammadiyah didirikan. Mengetahui dengan penuh kemantapan mengapa NU dan Muhammadiyah setia pada NKRI. Jika ada yang mengaku NU atau Muhammadiyah tapi suka mengkafirkan sebagaimana Wahabi dan tertarik dengan ideologi khilafah maka jelas mereka bukan NU dan Muhammadiyah. Kecuali NU gadungan atau Wahabi yang menyamar menjadi Muhammadiyah.
Salam damai untuk warga NU dan Muhammadiyah diseluruh dunia. Jangan pernah menjadi NU dan Muhammadiyah yang rasa Wahabi atau rasa khilafah! Tetap moderat mendakwahkan Islam Nusantara Berkemajuan. Jangan lelah mencintai NKRI.  Istiqamahlah menjaga Pancasila!
*Suryono ZakkaAswaja Sumsel

Senin, 08 Juli 2019


Menolak Ide Khilafah


0
6

Menolak Ide Khilafah
Oleh: Moh. Mahfud MD*
“Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”. Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.
Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.
Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
Sistem Negara Pancasila
Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.
Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa.
Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada.
Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata saya.
Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.
Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya.
Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy).
Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.
Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.
Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda.
Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.
Berbahaya
Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.
Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang.  Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya
Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.
MENGAPA? KALAU IDE KHILAFAH DITERIMA, DI INTERNAL UMAT ISLAM SENDIRI AKAN MUNCUL BANYAK ALTERNATIF YANG TIDAK JELAS KARENA TIDAK ADA SISTEMNYA YANG BAKU BERDASAR AL QURAN DAN SUNAH. SITUASINYA BISA SALING KLAIM KEBENARAN DARI IDE KHILAFAH YANG BERBEDA-BEDA ITU. POTENSI KAOS SANGAT BESAR DI DALAMNYA.
Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagai  mietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian.
Baca Juga:  Sisakan Sedikit Sifat Baikmu kepada Orang lain Wahai Para Teroris!
*Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013.
Sumber: Koran Kompas

Belajar dari Teroris dan Korbannya

10
 
0
Secara sederhana, Hasibullah Satrawi menulis buku ini berdasarkan pengalamannya dalam berjumpa dan berintraksi dengan mantan pelaku tindak terorisme serta korban yang diakibatkan oleh tindakan tersebut. Banyak sekali pembelajaran yang dapat diambil dari kehidupan pelaku dan korban. Hasib, begitu sapaan akrabnya, menulis buku untuk mencoba memahami  segala macam sisi kehidupan teroris dan korbannya dalam sudut pandang ibroh (pembelajaran dan hikmah sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Pria lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini merefleksikan pikiran dan upaya advokasinya terhadap masalah-masalah terorisme. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengkampanyekan suatu perdamaian dalam berkehidupan. Latar belakang keislaman yang kental membuat Hasib dengan lugas mengemukakan pandangan islam terhadap bentuk-bentuk kegiatan terorisme yang mengidentikan diri kepada Islam dibalik tindakan-tindakan tersebut.
Buku ini terdiri dari tujuh bagian utama serta prolog oleh Imam Prasodjo dan epilog oleh Prof. Azyumardi Azra. Bagian pertama berjudul “Anugerah Perjumpaan” dimana pada bagian ini merupakan awal bagi Hasib dalam bercengkrama dengan pelaku terorisme serta para korbannya. Perjumpaan-perjumpaan yang dilakukan mengarahkannya kepada suatu konklusi mengenai kehidupan pelaku saat masih dalam jaringan terorisme hingga akhirnya keluar dan mencoba untuk melakukan rekonsiliasi dengan para korbannya. Begitu pula dengan korbannya dimana rekonsiliasi dengan mantan pelaku merupakan hal luar biasa dari seorang manusia yang menjadi korban tindakan terorisme.
Pada pertengahan tahun 2013, penulis bertemu dengan seorang mantan teroris atau kombatan yakni Ali Fauzi. Ali Fauzi merupakan adik termuda dari tiga terpidana terorisme kasus bom Bali 1 2002 yaitu, Ali Ghufron, Amrozi dan Ali Imron. Sebagai adik, Ali Fauzi sempat dikader oleh Ali Ghufron di Institut Lukmanul Hakim Johor Baru Malaysia bersama Dr. Azhari dan Noordin M. Top serta dikirim ke Akademi Militer Moro Islamic Liberation Front (MILF) Filipina untuk belajar merakit bom dan taktik peperangan (hlm. 7-8).
Bagian kedua dari buku ini berjudul “Kasih Sayang yang Terkikis”. Dalam bagian ini Hasib mengemukakan tentang keberadaan teroris khususnya di Indonesia, latar belakang yang menyebabkan seseorang percaya dan mau menjadi teroris dengan melakukan tindakan-tindakan yang menurut ideologi dan ajaran mereka benar. Kemudian diuraikan pula hal-hal yang menyebabkan mereka berhenti dan memutuskan untuk keluar dari jaringan terorisme yang selama ini mereka ikuti.Baca Juga:  Belajar Mencintai Bangsa dari Yudi Latif
Harus ditegaskan sejak awal, tidak ada faktor atau latar belakang yang tunggal dalam dunia terorisme. Para teroris mempunyai faktor dan latar belakang yang berbeda-beda hingga pada akhirnya berkomitmen dengan ideologi kekerasan bahkan bergabung dengan jaringan teroris (hlm. 35).
Hasib menguraikan beberapa faktor yang menjadi awal ketertarikan seseorang dalam dunia terorisme diantaranya adalah: semangat keagamaan, kezaliman terhadap umat Islam, sosial ekonomi, teman dan keluarga, hubungan guru-murid, balas dendam, ideologi, serta mengatasnamakan agama dan umat. Kemudian ijtihad ulang dari para teroris sendiri setelah bertemu dengan ulama-ulama lain yang berdakwah di jalan non-kekerasan serta perjumpaannya dengan korban merupakan awal bagi para teroris dalam memperbaiki diri menjadi lebih baik.
Bagian ketiga dari buku ini berjudul “Ketika Harus Kehilangan Anggota Tubuh”. Perjumpaan Hasib dengan para korban terorisme yang sebagian besar mengalami cacat fisik merupakan suatu pembelajaran bagaimana ia masih bisa dan terus menjalani kehidupannya di tengah kekurangan yang dimilikinya. Walaupun sudah dibantu dengan alat bantu lainnya, namun itu tidak bisa menggantikan apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Hal tersebut seperti yang dialami salah satu korban Bom Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia tahun 2004 silam yakni Sudirman A Thalib, dimana ia kehilangan mata kirinya akibat serpihan logam yang mengenai matanya.
“Ketika Harus Kehilangan Orang Terkasih” adalah judul dari bagian keempat. Akibat yang ditimbulkan dari tindakan terorisme berupa pengeboman tidak hanya menjadi penderitaan korban yang terdampak langsung di lokasi kejadian. Namun dirasakan juga oleh para keluarga korban yang kehilangan. Ada seorang istri yang kehilangan suaminya yang menjadi korban bom. Ada pula suami yang kehilangan sang istri untuk selamanya. Bahkan anak yatim piatu pun lahir akibat kejadian tersebut. Selain kehilangan untuk selamanya, sebagian keluarga juga kehilangan keluarganya secara utuh. Ada yang hanya menyisakan sebagian anggota tubuhnya, bahkan adapula yang sampai saat ini tidak ditemukan karena sulit teridentifikasi.Baca Juga:  Membongkar Khilafah HTI dan Meneguhkan Pancasila
Tidak selamanya seorang teroris akan menjadi teroris dan tidak selamanya korban dan keluarga akan terus memusuhi para teroris. Ada saatnya titik dimana keduanya akan saling meminta maaf dan memaafkan. Dalam bagian kelima buku ini diuraikan tentang bagaimana rekonsiliasi yang terjadi antara korban, keluarga korban dan mantan pelaku terorisme. Tidak mudah memang untuk berekonsiliasi, khususnya bagi korban dan keluarganya. Namun sesulit apapun itu terjadi, kesadaran akan makhluk yang berasal dari Allah dan akan kembali kapada Allah membuat sebagian korban memutusjab untuk berekonsiliasi. Memang hal tersebut melalui proses yang panjang.
Pada akhirnya, pemaafan adalah kesadaran. Yaitu kesadaran bahwa yang terjadi adalah takdir Allah SWT. Tidak ada yang bisa menolak takdir, tidak ada yang bisa mendorong takdir. Takdir adalah kehendak Allah SWT dengan segala hikmah dan pembelajaran di dalamnya (hlm. 143).
Dengan kesadaran yang terjadi adalah takdir, sebagian korban menjadi lebih tenang dalam menjalani segala dampak buruk dari musibah yang terjadi. Bahkan dengan kesadaran yang terjadi adalah takdir, sebagian korban merasa tidak ada masalah dengan siapa pun, termasuk dengan para teroris. Hingga yang bersangkutan dengan segala keringanan hati bisa saling memaafkan dan berekonsiliasi dengan para mantan teroris (hlm. 144).
Dalam kehidupan tentunya seseorang memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Begitu pula korban tindak terorisme dapat memaafkan bahkan berekonsiliasi dengan mantan pelaku merupakan suatu hal yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur yang berkembang. Dalam bagian keenam ini “Perwujudan Nilai-Nilai Luhur” diuraikan sedemikian rupa agar masyarakat umum bisa menggali nilai-nilai yang ada di dalam diri korban.
HINGGA MASYARAKAT TAK HANYA MENDAPATKAN SIRAMAN NILAI-NILAI KELUHURAN YANG TAK BERBENTUK, MELAINKAN JUGA DAPAT CONTOH NYATA BAGAIMANA NILAI-NILAI LUHUR TERSEBUT DIWUJUDKAN DAN DIAMALKAN.
Dalam konteks seperti ini, apa yang dilakukan oleh sebagian korban dan mantan pelaku terorisme, khususnya korban yang sudah menerima musibah yang ada dengan lapang dada bahkan rekonsiliasi dengan mantan pelaku terorisme, bisa menjadi contoh bagaimana nilai-nilai luhur yang ada ditegakkan dan dilakukan. Hingga masyarakat tak hanya mendapatkan siraman nilai-nilai keluhuran yang tak berbentuk, melainkan juga dapat contoh nyata bagaimana nilai-nilai luhur tersebut diwujudkan dan diamalkan (hlm. 162).Baca Juga:  Menyoal Ideologi Khilafah
Dari uraian-uraiannya, Hasib menyimpulkan refleksi pemikirannya berupa apa yang dapat kita ambil dari tindakan teroris dan para korbannya. “Mengambil Ibroh” merupakan kesimpulan dari buku ini. Dimana Hasib, sang penulis mengemukakan pembelajaran (ibroh) yang dapat kita ambil dari tema buku tersebut.
Kisah-kisah korban menjadi inspirasi bagaimana menjalani kehidupan selanjutnya. Sikap tidak membalas kekesaran dengan kekerasan, tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Justru yang harus dilakukan adalah mengedepankan proses perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Membalas kekerasan dengan kebaikan, membalas ketidakadilan dengan keadilan.
Pada akhirnya, ibarat dua sisi mata uang, pemaafan dari sebagian korban terorisme dan pertaubatan dari sebagian mantan pelaku merupakan tampilan dari satu nilai, yaitu kelapangan hati dan ketangguhan mental. Sedangkan semangat tidak membalas kekerasan dengan kekerasan oleh si korban dan semangat tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan oleh si mantan pelaku, tak ubahnya dua arus kehidupan yang bermuara pada satu samudera, yaitu kedalaman hidup. Inilah ibroh kehidupan dari orang-orang yang meminta maaf dan memaafkan.
Judul               : Jangan Putus Asa Ibroh dari Kehidupan Teroris dan korbannya
Penulis             : Hasibullah Satrawi
Penerbit           : Aliansi Indonesia Damai (AIDA)
Cetakan           : Pertama, Februari 2018
Tebal buku      : xx + 226 halaman
ISBN               : 978-602-51366-0-3
Di linimasa media sosial kita, berkembang narasi yang mempertanyakan keabsahan Pancasila sebagai dasar negara. Narasi seperti ini semakin hari menguat, menjadi “gerakan laten” yang merongrong ideologi bangsa. Validkah argumen yang dikembangkan para penolak Pancasila ini?
Di dalam narasi yang viral itu, ada beberapa argumen yang diajukan untuk menolak Pancasila. Pertama, bagaimana Pancasila bisa disebut dasar negara jika kata “Pancasila” itu sendiri tidak ada di dalam konstitusi (UUD 1945) dan Undang-Undang (UU) apapun? Jika Pancasila berada di luar konstitusi, maka menurut argumen ini, ia bersifat inkonstitusional. Sebuah kesimpulan yang sekilas terlihat logis, namun sebenarnya mengandung kesalahan fatal.
Kedua, andaipun sila-sila Pancasila ada di dalam alinea keempat UUD 1945, apa jaminannya bahwa hanya kalimat lima sila itu yang merupakan Pancasila? Bukankah dalam alinea keempat itu, terdapat kalimat lain yang lebih luas?
Meta-Legal
Pandangan di atas, yang menjangkiti korban ideologisasi radikalisme agama merupakan pandangan awam yang tidak mengetahui persoalan. Dianggapnya ketika Pancasila tidak ada di dalam UUD, maka ia tidak ada sebagai dasar negara.
Anggapan ini tentu saja tidak tepat, karena posisi dasar negara memang berada di atas konstitusi. Ia bersifat meta-legal, extra-legal notion, bukan bagian dari produk hukum yang bisa diamandemen.
Hal ini terkait dengan hirarki sistem hukum modern, yang menempatkan dasar negara di pucuk piramida hirarki norma hukum. Mengacu pada teori hukum (Stufenbautheorie) yang telah klasik dari Hans Kelsen, norma hukum dibangun secara hirarkis, dimana norma-bawah lahir dari norma yang lebih atas. Semakin ke atas, norma hukum itu bersifat abstrak. Norma hukum yang abstrak dan menjadi dasar negara ini disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) atau pinjam istilah Profesor Notonagoro, norma fundamental negara (Staatfundamentalnorms). Letaknya dimana? Tidak di dalam konstitusi (UUD) dan UU, tetapi melampauinya.
Mengapa letak dasar negara di luar konstitusi? Karena konstitusi bisa diamandemen. Sedangkan dasar negara harus final. Mengubah dasar negara, tidak hanya akan mengubah bentuk negara, tetapi juga latar belakang pendirian dan tujuan bernegara. Oleh karenanya, mengubah Pancasila pasti akan mengubah NKRI menjadi, misalnya Negara Islam. Kedua bentuk negara ini sangat berbeda. NKRI merupakan negara pluralistik yang menempatkan semua penduduk sebagai warga negara setara di hadapan hukum. Sedangkan Negara Islam akan menjadikan umat Islam sebagai warga negara kelas pertama. Sistem hukumnya juga akan berubah, termasuk model kekuasaan. Di dalam NKRI, kekuasaan dikelola secara demokratis. Di Negara Islam, kekuasaan disandarkan pada “hukum Tuhan” yang imun kritik.
Lalu dimanakah letak Pancasila itu secara tekstual? Ia terletak di dua tempat. Pertama, di dalam hasil kesepakatan para pendiri negara yang memuncak pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945. Di masa perumusan dan pengesahan ini, sila-sila Pancasila yang ditetapkan ialah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Lima nilai dan konsep ini yang didiskusikan para pendiri negara, bukan nilai-nilai lain. Kedua, lima nilai itu lalu ditulis di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Namun yang perlu menjadi catatan ialah, teks lima sila di Pembukaan tersebut bukanlah Pancasila. Ia hanya penulisan sila-silanya. Pancasila sendiri berada di luar, melampaui UUD. Ia ada di momen historis perumusan Pancasila, sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 1945.
Menyebut lima sila di Pembukaan sebagai Pancasila sangat tidak tepat, karena redaksi dari sila-sila itu sempat mengalami perubahan. Yakni di dalam Pembukaan UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Jika Pancasila disebut ada di dalam Pembukaan, berarti ia pernah mengalami perubahan. Padahal menurut sistem hukum modern, norma dasar konstitusi tidak bisa berubah. Letak Pancasila yang ada di luar konstitusi ini pula yang membuat Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No. 100/PUU-XI/2013, menghapus istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Mengapa? Karena Pancasila bukanlah pilar yang sepadan dengan UUD. Ia merupakan dasar yang melandasi pilar-pilar kenegaraan.
Jelas Hukumnya
Para penolak Pancasila itu juga menyatakan bahwa dasar negara ini tidak ada di dalam UU. Sebuah pandangan yang salah, sebab status Pancasila sebagai dasar negara, norma dasar dan sumber dari segala sumber hukum telah dikukuhkan oleh berbagai produk perundang-undangan kita.
Pertama, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI. Memorandum tertanggal 9 Juni 1966 ini menyatakan bahwa sumber dari tertib hukum RI adalah pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, serta cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia. TAP inipun secara eksplisit menyatakan bahwa Sumber Tertib Hukum RI adalah Pancasila.
Kedua, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menegaskan kembali Pancasila sebagai sumber hukum dasar nasional. Hingga amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, TAP MPR ini masuk klasifikasi sebagai TAP MPR yang tetap berlaku hingga terbentuknya UU.
Ketiga, sebagai pengganti TAP MPR No. III/MPR/2000 ini ialah UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 2 UU No. 10/2004 ini menyatakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Ditambah pula dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 10/2004, penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, yang menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, sehingga setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Keempat, UU No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 2 UU No. 12/2011 itu, kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan dasar negara dikuatkan kembali (Basarah, 2017).
Dengan berbagai penegasan yuridis atas status Pancasila sebagai dasar negara ini, maka pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila tidak ada di dalam peraturan perundang-undangan kita, kandas sudah. Pandangan ini tak lebih pandangan awam yang tidak mengetahui persoalan. Sebab yang dimaksud Pancasila sebagai dasar negara ialah Pancasila sebagai norma dasar yang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Status ini telah dikuatkan oleh berbagai ketetapan hukum tersebut.
Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila inkonstitusional karena ia tidak ada di dalam konstitusi kita, juga tidak tepat. Pancasila memang terletak di atas konstitusi, agar ia tidak bisa diganti. Inilah arti status Pancasila sebagai dasar negara yang final. Hanya pemberontakan dan revolusi politiklah yang mampu mengganti Pancasila. Dan revolusi semacam itu tidak akan bisa terjadi di negeri ini. Kekuatan militer, politik dan kultur bangsa ini terlalu kuat untuk diubah melalui perubahan dasar negara!
Menaati Kesepakatan
Pertanyaannya, dimanakah letak terpenting Pancasila dalam kehidupan bangsa, sehingga ia tidak tergantikan? Yakni di dalam statusnya sebagai hasil kesepakatan para pendiri bangsa. Kesepakatan inilah yang membuat Pancasila menjadi norma dasar konstitusi dan hukum kita.
Dalam rangka menghormati hasil kesepakatan ini, maka organisasi seperti Muhammadiyah mengakui Negara Pancasila sebagai dar al-‘ahdi wa al-syahadah: negara hasil kesepakatan dan persaksian. Pengakuan ini ditetapkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015. Pengakuan seperti ini juga dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama di Situbondo, 1983.
Jika organisasi-organisasi terbesar Islam saja mengakui Pancasila sebagai dasar terbaik bagi bangsa. Mengapa para pengusung Khilafah ini tidak mau menerima Pancasila? Bukankah QS al-Maidah: 1 memerintahkan orang-orang beriman untuk menerima hasil kesepakatan (akad)? Bukankah hasil kesepakatan yang diikat oleh perjanjian untuk menaati itu juga harus dipenuhi karena QS al-Isra’:34 memerintahkan Muslim memenuhi janji?
Mari belajar mengamalkan Islam dalam konteks kehidupan bersama. Apalagi jelas bahwa di dalam dasar negara itu, termuat tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang menjadi sumber dari segala sumber ajaran agama.

Minggu, 23 Juni 2019


Saling Memaafkan Jalan Mencapai Kemuliaan


0
16

Terkadang ada kesalahan yang sulit di maafkan meski kita semua sudah tahu bahwa Tuhan pun maha pemaaf, apakah kita hambanya tidak bisa memberi maaf meski hati telah membenarkan bahwa memaafkan adalah suatu hal yang sangat mulia daripada membalas seseorang dengan kebencian, sebuah ilustrasi ketika seseorang yang kita kenal dekat atau seseorang yang kita cintai mengucapkan kata yang tak pantas atau melakukan pengkhianatan dibelakang kita, pasti akan sakit hati sebab tiap orang punya sisi manusiawi
bahwa hati adalah wadah, yang menampung perasaan, senang, sedih, jatuh cinta dan sakit hati jadi tiap apa yang terlihat oleh mata yang terdengar oleh telinga, dan terlintas dipikiran akan tersampaikan dan hati akan merasakan. Namun kembali lagi bagaimana seseorang bisa pandai dalam menempatkan perasaaanya sehingga tidak mudah terbawa dan menyalahkan seseorang.
Perlu disadari bahwa setiap dari manusia memiliki ego, ada yang sadar ketika ia melakukan kesalahan tapi gengsi untuk meminta maaf, dan ada yang meminta maaf secara tulus namun orang yang dimintai maaf belum bisa memaafkan karena masih memendam sakit hati, itu semua kembali lagi ke pribadi masing-masing akan tetapi perlu kita ingat bahwa meminta maaf adalah perbuatan yang terpuji, sebab dengan menyadari kesalahan seseorang bisa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya, dengan tidak mengulangi kesalahan yang telah ia perbuat.
Dan begitupun orang yang mudah memaafkan akan menjadi orang yang lebih mulia di hadapan manusia dan dihadapan Tuhan, sebab menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan setiap darinya pasti pernah melakukan kesalahan termasuk diri sendiri.
Kita juga perlu belajar dari kisah nabi, dimana beliau ketika menyebarkan dakwah di Thaif, berharap dakwahnya di terima oleh penduduk pada saat itu, tapi malah diperlakukan sebaliknya bahkan nabi sampai dilempari batu dan yang lebih tidak manusiawi lagi beliau dilempar kotoran, tapi apakah dengan perlakuan tersebut nabi menjadi benci terhadap orang-orang yang memperlakukannya seperti itu? padahal nabi bisa saja membalas perlakuan mereka dengan mengadu kepada Allah agar mereka ditimpakan azab, akan tetapi karena kebaikan dan kemuliaan hati nabi, beliau hanya bersabar dan malah mendoakan yang terbaik untuk orang-orang tersebut agar supaya bisa bertaubat dan kembali kejalan Allah.
Baca Juga:  Menelusuri Epistemologi Faidhul Barākat Fī Sab’il Qirā’at
memang sulit untuk bersikap seperti nabi terhadap orang-orang tersebut akan tetapi tetap harus di usahakan jika kita memang mencintai nabi,berarti kita mengupayakan untuk mengikuti nilai-nilai moral yang telah diajarkan oleh nabi. lagi-lagi meminta maaf dan memaafkan adalah dua hal yang sangat sulit untuk dilakukan bagi sebagian orang, baik karena rasa gengsi dan sakit hati, akan tetapi orang yang sebenarnya mudah memaafkan bukanlah orang yang lemah, justru ia adalah orang yang mulia, dimana ketika orang itu sebenarnya mampu untuk membalas tetapi ia lebih memilih bersabar dan berdamai maka sejatinya ia adalah orang yang dimuliakan, sebagaimana sabda nabi
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Artinya : Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.(HR.Muslim No. 4689)
Menjadi pemaaf bukan berarti takut atau pengecut akan tetapi lebih memilih untuk berdamai agar saling mengeratkan ikatan persaudaraan daripada bermusuhan, sebab harus disadari bahwa tanpa orang lain maka kita tak ada apa-apanya dan bukanlah siapa-siapa.
Dan Allah berfirman dalam Qur’an Surah Asy-Syura ayat 40.
Artinya: Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS: Asy-Syura: 40)
Sudah jelas bahwa orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain maka akan diberikan ganjaran pahala oleh Allah, itulah janji Allah yang pasti bagi hambanya. Sebab apa bedanya kita jika membalas kejahatan dengan kejahatan pula, hanya akan menambah permasalahan, adapun jika orang tersebut terus saja mengulangi kesalahannya maka sekali-kali perlu diberikan pelajaran agar supaya ia sadar bahwa perbuatannya tidak mencerminkan dirinya sebagai manusia yang punya hati nurani.
Baca Juga:  Berita Hoax Ancam Negara Demokratis
Maka dari itu perlu untuk menguatkan hati agar tidak mudah sakit hati, sadari bahwa setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan termasuk diri sendiri, sebaik-baik dari kita mengakui kesalahan dan sadar untuk tidak mengulanginya kembali, menyadari kesalahan dengan meminta maaf tidak menurunkan derajat kemanusiaan dan memberi maaf bukan berarti lemah sebab memaafkan adalah perbuatan yang mulia.wallahu a’lam

Sumber : https://www.harakatuna.com/saling-memaafkan-jalan-mencapai-kemuliaan.html