Jumat, 30 November 2018

Adab dan Etika Perang dalam Islam



Huzaifah Ibn al-Yaman RA., hendak berperang bersama Nabi namun ditolak karena pernah berjanji tidak akan memerangi kaum Musyrik. Nabi memerintahkannya untuk menepati janji.

Kalau segala cara untuk menjalin hubungan baik/tidak bermusuhan telah ditempuh dan lawan tetap bersikeras menjatuhkan mudarat, tingkatkanlah upaya untuk membentengi diri menghadapinya. Tingkatkan upaya sedini mungkin dan sebelum ada musuh karena setiap Muslim memang harus berupaya untuk selalu kuat. 

Di sinilah ditemukan tuntunan Allah agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh (QS. al-Anfal ayat 60). Tetapi, gunakanlah kekuatan itu jika tidak ada jalan lain untuk menampik kejahatan. Ini pun harus disesuaikan dengan tingkat pelanggaran. Dan jika lawan terhenti/berhenti melakukan penganiayaan/kejahatan mereka, aksi yang dilakukan harus segera dihentikan. 

QS. al-Baqarah ayat 193 menegaskan: "Perangilah mereka itu sehingga tidak ada lagi penganiayaan dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.” 

Yang dimaksud dengan agama/ketaatan kepada Allah bukan berarti mereka harus memeluk agama Islam, tetapi kepatuhan kepada-Nya, di antaranya memberi kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya. Karena itulah salah satu bentuk kepatuhan kepada-Nya adalah: Lakum dinukum wa liya din/bagi agama kamu dan bagi agama kami agama kami, yakni silakan masing-masing melaksanakannya, tanpa saling mengganggu. 

Dan jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Kata "zalim" dapat mencakup siapa pun, termasuk kaum Muslim yang melancarkan agresi terhadap mereka yang telah menghentikan penganiayaan.

Perlu diingat bahwa Islam sangat membenci kekerasan, apalagi perang. Q.S. al-Baqarah ayat 216 mencatat sikap dasar Muslim menyangkut perang dengan firman-Nya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu tidak senangi, (namun) bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagi kamu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagi kamu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Nabi Muhammad SAW., dan sahabat-sahabat beliau, bahkan umat Islam yang ditujukan kepada mereka firman ini, bahkan manusia normal, tidak akan menyukai peperangan karena perang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, terjadinya cedera, jatuhnya korban, harta benda, dan sebagainya. Sedang semua manusia cenderung mempertahankan hidup dan memelihara harta benda. 

Lebih-lebih yang imannya telah bersemai dalam dada mereka sehingga membutuhkan rahmat dan kasih sayang. Allah mengetahui bahwa perang tidak mereka senangi, tetapi berjuang menyingkirkan penganiayaan  dan menegakkan keadilan mengharuskannya. Peperangan bagaikan obat yang pahit, ia tidak disenangi, tetapi harus diminum demi memelihara kesehatan. Demikian ayat ini dari satu sisi mengakui naluri manusia, tetapi dari sisi lain mengingatkan keniscayaan hal tersebut jika kondisi mengharuskannya.

Salah satu sebab diizinkan perang bagi mereka yang teraniaya adalah mempertahankan eksistensi rumah-rumah ibadah. Q.S. al-Hajj ayat 40 menjelaskan bahwa: Sekiranya Allah tidak mengizinkan menolak sebagian manusia (yang berlaku aniaya dengan sebagian yang lain, yakni yang bermaksud menampikna), tentulah telah dirobohkan biara-biara dan gereja-gereja, serta sinagog-sinagog dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.

Kalaupun perang tidak dapat dielakkan, ada pesan-pesan yang harus diindahkan. Antara lain: Jangan membunuh orang tua, wanita, atau anak kecil, jangan melakukan mutilasi, kalau harus membunuh maka lakukanlah tanpa menyiksa (dengan) tebaslah lehernya (Q.S. Muhammad ayat 4) karena itu cara yang tercepat untuk menghabisi nyawa seseorang. Di samping itu, jangan juga menebang pohon atau meruntuhkan bangunan atau membumihanguskan daerah. 

Al-Qur’an juga menekankan bahwa kalau ada ikatan perjanjian antara kaum Muslim dengan selain mereka, perjanjian itu harus dihormati. Kalau pun ada tanda pengkhianatan dari mereka, maka sebelum mengambil tindakan harus disampaikan terlebih dahulu kepada mereka bahwa perjanjian dibatalkan. Demikian pesan dalam Q.S. al-Antal ayat 58.

Sahabat Nabi, Huzaifah Ibn al-Yaman RA., bersama ayahnya pernah ditawan oleh kaum musyrik Mekkah, lalu dibebaskan dengan syarat tidak akan berpihak kepada Nabi jika terjadi peperangan. Huzaifah bermaksud ikut dalam perang Badr, tetapi Nabi SAW., melarangnya dan memerintahkannya untuk menepati janjinya.

Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW., memerintahkan untuk memperlakukan para tawanan dengan baik. Al-Qur’an merekam perlakuan yang sangat istimewa dari sahabat Nabi terhadap tawanan dengan melukiskan bahwa: Mereka memberi pangan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan (Q.S. al-Insan ayat 8).

Aziz bin ‘Umar, salah satu seorang tawanan perang, menceritakan bahwa: “Aku tertawan oleh sekelompok orang-orang Anshar saat makan siang atau malam dihidangkan, mereka memberi aku roti atau kurma istimewa, sedang mereka sendiri makan kurma biasa. Aku malu, maka kukembalikan roti itu kepada mereka, namun mereka tetap memberiku.”

Korban-korban perang yang tewas diperintahkan oleh Nabi SAW., agar dikubur secara wajar sebagai manusia. Jika keluarga korban yang tewas ingin mengambil jasad korban, mereka dapat mengambilnya tanpa tebusan. Amr bin Andi Wud, salah seorang tokoh kaum musyrik yang tewas setelah berduel dengan Sayyidina Ali dalam Perang Khandaq, diminta jenazahnya oleh kaum musyrik sambil menawarkan sejumlah imbalan. 

Nabi SAW., Bersabda: “Ambil saja buat kalian, kami tidak memakan harga orang mati” (H.R. At-Tirmidzy dan al-Baihaqy).

Selanjutnya, dapat ditambahkan, dalam konteks bagaimana sikap Nabi Muhammad SAW., menghadapi musuh, sangat populer sikap Nabi ketika memasuki kota Mekkah dengan gemilang. Tergambar jelas bagaimana ucapan beliau memperlakukan mereka yang menganiaya dan mengusir beliau dari tumpah darahnya dengan sangat istimewa: “Kalian adalah saudara atau anak saudara kami yang mulia. Kalian adalah orang-orang bebas.”

Demikian sedikit yang dapat dikemukakan dalam konteks prinsip-prinsip adab Islam dalam mengahadapi lawan/musuh di medan perang. Wa Allah A’lam.

Kamis, 29 November 2018

Keseriusan Semua Pihak Dibutuhkan untuk 'Bersihkan' Lingkungan Masjid dari Radikalisme

Keseriusan Semua Pihak Dibutuhkan untuk 'Bersihkan' Lingkungan Masjid dari Radikalisme
Rozali, NU Online | Rabu, 28 November 2018 18:25
Jakarta, NU Online
Temuan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mengenai masjid 41 masjid yang terindikasi menyebarkan paham radikalisme menjadi pembicaraan publik setelah diangkat oleh stasiun televisi swasta. 

Penelitian terhadap 100 masjid milik pemerintah di Jakarta pada yang digelar tahun 2017 lalu menganalisis isi khotbah Jumat empat kali berturut-turut dalam rentang waktu 29 September-20 Oktober 2017. Dari 35 masjid di lingkungan kementerian, 28 masjid di lembaga negara, dan 37 masjid di badan usaha milik negera (BUMN), ditemukan 41 masjid terindikasi paham radikalisme. 

Dewan Penasehat P3M Agus Muhammad mengungkapkan, hasil riset itu telah dirilis ke publik dan  masalah itu mendapat respon yang cukup baik, terutama dari pemerintah. Namun pihaknya tidak tahu persis apa yang telah dilakukan pemerintah untuk menyikapi hasil penelitian tersebut. 

Menurutnya fenomena ini membutuhkan keseriusan yang lebih dari berbagai kalangan untuk 'membersihkan' masjid dari paham radikalisme dengan melakukan pendampingan, monitoring, dan pembinaan.
  
Walau begitu ita tak menutup mata dari program pemerintah misalnya membangun hubungan intensif dengan takmir masjid belakangan ini. Menurutnya itu adalah upaya yang bagus untuk menetralisir radikalisme di masjid-masjid di lingkungan pemerintahan. 

Namun itu tidak cukup karena untuk membersihkan masjid dari radikalisme butuh proses panjang. “Mengubah sesuatu yang radikal menjadi tidak radikal, bukan pekerjaan sederhana. Kita meski sabar mendampingi masjid-masjid terpapar radikalisme. Soalnya radikalisme isu sensisitf di satu sisi, di sisi lain komplek. Karena itu pendekatan dan inisiasi kita harus benar-benar fix dan hati-hati terhadap masjid, jamaah, khatib. Itu penting agar jangan sampai melahirkan masalah baru,” papar Agus.
Pada kesempatan itu Agus menjelaskan bahwa survei yang dilakukan P3M tahun lalu berdasarkan isi khutbah Jumat, bukan takmir atau penceramahnya. Survei itu dengan mengutus relawan untuk merekam suara khutbah dalam bentuk rekaman audio visual dan video. Dengan begitu suara itu memang benar suara yang ada di video sehingga hasilnya valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dari situ, lanjut Agus, P3M melakukan analisis isi khutbahnya saja, bukan takmir, bukan penceramah, sehingga pihaknya tidak tahu siapa khatib dalam rekaman tersebut. Untuk mendalami hasil survei itu tentunya butuh pendalaman. Namun paling tidak, hasil survei itu bisa menjadi peringatan bagi pemerintah agar peduli terhadap masjid yang berada di lingkungan pemerintahan.
“Jangan sampai masjid-masjid itu dilepas bagitu saja dari pengendalian pemerintah. Istilahnya jangan sampai masjid diperlakukan seperti toilet. Airnya jalan, lantai bersih, semua berfungsi baik, tapi tidak pedulil siapa yang memakai, bagaimana cara memakainya. Itu berbahaya karena masjid bisa digunakan hal-hal yang tidak bisa dibayangkan. Salah satunya ya radikalisme itu,” jelas Agus.
Sejak dimunculkan lagi hasil survei ini oleh BIN beberapa pekan lalu, beberapa upaya antisipasi segera akan dilakukan. Salah satunya Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang berencana akan menyusun kurikulum khutbah. Agus mengaku mendukung rencana ini dan P3M dengan senang hati bila diajak bergabung dalam menyusun materi khutbah tersebut. Apalagi saat ini pihaknya memang sedang membuat agenda kecil terkait hal itu dan itu butuh inisiasi dari pemerintah.
“Saya kira penting bagi pemerintah untuk memberikan porsi kepada takmir masjid, misalnya dengan memberikan rambu-rambu yang perlu ditekankan kepada setiap khatib dan topik yang disampaikan jangan diserahkan ke khatib, tapi sebaiknya dipilih atau ditentukan takmir masjid. Dengan begitu setidaknya takmir masjid berkontribusi dalam proses penyampaikan proses khutbah Jumat,” terang Agus Muhammad.
Meski belum melakukan riset pendalaman lagi, Agus menegaskkan dampak dari isi khutbah yang cenderung berisi radikalisme ini sangat berbahaya. Pasalnya, jamaah masjid di lingkungan kantor pemerintahan dan BUMN, rata-rata tidak punya basis keagamaan yang kuat sehingga mereka akan langsung mengambil kesimpulan dan refernesi bagi tindakan, sikap dia terhadap orang lain dan kelompok berbeda.
“Dampaknya sangat besar, tapi itu tidak terlalu siginifikan bagi jamaah yang punya sisi keagamaan yang kuat, dan itu tidak terlalu banyak. Berbeda dengan masjid yang ada di kota santri atau lingkungan yang memiliki tradisi agama yang kuat,” pungkas Agus. (Ahmad Rozali)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/99609/keseriusan-semua-pihak-dibutuhkan-untuk-bersihkan-lingkungan-masjid-dari-radikalisme-

Selasa, 27 November 2018

Islam Damai dan Rahmatan lil Alamin



Hakikat Islam
Secara harfiah, islam berarti ‘damai’, ‘selamat’, ‘aman’, atau ‘tenteram’, (Lihat Ismail bin Hammad Al-Jauhari, As-Shihhah: Tajul Lughah Washihahul Arabiyyah, [Beirut, Darul Ilmi: 1990 M], cetakan keempat, halaman 1951) yang semua itu mengacu pada situasi yang sangat didambakan setiap orang.
Situasi ini tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh semua umat manusia di mana pun, bahkan hewan dan tumbuhan sekalipun. Kemudian, secara konseptual, Islam merupakan agama yang mengajarkan monoteisme tauhid yang harus diwujudkan dalam bentuk kepasrahan diri dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya sebagai utusan pembawa rahmah guna meraih kebahagiaan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat (Surat Al-Baqarah ayat 201).
Namun, kebahagiaan itu tidak akan pernah terwujud tanpa kedamaian dan kasih sayang di antara sesama.Intinya, dengan membawa misi damai dan kasih sayang itulah risalah Islam diturunkan ke seluruh alam (Surat Al-Anbiya ayat 107).
Secara tekstual, Al-Qur’an juga mengajarkan kepada kita agar senantiasa mengamalkan nilai-nilai kedamaian secara total. Bahkan, salah satu ayatnya menyebutkan, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara utuh,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).
Jika kita mengacu pada Islam yang berarti ‘damai’, maka sesungguhnya ayat itu ingin mengatakan, “Masuklah kalian ke dalam kedamaian secara total.” Totalitas dalam pengertian, tidak saja memberikan kedamaian kepada orang yang sekelompok, seormas, atau seakidah dengan kita, tetapi kepada sesama manusia yang berlainan keyakinan, hatta kepada sesama ciptaan-Nya.
Sementara Islam dalam pengertian ‘selamat’ dapat kita baca dalam sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Muslim sejati adalah yang komitmen sepenuh hati menjaga keselamatan saudaranya. (Lihat selengkapnya hadits tersebut yang menyebutkan, “Muslim sejati adalah Muslim yang orang Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya,”  (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya, orang yang yang paling buruk adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru ditakuti keburukannya. (Dalam hadits dimaksud, dikatakan, “Orang yang terburuk di antara kalian adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru orang lain tidak bisa dirasa aman dari keburukannya,” (HR Tirmidzi). Sungguh sebuah ajaran luhur dan mulia yang telah diajarkan Rasulullah SAW kepada kita.
Ajaran Islam Sarat dengan Damai
Selama ini, damai masih dipahami sebagai hidup rukun berdampingan antara dua pihak atau dua kekuatan besar yang semula berseteru. Padahal, nyatanya tidaklah demikian. Dalam Islam, jiwa dan individu  umat pun diciptakan sedemikian rupa agar damai dan tenteram, dan keduanya merupakan situasi mendasar.
Ketika beraktivitas atau melaksanakan ritual ibadah, kita kerap diperintah melakukannya dengan cara tenang dan damai. Bahkan, dalam beberapa hal, tujuan ritual itu sendiri adalah ketenangan dan kedamaian.
Dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta (hablum minallah), misalnyakita diperintahkan berzikir mengingat Allah, yang salah satu tujuannya adalah menjalin kedekatan (taqarrub) sekaligus menciptakan jiwa yang damai dan tenteram(Surat Ar-Ra’du ayat 28).
Kemudian, ketika menunaikan shalat, kita diwajibkan melakukannya dengan tuma’ninah alias tenang dan tidak tergesa-gesa.Di akhir shalat,kita diharuskan mengucap salam. Setelahnya, kita dianjurkan berdoa, di antara doa yang kita panjatkan adalah doa selamat dan doa khusus kedamaian, allahumma antassalam waminkassalam…. Dan masih banyak lagi tradisi yang tidak dapat dilepaskan dari semangat perdamaian dan keselamatan.
Bahkan, kelak di akhirat, yang dipanggil oleh Yang Maha Kuasa untuk bergabung dengan kelompok hamba-hamba-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya adalah jiwa-jiwa yang damai dan tenang (Surat Al-Fajr ayat 27-30).
Selanjutnya, dalam bermuamalah dengan sesama (hablum minannas), dua insan laki-laki dan perempuan disatukan dalam tali pernikahan yang bertujuan untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah,wa rahmah, alias keluarga yang penuh ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang (Surat Ar-Rum ayat 21).
Lantas, sesama Muslim diwajibkan membangun persaudaraan agar terbangun kedekatan, kekuatan, dan keharmonisan (Surat Al-Hujurat ayat 10). Dan dalam lingkup lebih luas, kita juga diajarkan saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain agar tercipta kerukunan di antara sesama umat beragama (Surat Al-Kafirun ayat 6).
Masih dalam rangka hablum minnas, Islam juga mengajarkan kepada kita menebarkan salam alias as-salamu ‘alaikum, baik sewaktu bertamu, bertegur sapa, berjabat tangan, maupun mengawali dan mengakhiri pembicaraan formal, setidaknya kepada sesama Muslim.
Pentingnya menebarkan salam di antara sesama Muslim bukan tanpa dasar dalil yang jelas. Hal itu dapat kita lihat dalam salah satu hadits, “Demi Dzat Yang menggenggam jiwaku, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang membuat kalian jadi saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian,” (HR Muslim).
Dalam hadits lain, disebutkan, “Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Zat Yang Maha Penyayang. Karenanya, sayangilah siapa pun yang ada di muka bumi, niscaya akan disayang oleh yang di langit,” (HR Abu Dawud).
Keselamatan adalah sebuah tradisi yang telah berlangsung lama dalam tubuh umat Muslim. Namun, mengapa tradisi itu seolah sirna dari semangat dan substansi yang sesungguhnya, yaitu sebuah doa dan pengharapan yang terpanjatkan untuk kedamaian dan keselamatan orang-orang yang disapa.
Berbicara ajaran, rujukannya tentu Al-Quran dan Sunnah. Dalam Al-Quran sendiri, kata salam atau kata salm,dengan segala derivasinya, disebutkan tidak kurang dari 120 kali, (Lihat Fathurrahman Li Thalibil Quran, [Semarang, CV Diponegoro: tt], halaman 218) yang salah satunya menjadi asma Allah, As-Salam yang berarti zat pemberi keselamatan dan kedamaian.
Ini menunjukkan, Allah adalah sumber kedamaian dan keselamatan, yang mengharuskan para hamba-Nya meraih keduanya. Alhasil, berlandaskan keimanan dan kasih sayang, Islam begitu menekankan pentingnya menyayangi sesama manusia, bahkan sesama makhluk, agar tercipta kedamaian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu a‘lam. (Tatam Wijaya)
#muslimsejati.

Senin, 26 November 2018

Nabi Muhammad menyatukan perbedaan tanpa melabur perbedaan

Menuju bangsa yang besar, Indonesia harus mempertimbangkan bagaimana pemimpin yang bisa merangkul semua. Hal ini melihat bagaimana Indonesia memiliki sosial-kultur yang berbeda satu sama lain, tatkala tidak diperhatikan dan dipimpin yang merangkul semua, maka Indonesia rawan untuk bercerai.

Menengok pemimpin yang ideal suatu daerah dan waktu, maka kita bisa meniru beberapa nabi yang sukses memimpin suatu bangsa yang tercerai-berai menjadi bangsa yang besar dan disegani bangsa-bangsa yang lain. Dalam buku ini mengulas seni memimpin nabi-nabi dalam sejarah perjalanan manusia.

Salah satu yang menarik dilihat adalah gaya kepemimpinan Muhammad. Ia hanya melakukan kurang dari setengah abad untuk mempersatukan bangsa Arab yang tercerai berai lantaran permusuhan antar suku. Tetapi capaian yang dilakukan dalam dakwahnya melampaui segala penjuru dunia. Tetapi ia melakukan kepemimpinan ke semua bangsa, yang meliputi watak, selera dan budaya masing-masing, dan mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam.

Baca juga : Akhlak Nabi sebagai Manifestasi Pendidikan Karakter

Salah satu cendekiawan barat, Molier, pernah mengatakan bahwa mustahil pula untuk memperbaiki kebiadaban komunitas seperti itu –jahiliah, dalam waktu singkat tidak kurang lebih dari 23 tahun dan mengangkatnya ke garda terdepan dalam kemanusiaan. Tetapi hal ini dapat dilakukan oleh Muhammad.

Kenyataan ini jelas membuktikan bahwa kepemimpinan Muhammad memang bersifat universal dan dapat diterima semua suku bangsa. Itulah yang membuat Muhammad diakui sebagai murabbi paling berpengaruh, paling menonjol, dan paling kredibel di sepanjang sejarah manusia.

Dari capaian yang dilakukan oleh Muhammad dalam mempersatukan suku-suku yang ada di dataran Arab di selayaknya ditiru pemimpin sekarang dan segenap orang yang menginginkan negara Indonesia maju tanpa cerai-berai.  Memimpin yang dapat diterima oleh siapa pun tanpa melihat agama, suku dan wilayahnya. Kemudian timbul pertanyaan, memimpin seperti apa yang dilakukan Muhammad?

Muhammad mengedepankan contoh akhlak yang baik kepada orang-orang sekitarnya, dan mengedepankan rasa kasih-sayang serta kemanusiaan. Baik itu kejujuran, keteraturan, kemanusiaan dan kasih sayang. Mengedepankan rasa kemanusiaan saat menyampaikan misi-misinya, tanpa menyinggung dan memaksa orang lain untuk sependapat dengan dirinya. Kita bisa melihat contoh-contoh yang tersebar, ketika ia diusik, mereka tidak membalas dengan amarah, tetapi dengan kasih sayang dan ilmu pengetahuan (halaman 78).

Muhammad selalu berinteraksi dengan manusia secara utuh, baik dari aspek akal, hati, jiwa maupun perasaan tanpa sedikit pun mengabaikan salah satu di antaranya. Muhammad telah berhasil memotivasi keempat potensi yang dimiliki setiap manusia itu sehingga mampu mengubah orang yang sebelumnya biadab menjadi beradab.

Salah satu cara Muhammad memimpin dengan kasih dan cinta tatkala berhadapan dengan Umar bin Khattab yang terkenal dengan watak keras dan berlawanan dengan dirinya. Melihat hal itu, Muhammad tak lantas membalas dengan watak keras pula, tetapi dengan cara lembut dan penuh kasih sayang. Dengan tindakan ini, kemudian Umar keras menjadi kawan dan taat apa yang diperintahkan oleh Muhammad.

Kita dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang selalu menerima manusia seutuhnya: rohnya, perasaannya, kelembutannya, pikirannya secara utuh dan seimbang kemudian diarahkan ke tujuan penciptaannya yang sejati. Sama sekali tidak ada pengabaian ataupun ketidakkeseimbangan mengenai kemanusiaan dalam memimpin suatu kaum.

Rekam jejak keberhasilan Muhammad dalam mendidik umat manusia ini tentu menjadi bukti lain yang mengukuhkan kebenaran layak diteladani. Selain itu, Muhammad harus menjadi teladan semua lini –paling pokok adalah teladan akhlaknya. Tetapi yang paling terpenting bahwa Muhammad memimpin bukan untuk mengadu domba masyarakat. Tetapi Muhammad mempersatukan perbedaan yang di muka bumi. Keberagaman yang dikarunikan oleh Allah tetap dijaga dalam rasa kemanusiaan. Muhammad mempersatukan dan memberi nuansa menyejukkan, damai dan nyaman bagi ajaran agama islam.


#muslimsejati

Minggu, 25 November 2018

Gus Mus: Hindari Politisasi Agama

KH Mustofa Bisri (Gus Mus) meminta politikus tidak menyeret agama untuk kepentingan politik praktis dan merebut kekuasaan saja. Karena hal itu dapat merugikan agama Islam sendiri, apalagi digambarkan pembuat kerusuhan dan haus kekuasaan.

Sekarang banyak politikus yang menarik-narik agama ke politik. Allah dibawa-bawa ke ranah kampanye. Suriah dulu rusak karena agama digunakan untuk kepentingan politik.

Hal itu disampikan Gus Mus pada acara Haul ke-3 KH Aziz Manshur di Pesantren Pacul Gowang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Senin (6/11) kemarin.

"Dalil tidak digunakan pada tempatnya. Bisa-bisanya surat Al Maidah ditarik ke politik, perkara lima tahun sekali kok dibelain sampai kayak mau kiamat, padahal lima tahun lagi akan ada pemilihan baru," katanya.

Gus Mus juga menyoroti banyaknya politikus yang menggunakan dalil-dalil Al-Qur'an untuk menjatuhkan lawan politik. Ayat suci tersebut digunakan untuk membenarkan tindakannya. Terkesan memaksakan dalil. Bahkan karena saking fanatiknya pada pilihan politik sampai-sampai merusak persaudaraan. Kakak dan adik tidak lagi akur. Sama tetangga tidak berteguran karena beda pilihan.

"Jadi saya tidak terlalu percaya kalau politikus suka dalil-dalil, kepentingan sesaat. Bahayanya kalau seandainya dalil lima tahun lalu berbeda dengan tahun sekarang. Karena keadaan politik, padahal jejak digital itu kejam. Malah kelihatan tidak konsisten, dulu mengharamkan tapi sekarang membolehkan," ujar Gus Mus.

Gus Mus pun mengaku heran dengan kelompok Islam gerakan kembali ke Al-Qur'an dan Hadits. Kelompok ini merasa paling benar dan teriak ke sana ke mari merasa paling gagah. Mereka berdemo-demo seolah paling benar. Ia berpendapat gerakan ini subur juga karena sekarang orang waras banyak yang mengalah. Ini harus dibalik sekarang, orang waras harus bicara.

"Kok ya ada gerakan kembali ke Al-Qur'an dan Al-Hadits tapi Al-Qur'an yang dimaksud adalah Qur'an terjemahan Departemen Agama (Depag). Padahal bahasa Indonesia itu tidak bisa sempurna memaknai bahasa Al-Qur'an. Karena keterbatasan kosa kata. Bersyukurlah santri yang masih belajar di pesantren," beber Gus Mus.

Oleh karenanya, Gus Mus usul untuk melawan gerakan kembali ke Al-Qur'an dan Hadits dengan ngaji kepada para ahli di pesantren. Ditambah lagi dengan memperbanyak kegiatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Karena kalau tidak begitu, orang tidak paham agama secara mendalam akan berfatwa terus.

"Maulid nabi dan Haul kalau bisa setiap malam, biar tidak lali (lupa-red) sama kebaikan nabi dan kiai. Biar tidak ada lagi istilah nabi dawuh ngulon (barat), orangnya malah ngetan (timur). Sudah salah, ditambahi takbir lagi. Kembali ke Al-Qur'an itu ya ngaji, kembali ke pesantren," tandas Gus Mus. (Syarif Abdurrahman/Muiz)

Jumat, 23 November 2018

Jihad Atas Nama Agama Jangan Seperti Pasar Malam


Way Kanan, NU Online
Fenomena jihad mengatasnamakan agama di Indonesia saat ini cenderung berorientasi pada tujuan politik. Sementara untuk orientasi lain seperti kemaslahatan lingkungan hidup, semangat dan harakahnya seperti pasar malam, kadang muncul kadang hilang sesuai pesanan dan keinginan. Inilah penilaian Ketua PC GP Ansor Way Kanan, Lampung, Gatot Arifianto, di Blambangan Umpu, Sabtu (24/11).

"Beberapa kali gerakan jihad mengatasnamakan agama yang ada melulu berorientasi politik. Sedikit-sedikit marah, merasa Islam dilecehkan, lalu demo," kata dia.

Kasus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) terkait pernyataannya mengenai QS Al Maidah 51 kala itu, ujar Gatot, membuat orang-orang berduyun-duyun mendemo persoalan yang sudah ditangani secara hukum. 

"Jika ada ketersinggungan atas ucapan Ahok, seharusnya juga konsisten, lalu ada ketersinggungan, gerakan atas pengingkaran QS Ar Rum 41," kata dia.

Seperti dalam Qur'an Surah Madaniyah menjelaskan: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Ia melanjutkan, kematian seekor Paus Sperma di Wakatobi, Sulawesi Tenggara mengonsumsi 5,9 kilogram sampah gelas dan botol plastik, plastik keras, serpihan potongan kayu, sandal jepit, nilon dan tali rafia tentu saja berkait erat dengan perilaku membuang sampah sembarangan. 

"Sampah tersebut adalah sebagian kecil dari sampah yang dibuang kelaut dan mustahil dibuang oleh satu orang dalam satu hari," kata dia lagi.

Gatot menambahkan, GP Ansor sedikit banyak melakukan gerakan atas persoalan sampah di laut dalam beberapa tahun.

Berlangsung beberapa waktu lalu, katanya, dalam rangkaian Kirab Satu Negeri (KSN) 2018 yang mengintruksikan kader Ansor dan Banser untuk bersih-bersih sampah di pantai-pantai yang ada di Indonesia. 

Indonesia, tutur dia lagi, ialah negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia.

"Pencemaran besar-besaran ini seakan mengundang pertanyaan, memang yang dipelajari hanya ayat-ayat qital atau perang saja yang dikutip juru kampanye untuk politik?," katanya.

Semestinya tidak ada "pilih kasih" terhadap ayat-ayat suci. Semestinya pula galak dan lantang dalam jihad lingkungan hidup, agar tidak menjadi umat yang inkosisten. (Malikaisa/Muhammad Faizin)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/99389/-jihad-atas-nama-agama-jangan-seperti-pasar-malam

Inti Ajaran Islam Adalah Kasih Sayang


Pekalongan, NU Online
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) hadir dalam acara peringatan Maulid Nabi dan Hari Pahlawan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Alun-alun Kajen, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (22/11) malam.

Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi mengajak kepada seluruh anggota Ansor untuk senantiasa menjaga marwah ulama. "Jangan pernah jauh dari ulama dan kiai," kata dia.

Ditambahkan dia, setiap anggota GP Ansor sudah semestinya untuk meletakkan kepentingan bangsa serta syiar Islam di atas kepentingan pribadi. "Selalu bermunajat kebaikan untuk kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran," ungkapnya.

Sementara itu, dalam pidato sambutannya, Ketua PP GP Ansor H Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), menegaskan GP Ansor menolak digunakannya agama sebagai alat politik.

"GP Ansor menolak kelompok yang mengklaim kebenaran tunggal, dan menyalahkan keyakinan kelompok lain yang tak sejalan dengan mereka!" tegas Gus Yaqut.

Lebih lanjut dikatakn Gus Yaqut, bangsa Indonesia harus waspada, dengan pola gerakan intoleransi dan radikalisme yang sudah dipraktikkan kelompok teroris berkedok agama di sejumlah negara lain. "Inti dari ajaran Islam adalah rahmah atau kasih sayang," kata dia.

Pesan rahmah ini pula yang mendasari kiai-kiai yang menyatakan bahwa NKRI adalah rumah bersama yang harus dijaga.

Selain pembacaan doa dan pidato, terdapat beberapa rangkaian acara, antara lain teater yang menampilkan sejarah terbentuknya NU dengan latar belakang konflik di tanah Hijaz; momen sumpah pemuda; proklamasi kemerdekaan; fatwa Resolusi Jihad; dan perlawanan 10 November. (Rodif/Ajie/Muiz)

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/99374/inti-ajaran-islam-adalah-kasih-sayang

Kamis, 22 November 2018

BAGAIMANA CARA MEMBUAT UMAT ISLAM BERSATU...? - Agustus 06, 2018 Apakah menyatukan kaum muslimin di atas akidah yang beraneka rupa...? MUSTAHIL bisa bersatu dengan kondisi seperti itu. Yang terjadi adalah persatuan yang SEMU. Raganya saja terlihat bersatu, banyak... tapi hatinya bercerai berai. Adalah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri jika umat Islam pada zaman ini telah berpecah belah dan terkotak-kotak, setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk membuang perpecahan, dan bersatu padu diatas tali-Nya. ﻭَﺍﻋْﺘَﺼِﻤُﻮْﺍ ﺑِﺤَﺒﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮْﺍ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai.“ (QS Ali Imran : 103) Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Allah memerintahkan untuk bersatu dan melarang berpecah belah." Banyak hadits yang melarang berpecah belah dan menyuruh bersatu. Sebagaimana dalam Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya), ”Sesungguhnya Allah rela untuk kalian tiga perkara… (diantaranya disebutkan) : dan agar kalian berpegang dengan tali Allah dan tidak berpecah belah.“ (Tafsir Ibnu Katsir 1/397) Allah Tabaraka wa Ta’ala juga menyebutkan bahwa perpecahan adalah sifat orang yang tidak mendapat rahmatNya. ﻭَﻻَ ﻳَﺰَﺍﻟُﻮﻥَ ﻣُﺨْﺘَﻠِﻔِﻴْﻦَ ﺇِﻻَّ ﻣَﻦْ ﺭَﺣِﻢَ ﺭَﺑُّﻚَ “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang Allah rahmati.” (Hud : 118-119) Abu Muhammad bin Hazm berkata, ”Allah mengecualikan orang yang dirahmati dari himpunan orang-orang yang berselisih.“ (Al Ihkam 5/66) Imam Malik berkata, ”Orang-orang yang dirahmati tidak akan berpecah belah.“ (idem) Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Allah mengabarkan bahwa orang yang diberikan rahmat tidak akan berpecah belah. Mereka adalah pengikut para nabi baik perkataan maupun perbuatan, mereka adalah ahli Al Qur’an dan hadits dari umat ini. Barangsiapa yang menyalahi mereka akan hilang rahmat tersebut darinya sesuai dengan kadar penyimpangannya.“ (Majmu’ fatawa 4/25) Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala, ﻭَﻻَ ﺗَﻜُﻮْﻧُﻮْﺍ ﻛَﺎﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮْﺍ ﻭَﺍﺧْﺘَﻠَﻔُﻮْﺍ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ ﺟَﺎﺀَﻫُﻢُ ﺍﻟْﺒَﻴِّﻨَﺎﺕُ ﻭَﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﻋَﻈِﻴْﻢٌ “Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan. Dan bagi mereka adzab yang pedih.“ (Ali Imran : 105) Al Muzany rahimahullah berkata, ”Allah mencela perpecahan, dan memerintahkan untuk kembali kepada Al Qur’an dan sunnah. Kalaulah perpecahan itu termasuk dari agamaNya tentu Dia tak akan mencelanya. Kalaulah perselisihan itu termasuk dari hukumNya, tentu Allah tidak menyuruh untuk kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah.“ (Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadllihi 2/910) Dalil-dalil tersebut diatas sudah cukup menunjukkan bahwa islam mencela dan membenci perpecahan serta menganjurkan persatuan. HADITS TENTANG PERPECAHAN UMAT Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, ”Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa umat islam ini akan berpecah belah...?” Jawabannya adalah, Tidak ada bedanya antara perpecahan dengan maksiat. Maksudnya bahwa Allah menghendaki adanya maksiat, tapi bukan untuk dilaksanakan tapi untuk dijauhi. Nabi juga mengabarkan bahwa nanti akan datang suatu zaman dimana arak akan dinamai dengan bukan nama sebenarnya. Hal tersebut tidak menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut, demikian pula perpecahan. Nabi mengabarkan bahwa umat ini akan berpecah belah, akan tetapi hal tersebut tidak menunjukkan boleh dilakukan. Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan bahwa perpecahan bukan dari sisiNya, maknanya bahwa Allah tidak meridhainya, tapi Allah menghendaki keberadaanya hanya sebatas iradah kauniyyah saja. Sama seperti Allah menghendaki adanya kekufuran dan seluruh maksiat.“ (Al Ihkam 5/64) MAKNA PERSATUAN Sebagian kaum muslimin memandang persatuan sebagai sesuatu yang harus dikedepankan dari mengingkari bid’ah yang mereka anggap parsial, sehingga akibatnya bid’ah didiamkan dan semakin merajalela. Sedangkan sunnah menjadi semakin redup. Maka perlu kiranya kita sedikit mengupas seputar persatuan. Persatuan dalam pandangan Islam tidaklah sama dengan persatuan ala demokrasi yang lebih mementingkan persatuan badan dan tidak memperhatikan keyakinan. Demokrasi memandang bahwa jumlah mayoritaslah yang harus dijadikan pegangan, walaupun ternyata pendapat mayoritas tersebut berseberangan dengan Al Qur’an dan sunnah. Pemahaman inilah yang banyak menghinggapi pemikiran kaum muslimin, sehingga orang yang tidak mau mengikuti mayoritas dianggap telah memecah belah umat. Untuk memahami makna persatuan, perlu kita melihat beberapa pertanyaan berikut, Diatas apa kita bersatu...? Untuk tujuan apa kita bersatu...? Dan apa tolak ukur persatuan...? Untuk menjawab pertanyaan pertama, cobalah kita renungkan ayat berikut ini, ﻭَ ﺃَﻥَّ ﻫَﺬَﺍ ﺻِﺮَﺍﻃِﻲْ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴْﻤًﺎ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌُﻮْﻩُ ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮْﺍ ﺍﻟﺴُّﺒُﻞَ ﻓَﺘَﻔَﺮَّﻕَ ﺑِﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴْﻠِﻪِ “Dan inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah dan jangan kamu ikuti jalan-jalan lainnya, niscaya (jalan-jalan lain tersebut) memecah belah kalian dari jalannya.” (Al An’am : 153) Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis lurus dan bersabda (artinya), ”Ini adalah jalan yang lurus." Kemudian beliau membuat garis-garis disamping kiri dan kanannya dan bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan lainnya, di setiap jalan itu ada setan yang menyeru kepadanya.“ Kemudian beliau membaca ayat tadi diatas. (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Ibnu Mas’ud) Imam Mujahid seorang ahli tafsir di zaman Tabi’in menerangkan bahwa yang dimaksud dengan jalan-jalan lainnya adalah bid’ah dan syubhat. (Tafsir Ibnu Katsir) Ayat ini sangat jelas menyatakan bahwa persatuan haruslah diatas satu jalan, yaitu jalan yang lurus. Dan jalan yang lurus itu adalah jalan Rasulullah dan para sahabatnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits hasan ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan yang lainnya masuk neraka, beliau menjelaskan tentang satu golongan yang selamat tersebut yaitu, ”apa-apa yang dipegang olehku dan para sahabatku pada hari ini.“ Jadi persatuan dalam Islam maknanya bersatu diatas jalan Rasulullah dan para sahabatnya dan perpecahan maknanya berpecah dari jalan tersebut. Maka siapa saja yang berjalan diatas jalan yang lurus yaitu jalannya Rasulullah dan para sahabatnya maka ia telah bersatu padu walaupun jumlahnya sedikit. Dan siapa saja yang menyimpang dari jalan tersebut dan mengikuti jalan-jalan lainnya maka ia telah berpecah belah walaupun jumlahnya banyak. Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata, ”Al Jama’ah adalah al haq (kebenaran) walaupun engkau satu orang.“ Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ﻭَﺍﻋْﺘَﺼِﻤُﻮْﺍ ﺑِﺤَﺒﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺟَﻤِﻴْﻌًﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮْﺍ "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai.“ (QS Ali Imran : 103) Dalam ayat ini, Allah menyuruh kita untuk bersatu memegang talinya sedangkan Tali Allah adalah agamaNya, dan agama Allah adalah yang Allah turunkan kepada RasulNya di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Kemudian Allah melarang kita bercerai berai. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mau mengikuti agamaNya sesuai dengan yang diturunkan kepada RasulNya berarti ia telah bercerai berai.

Rabu, 21 November 2018

Tanggapi Pertanyaan Maulid Nabi Bid’ah, Mahfud MD: Jangan Memprovokasi

Tanggapi Pertanyaan Maulid Nabi Bid’ah, Mahfud MD: Jangan Memprovokasi
Foto: Angga Yuniar/Liputan6.com
Muchlishon, NU Online | Rabu, 21 November 2018 00:30
Jakarta, NU Online
Perayaan Maulid Nabi sudar berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Maulid Nabi dirayakan dengan cara meriah pertama kali pada zaman Dinasti Abbasiyah. Khususnya pada masa kekhalifahan Al-Hakim Billah. Pada saat itu, Khalifah Al-Hakim Billah keluar dari istana bersama permaisurinya dengan memakai pakaian yang indah.

Sejak saat itu, perayaan Maulid Nabi terus berkembang hingga hari ini. Tergantung adat istiadat dan ‘kreasi’ komunitas Muslim setempat. Pada era sekarang, Maulid Nabi hampir diselenggarakan di semua negara Muslim atau pun negara-negara yang memiliki populasi Muslim cukup signifikan seperti Kanada, Amerika, India, Inggris, Prancis, dan lainnya. 

Meski demikian, ada saja sekelompok Muslim yang anti terhadap Maulid Nabi. Mereka menganggap Maulid Nabi sebagai bid’ah karena tidak ada dalilnya. Selain itu, mereka juga berargumen kalau Nabi Muhammad dan para sahabat tidak ada yang merayakan Maulid Nabi.

Pandangan kalau Maulid Nabi bid’ah masih saja menggejala di Indonesia. Ada saja yang mempertanyakan hal itu. Salah satunya seorang warganet @rezkymustikap. Ia mempertanyakan pandangan yang menyebut Maulid Nabi Bid’ah kepada Mahfud MD di media sosial.

“Bagaimana pandangannya terhadap Maulidan yang dikatakan bid’ah?” tanya @rezkymustikap. 

Mendapat pertanyaan tentang hal itu, Mahfud MD meminta agar tidak memprovokasi umat dengan isu Maulid Nabi bid’ah. Menurut dia, isu tersebut sudah usang dan tidak perlu untuk didiskusikan lagi.

“Jangan memprovokasi dengan isu bid'ah. Itu sudah kuno dan tidak laku untuk didiskusikan,” tulis Mahfud MD di akun Instagramnya, Selasa (20/11).


Mahfud MD kemudian menyebut salah satu ormas Islam yang dulunya memang ‘alergi’ dengan Maulid Nabi, namun saat ini tidak mempermasalahkannya lagi.     

“Muhammadiyah pun sekarang sudah tak lagi ribut dengan isu bid'ah. Itu tak menarik lagi untuk dibahas,” jelasnya.

Mahfud MD lalu meminta warganet tersebut untuk mendiskusikan isu lain yang memang perlu didiskusikan seperti radikalisme. 

“NU & Muhammadiyah sekarang sama-sama menghadapi radikalisme. Isu lain saja, Rezky,” kata Mahfud MD. (Red: Muchlishon).
#muslimsejati
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/99229/tanggapi-pertanyaan-maulid-nabi-bidah-mahfud-md-jangan-memprovokasi

Selasa, 20 November 2018

Contohlah Nabi yang Memberikan Solusi bagi Umat

Contohlah Nabi yang Memberikan Solusi bagi Umat
Syaifullah, NU Online | Selasa, 20 November 2018 08:30
Surabaya, NU Online
Banyak cara yang bisa dilakukan oleh umat Islam dalam menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad. Salah satunya adalah seperti yang dilakukan Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Airlangga Unair Surabaya.

Menyambut datangnya hari kelahiran Rasulullah SAW, PK PMII Airlangga menggelar satu acara berupa Maulid dalam Pergerakan 2.0: Refleksi Integritas Nabi Muhammad SAW di Masa Muda. Kegiatan yang menghadirkan Ustadz Ahmad Muntaha AM dan dilaksanakan di Masjid Nuruzzaman Unair Kampus B Surabaya.

Saat penyampaian materi, Ustadz Muntaha menjelaskan beberapa hal yang bisa diambil contoh dari masa muda Nabi putra Abdullah ini.

“Rasulullah tidak takut terhadap tantangan. 12 tahun ikut Abu Thalib, pamannya ke Syria untuk berdagang dan melewati padang pasir yang panas dan berdebu serta jarak yang sangat jauh,” katanya, Senin (19/11).

Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur ini melanjutkan jika Rasulullah gemar mengupayakan kemaslahatan bagi masyarakat, serta menjadi pemberi solusi di tengah permasalahan umat.

“Rasulullah selalu mengupayakan kemaslahatan bagi masyarakat, memberi pelayanan yang sakit, memberi pembelaan terhadap yang lemah,” jelas pengurus di Aswaja NU Center Jawa Timur ini.

Kepada hadirin, Ustadz Muntaha mengatakan bahwa Nabi Muhammad merupakan pribadi yang memiliki semangat belajar serta etos kerja yang tinggi. “Beliau semangat dalam belajar dan bekerja,” lanjut ustadz asal Magelang Jawa Tengah ini.

Di akhir paparannya, alumnus Pesantren Lirboyo Kediri ini berpesan agar menjaga hubungan baik antarsesama mengingat sedang banyaknya propaganda atas nama agama. “Termasuk arus negatif adalah propaganda atas nama agama yang justru membahayakan agama itu sendiri, umat, bangsa, dan negara,” tutupnya. 

Kegiatan ini diikuti puluhan peserta yang berasal dari PMII, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Unair, Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Religi (UKM SR) Unair. (Hanan/Ibnu Nawawi)

#muslimsejati
http://www.nu.or.id/post/read/99177/contohlah-nabi-yang-memberikan-solusi-bagi-umat

Senin, 19 November 2018

IKHLAS DALAM BERAMAL

Image result for gambar ikhlas dalam beramal
ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits ini sepertiga Islam. Mengapa demikian?

Menurut Imam Baihaqi, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan yang paling utama. Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu berdiri di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:

Pertama, hadits “Innamal a’maalu bin niyyah” (Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat).

Kedua, hadits “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd” (Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak).

Ketiga, hadits “Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin” (Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”

Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat. Niat adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena niatnya.

Perkara ikhlas dalam beramal ini sangat penting kedudukannya dalam ajaran Islam.  Sebesar apapun amalan seseorang jika tidak ikhlas maka akan tertolak di sisi Alloh SWT.

Saudaraku
Belakangan kita melihat begitu banyak aksi sekelompok kaum muslimin dengan selogan membela Islam,  menjaga agama Islam dari pelecehan orang – orang kafir.  Dan bahkan banyak yang mengangkat isu menjaga Islam dari rongrongan kaum munafikin.  Membela Islam itu sangat baik dan dianjurkan oleh agama akan tetapi jika dalam pelaksanaannya tidak murni dalam rangka membela Islam maka ini justru akan merusak Citra Islam itu sendiri.  Sebagai sebuah contoh peristiwa terakhir belakangan ini yaitu mengenai pembakaran bendera “Laa ilaha illallaah”, maka marak muncul kelompok islam tertentu melakukan aksi dengan dalih membela kalimat tauhid.

Betulkah membela kalimat tauhid?
Peristiwa ini sebenarnya peristiwa internal umat Islam yang bentuk penyelesaiannya bisa selesai dengan dialog.  Membangun dialog dengan asas kekeluargaan insya Alloh akan selesai.  Dan segala bentuk kesalah pahaman akan berakhir dengan baik.  Tetapi bukan cara itu yang ditempuh,  beberapa kelompok Islam turun ke jalan dan seolah – olah akan berperang menghadapi musuh yang besar.  Jargon – jargon jihad diteriakkan dan ujaran memprovokasi umat terus dikumandangkan.  Bahkan mereka menganggap ini adalah bagian dari jihad. 

Ketika persoalan ini sudah selesai dalam forum diskusi tapi tetap saja isu membela kalimat tauhid digaungkan.  Ada motif apa dibalik ini semua.  Bukan suatu kebetulan peristiwa ini terjadi bersamaan dengan masa kampanye pemilihan presiden.  Dan sangat nampak jelas pada akhirnya gerakan membela tauhid dijadikan alasan untuk menggerakkan masa dalam rangka mendukung PASLON tertentu. Ini maknanya kalimat tauhid yang suci malah dikotori oleh mereka yang katanya sedang membela kalimat tauhid.  Isu ini hanya dijadikan alasan untuk kepentingan politik sesaat.  Saya berharap umat Islam sudah semakin pintar melihat persoalan ini dan tidak terpengaruh oleh mereka – mereka yang mengklaim sebagai pembela kalimat tauhid tapi sebenarnya tidak lebih dari hanya sekedar memuaskan syahwat politik mereka. 

Rasulullah saw memperingati kepada kita betapa bahayanya orang yang merasa berjuang untuk Islam tapi itu hanya sekedar dalil pembenaran sikap meraka padahal niat yang sebenarnya adalah untuk kepentingan dunia mereka.  Mari kita camkan satu hadits Rasulullah saw:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ: تَفَرَّقَ النَّاسُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَقَالَ لَهُ نَاتِلُ أَهْلِ الشَّامِ: أَيُّهَا الشَّيْخُ، حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: نَعَمْ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:


" إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ "

"(Imam Muslim berkata) Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Habib Al-Haritsi, (Dia - Yahya bin Habib Al-Haritsi telah berkata) Telah mengabarkan kepada kami Khalid bin Al-Haritsi, (Dia - Khalid bin Al-Haritsi berkata) telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, (Ibnu Juraij berkata) telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yusuf, dari Sulaiman bin Yasaar, Dia (Sulaiman bin Yasaar) berkata, Ketika orang-orang telah meninggalkan Abu Hurairah, maka berkatalah Naatil bin Qais al Hizamy Asy-Syamiy (seorang penduduk palestine beliau adalah seorang tabiin), "Wahai Syaikh, ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang Engkau telah dengar dari Rasulullah Shollallahu'alaihi wassalam, Ya (Aku akan ceritakan - Jawab Abu Hurairah), Aku telah mendengar Rasulullah Shollallahu'alaihi wassalam bersabda: "Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : 'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an hanyalah karena engkau.' Allah berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang 'alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur-an supaya dikatakan seorang qari' (pembaca al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.(HR. Muslim)

Semoga kita menjadi hamba Alloh yang dirahmati oleh Alloh SWT yang tetap mampu menjaga kemurnian niat kita daan tidak terpengaruh dengan berbagai retorika yang indah dan bersemangat membela Islam akan tetapi sebenarnya justru merusak Islam dan menodai ajaran Islam. 
Wallohu a’lam

Minggu, 18 November 2018

Perilaku Intoleran Dampak dari Kurangnya Ilmu

Perilaku Intoleran Dampak dari Kurangnya Ilmu
Silaturrahmi jaringan Gusdurian Bekasi RayaAbdul Muiz, NU Online | Ahad, 18 November 2018 19:30
Bekasi, NU Online
Jaringan Gusdurian Bekasi Raya diharapkan dapat mengubah wajah Bekasi yang dinilai sebagai daerah yang cukup tinggi perilaku intoleransinya.

Hal tersebut diungkapkan salah seorang tokoh agama Kabupaten Bekasi Ustadz Muhib Syadzili saat menghadiri peringatan Hari Toleransi Internasional yang diadakan Gusdurian Bekasi Raya, di Kantor PCNU Kabupaten Bekasi, pada Jumat (16/11) kemarin. “Mungkin intoleran itu diakibatkan karena kurangnya ilmu,” katanya.

Ia melanjutkan bahwa seorang sahabat karib Gus Dur, yakni Habib Muhammad Quraish Shihab ingin merekrut orang-orang yang suka mendapatkan beasiswa ke berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah.

“Saat itu tidak dites satu per satu. Hanya saja, mahasiswa yang ada di sana ditanya dalam sehari dapat meluangkan waktu selama berapa jam, ada yang menjawab satu hingga dua jam,” kata Ustadz Muhib.

Lalu, Habib Quraish yang saat itu menduduki jabatan sebagai Menteri Agama mengatakan bahwa dirinya sangat sibuk. Namun dalam sehari, tidak pernah lepas untuk membaca buku selama 8 jam.

Oleh karena itu, sudah dapat dipastikan jika ada orang yang kerap melakukan aksi intoleransi adalah mereka yang kurang ilmu. Sebaliknya, orang-orang yang memiliki rasa toleransi yang tinggi maka punya ilmu yang sangat banyak.  

Niatkan tabarukan ke Gusdur

Seorang Penulis Buku Keislaman, KH Agus Mustofa pernah menyampaikan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah ja’ilun fi al-ardhi khalifah yang bertugas untuk mengatur keberlangsungan kehidupan di dunia.

“Kalau misalkan kita menindas orang yang lemah malah justru kita sendiri yang akan binasa,” kata Ustadz Muhib 

Sebab, lanjutnya, orang-orang lemah yang tertindas itu lama-kelamaan akan membuat sebuah jaringan yang sangat kuat sehingga melakukan perlawanan. “Maka menindas orang-orang lemah itu merupakan perilaku bunuh diri,” kata Ustadz Muhib.

Sehingga untuk menjadi khalifah, haruslah memiliki rasa toleransi yang tinggi. Yakni sebuah sikap dalam menciptakan kehidupan yang damai, tenteram, dan tenang.

“(Karena) sesungguhnya toleransi itu adalah perintah Allah. Yakni yang termaktub dalam Al-Quran, surat Al-Hujurat ayat 13,” terangnya.

Bahwa Allah menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan. Itulah Nabi Adam dan Siti Hawa. Ayat ini menegaskan kepada manusia bahwa setiap orang di muka bumi ini adalah saudara.

“Sebab kita berasal dari satu rahim dan satu benih. Kemudian setelah itu Allah menjadikan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Tujuannya adalah lita’arafu. Untuk saling mengenal satu sama lain. Ini (toleransi) adalah perintah Allah,” jelasnya.

Dalam kajian ushul fiqih, tambah Ustadz Muhib, asal hukum adalah wajib. Maka menjadi wajib hukumnya untuk saling mengenal kepada sesama saudaranya.

“Orang tidak mungkin bisa saling mengenal kalau tanpa toleransi. Ketika kita melakukan perbuatan yang toleran, maka saat itu kita sedang menjalankan perintah Allah yakni lita’arafu,” ucapnya.

Ayat tersebut mengingatkan manusia untuk bisa saling mengenal kepada siapa dan apa pun latar belakang seseorang. Inilah salah satu misi yang dibawa oleh Gus Dur.

“Maka itu marilah kita masuk ke dalam Jaringan Gusdurian dengan niat tabarukan kepada Gus Dur, meneladani sikap luhur beliau, dan juga bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain,” pungkasnya. (Aru Elgete/Muiz)
#muslimsejati
Sumber http://www.nu.or.id/post/read/99093/perilaku-intoleran-dampak-dari-kurangnya-ilmu-

Sabtu, 17 November 2018

Meneladani Sang Nabi




Oleh Khairi Fuady

Istilah Sang Nabi semula populer dari karya seorang penyair legendaris asal Lebanon, Khalil Gibran. Dalam versi bahasa Inggris, bukunya bernama The Prophet. Bercerita tentang sosok Al-Musthafa yang mengembara ke sebuah kota bernama Orphalese dalam kurun waktu 12 tahun, dan mereguk tetes demi tetes hikmah dari pengembaraannya. Di Kota itu, ia bertemu dengan seorang gadis kecil bernama Almitra, seorang anak yang tak bisa bicara sejak kepergian Ayahnya.  

Sang Nabi pada tulisan ini juga Al-Musthafa, seorang pemuda yang lahir dari Klan Bani Hasyim di Tanah Arabia. Ia lah yang masyhur karena budi pekertinya, perangai elok nan memikat semua. Seorang yang dalam Sya’ir Maulid Ad Diba’i karya Al Imam Wajihuddin Abdurahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf  bin Ahmad bin Umar Ad Diba’i: “Kaana ahsanannaasi khuluqan wa khalqaa, sebaik-baik manusia dari segi akhlak dan juga rupa”. Dia lah Al-musthafa Muhammad SAW, yang ukiran cahaya namanya sudah lebih dulu terpahat di Surga, sebelum terciptanya Sang Adam juga Hawa.

Dialah teladan, panutan, juga obor yang menuntun kita kepada cahaya di atas segala cahaya, karena dia lah sejatinya cahaya. Fahtazzal ‘arsyu tharaban wastibsyaaraa. Arsy terguncang riang gembira. Wazdaadal kursiyyu haybatan wa waqaaraa. Kursi singgasana Allaah bertambah wibawanya. Wamtalaatis samaawaatu anwaaraa. Dan langit-langit bertambah terang kilau cahaya. Walam tazal ummuhuu taraa anwaa’an min fakhrihi wa fadhlih. Dan masih sahaja sang ibunda Aminah, menyaksikan rupa-rupa kemulyaan dan keutamaan. Ilaa nihaayati tamaami hamlih. Hingga berakhir masa kandungannya. Walammasytada bihat thalqu bi idzni rabbil khalq, dan ketika rasa sakit berada pada puncaknya dengan seizin Tuhan Sang Maha Pencipta, wadha’atil habiiba shallallaahu ‘alayhi wa salama saajidan syaakiran haamidan ka annahul badru fii tamaamih, lahirlah Sang Nabi shalllallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan bersujud, bersyukur, dan bertahmid laiknya rembulan dalam bentuknya yang purnama. 

Demikianlah sya’ir Ad-diba’i bercerita tentang kelahiran Sang Nabi, yang bulan maulidnya tengah kita peringati sekarang ini. Amat pantas lah tentunya jika seorang pemikir Barat bernama Michael Hart menobatkan Sang Nabi sebagai the Most Influential People among 100, orang yang paling berpengaruh di antara seratus tokoh dunia yang bukunya sempat diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi, pendekar pena dari Tanah Batavia. Lalu pada soal apa kita bisa meneledani Sang Nabi? 

Pertama, di tengah situasi kebangsaan yang semakin riuh dengan seteru dan perdebatan tak produktif, marilah meneladani Sang Nabi yang dalam Al-Qur’an disebutkan “Wamaa yanthiqu ‘anil hawaa in huwa illaa wahyun yuuhaa, tidak lah ia berbicara atas dasar hawa nafsunya, namun dituntun isyarat wahyu”. Artinya, mari kita jadikan Al-Qur’an sebagai pedoman agar kita tak teperdaya oleh emosi dan hawa nafsu kita. Kadang perbedaan ideologi dan sikap politik membuat kita buta hati lalu saling mencaci, mencerca, dan seakan lupa bahwa kita satu bangsa. Kita menghardik, memvonis yang lain kafir dan munafik, hingga lupa mematut diri sendiri di depan cermin.

Kedua, tingkatkan empati. Dalam syair maulid disebutkan bahwa Nabi Muhammad itu “Idzaa da’aahul miskiin, ajaabahu ijaabatan mu’ajjalaa. Jika datang kepadanya seorang miskin, akan ia jawab dengan segera”. Di satu kesempatan Idul Fitri, Nabi keluar rumah untuk shalat ‘Id. Di tengah perjalanan ia mendapati anak-anak kecil bermain riang gembira. Namun di suatu sudut, ada seorang anak kecil menangis dalam keadaan lapar dan tak punya pakaian. Nabi bergegas menghampirinya, dan bertanya tentang apa gerangan penyebab tangisnya. Anak kecil tersebut menjawab bahwa ayahnya wafat di salah satu peperangan bersama Nabi, dan Ibunya menikah dengan lelaki lain hingga ia pun ditelantarkan sebatang kara. Nabi terenyuh dan tanpa pikir panjang ia angkat anak kecil tersebut menjadi anaknya. Ia bawa ke rumah lalu diberi makan dan pakaian hari raya.

Beruntunglah sang anak hinga membuat iri teman-temannya. Nabi Muhammad menjadi ayahnya, Aisyah menjadi ibunya, lalu Fatimah, Hasan, dan Husain menjadi saudara dan saudarinya. Karena itu di kesempatan yang lain Nabi bersabda: “Anaa ma’al yatiim kahaatayni, Aku bersama Yatim seperti dua jemari ini, jari telunjuk dan jari tengah,” yang artinya sangat dekat. 

Ketiga, berkata lembut atau diam. Fal yaqul khayran aw liyashmut (al-hadits). Di tengah fenomena emosi anak bangsa yang kerap diselimuti oleh kemarahan, anjuran tentang kelembutan harus kembali digalakkan. Bahkan Nabi bersabda di kesempatan yang lain dengan kalimat “Laa taghdhab walakal jannah. Jangan marah, maka surga untukmu. Laa taghdhab walakal jannah. Jangan marah, maka surga untukmu. Laa taghdhab walakal jannah. Jangan marah makan surga untukmu”. 

Alkisah sebagai penutup, ketika perang Khandaq, Sayyidina Ali Karramallaahu Wajhah ditantang duel oleh Amru bin abd Wad, seorang jawara dari Bani Quraish yang sangat ditakuti. Nabi Muhammad sempat khawatir lantaran usia Sayyidina Ali yang masih tergolong muda. Tapi ternyata duel tersebut berpihak kepada Ali. Amr tersungkur jatuh ketika Sayfu ‘Aliyyin/pedang Ali menyabet kaki Amr sang jawara Quraish. 

Dalam keadaan jatuh, Amr meludah ke muka Ali hingga tersulut emosi Ali, dan amarahnya bergejolak. Namun tak disangka, Ali memilih mundur dan tak jadi membunuh Amr. Seorang sahabat bertanya; “Wahai Ali, kenapa tidak kau tebas saja kepalanya padahal kamu sangat memungkinkan melakukannya dalam keadaan Amr sedang tersungkur?” 

Ali menjawab; “Ketika ia meludahiku, ketika itu pula emosiku tersulut. Jika aku membunuhnya, berarti aku membunuhnya atas emosiku, bukan atas perintah Allah”. 

Inna fil qisshati la’ibrah. Dalam sebuah kisah terdapat ibrah: belalah agamamu, jangan bela emosimu. Agama membangun kehidupan, sedangkan emosi meruntuhkan. 


Penulis adalah Ketua Pusat Syi’ar dan Dakwah Da’i Muda Al-Mahabbah

http://www.nu.or.id/post/read/99051/meneladani-sang-nabi