Minggu, 30 September 2018

Bila Pancasila Dilaksanakan dengan Baik, Radikalisme dan Terorisme Akan Terbendung kata Lily Wahid

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Jelang hari kesaktian Pancasila 1 oktober 2018 tokoh kebangsaan Hj. Lily Chodidjah Wahidmengimbau seluruh bangsa Indonesia untuk kembali menjadikan Pancasila bukan sekadar lima sila yang tertera dalam hurup, tapi melaksanakan Pancasila sebagai sebuah falsafah hidup bangsa dalam kehidupan sehari-hari.
"Kalau lima sila itu betul-betul dilaksanakan, pasti akan menjadi kekuatan hebat bagi bangsa Indonesia yang majemuk tapi bersatu,” ungkap Hj. Lily Chodidjah Wahid, Sabtu (29/9/2018).
Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari itu yakin bila Pancasiladilaksanakan dengan baik, masuknya berbagai ideologi asing seperti radikalisme dan terorisme, otomatis akan terbendung.
Menurutnya, Pancasila sangat ideal dengan Indonesia. Dan itu sudah dipikirkan dengan matang oleh para founding fathers bangsa saat memutuskan Pancasila yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi dan landasan hidup bangsa, dengan mengganti tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja” dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Itu dilakukan demi untuk mengakomodir keinginan saudara-saudara kita dari Indonesia timur. Pasalnya, Indonesia timur mau bergabung dengan Indonesia bila tujuh kata itu dihilangkan.
“Itu kontribusi umat islam yang sangat besar. Kalau hari ini ada isu intoleransi, itu adalah buah gangguan dari luar yang memang ingin memecah belah bangsa kita. Wong selama ini selama 72 tahun merdeka tidak ada apa-apa, dengan tujuh anak kata yang dihilangkan itu,” jelas Hj. Lily Wahid.
Ia menilai, upaya-upaya yang ingin memecah belah Indonesia itu adalah sebuah setingan internasional yang ingin menjadikan Indonesia menjadi beberapa negara bagian. Upaya pecah belah itu sudah lama dilakukan, namun sampai saat ini tidak pernah berhasil.
Konspirasi internasional itu tidak lepas dari keinginan negara-negara asing yang ingin menguasai sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya.
“Mereka menggunakan cara-cara dengan ongkos murah yaitu adu domba. Hari ini yang mereka benturkan islam dengan islam dan yang dipakai sebagai isu salah satunya intoleransi dan kebhinekaan. PadahalPancasila sebagai sebuah kesatuan sudah menjaga kita dari benturan sesama anak bangsa,” urai mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKB ini.
Ia mengaku kondisi bangsa Indonesia yang karut marut akhir-akhir ini akibat mulai lunturnya pemahaman dan pengamalanPancasila, terutama di kalangan generasi muda. Bahkan banyak orang Indonesia yang sudah tidak hafal lagi dengan sila-silaPancasila.
Untuk itu ia sangat mendukung upaya pemerintah yang ingin kembali mengaktualisasikan kembali Pancasilasebagai falsafah hidup bangsa.
Menurutnya, nilai-nilai Pancasila inheren dengan kehidupan bangsa Indonesia karena kemanusiaan itu bagian dari keimanan, turunan dari ketuhanan. Kemudian keadilan sosial ini adalah dakwah bil hal-nya, dalam kenyataan sehari-harinya.
“Jadi sebetulnya harus kita upayakan untuk memperbaiki keadaan hari ini adalah membangkitkan kembali persatuan Indonesia dan musyawarah mufakat,” tutur Lily Wahid.
#muslimsejati

Sumber :http://m.tribunnews.com/metropolitan/2018/09/30/bila-pancasila-dilaksanakan-dengan-baik-radikalisme-dan-terorisme-akan-terbendung-kata-lily-wahid

Sabtu, 29 September 2018

Ketua NU Jember: Agama Jangan Jadi Sumber Konflik

Jember, NU Online
Prinsipnya, semua agama punya misi suci sebagai pembawa kedamaian,  yang dalam istilah Islam disebut  rahmatal lilalamin. Hanya persoalannya, terkadang ekspresi keagamaan dari oknum pemeluk agama tampil eksklusif monolitik, sehingga menutup diri untuk memberi ruang terhadap kebenaran yang dibawa orang  lain. 

Demikian diungkapkan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember, Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin saat memberikan sambutan pada Seminar Persatuan di Hotel Bandung Permai, Jember, Sabtu (29/9).

Menurutnya, ekspresi keagamaan yang eksklusif itu, salah satunya disebabkan oleh adanya kesalah pahaman dalam membaca teks-teks agama hingga mengakibatkan disfungi agama sebagai perekat sosial. “Yang ada malah agama itu tampil sebagai sumber konflik yang kemudian melegitimasi  kekerasan atas nama agama,” kata kiai yang juga dosen di pascasarjana IAIN Jember tersebut.

"Ketika agama ditampilkan seperti itu, jelas tidak sejalan dengan misi agama saat diturunkan, dan tidak membawa kedamaian dalam kehidupan," jelasnya.

Gus Aab, sapaan akrabnya menambahkan, bumi adalah satu. “Dan di atas bumi ini hidup manusia dari beragam suku, bahasa, budaya dan agama,” urainya. Realitas kemajemukan ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri.oleh siapapun, lanjutnya. 

"Karena itu, siapaun yang ingin hidup dalam keseragaman, dan tidak ingin ada kemajemukan, tentu tidak ada tempat baginya hidup di bumi Allah ini," tandasnya.

Seminar bertema Menggalang Kesadaran Keagamaan dan  Kebangsaan Menuju Indonesia Bersatu itu digelar Gerakan Nusantara Bangkit (GNB) dan dihadiri tokoh lintas agama serta sejumlah kiai. (Aryudi AR/Ibnu Nawawi)

#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/96454/ketua-nu-jember-agama-jangan-jadi-sumber-konflik

Jumat, 28 September 2018

Tak Ada Bidadari untuk Pelaku Terorisme

Tak Ada Bidadari untuk Pelaku Terorisme

Belitung, NU Online
Sekretaris Utama BNPT Marsekal Muda Asep Adang Supriyadi menegaskan, janji bertemu bidadari untuk sebuah aksi terorisme merupakan sebuah ilusi. Bidadari untuk pelaku terorisme disebutnya tidak ada di surga. 

"Tidak ada pembenaran apa pun dalam agama yang menjamin aksi terorisme dibalas dengan ganjaran bertemu bidadari," kata Asep Adang dalam sambutan pembukaan kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung, Kamis (27/9). 

Dalam sambutannya Asep Adang sempat memutar rekaman video Dani Dwipermana,  pelaku peledakan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot beberapa tahun silam, yang menyebut aksinya akan diganjar dengan 72 bidadari. 

"Yang harus dicari adalah siapa yang menanamkan isme-isme bahwa terorisme diganjar surga. Bapak ibu harus membantu bahwa aksi terorisme memang diganjar bidadari, tapi tidak di surga, melainkan di neraka," tegas Asep Adang. 

Asep Adang juga sempat memutar beberapa rekaman video anak-anak Indonesia di Irak dan Suriah.  Melalui pemutaran video tersebut diharapkan tumbuh kesadaran bahwa terorisme merupakan ancaman nyata bagi keutuhan NKRI. 

"Saya ke Rusia beberapa waktu lalu, dapat informasi mereka yang dilatih ISIS sekarang sudah siap kembali ke daerahnya masing-masing. Makanya peran bapak dan ibu sekalian sebagai penyuluh agama sangat dibutuhkan, agar terorisme tidak semakin mengakar," urainya.

Di akhir sambutannya, perwira AU dengan penguasaan 11.000 jam terbang tersebut mengingatkan, terorisme tidak bisa ditangani oleh pemerintah sendiri. Keterlibatan masyarakat ditegaskannya sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan. 

"Kami percaya bapak dan ibu penyuluh agama memiliki kemampuan membantu pencegahan terorisme," tutup Asep Adang. 

Kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme di Kabupaten Belitung terlaksana atas kerjasama BNPT dan FKPT Bangka Belitung. Kegiatan yang sama sudah dan akan dilaksanakan di 32 provinsi se-Indonesia sepanjang tahun 2018. (shk/shk/Abdullah Alawi)
#muslimsejati
Sumber :http://www.nu.or.id/post/read/96365/tak-ada-bidadari-untuk-pelaku-terorisme

Kamis, 27 September 2018

Untuk Hentikan Radikalisme, Lepaskan Ambisi Kekuasaan


Jakarta, NU Online
Menguatnya radikalisme yang berujung pada maraknya tindak kekerasan lahir dari aspirasi kekuasaan. Hal ini, menurut KH Masdar Farid Masudi, diyakini betul oleh umat Islam.
 
"Radikalisasi yang mewujud pada tindak kekerasan itu muncul karena aspirasi kekuasaan yang sangat kental dalam kesadaran akan keyakinan umat Islam," katanya saat menjadi narasumber pada peluncuran dan diskusi buku Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Rabu (26/9).
 
Bagi Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, cara menghentikan laju radikalisme adalah melepaskan ambisi kekuasaan. 

"Kalau mau melakukan deradikalisasi, dalam konteks keislaman, jawaban paling strategtis menurut saya ya lepaskan itu ambisi kenegaraan (Islam), kekuasaan," ujarnya.
 
Sebab, lanjutnya, Islam tidak boleh diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan. "Jangan lagi terobsesi Negara Islam," tegasnya.
 
Kiai Masdar sendiri mempertanyakan asal usul penyebutan negara Islam. Padahal, negara-negara yang berpenduduk mayoritas agama lain tidak melabelkan diri dengan negara agama tersebut. Ia mencontohkan India yang tidak melabelkan dirinya sebagai negara Hindu dan Thailand yang tidak menyebut dirinya sebagai negara Budha.
 
"Tapi kenapa negara dengan berpenduduk Muslim terbesar meyakini betul Islam dijadikan label resmi negara," katanya.
 
Hal tersebut, menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut. "Ini saya kira dari mahasiswa Paramadina boleh dilacak ini," ungkapnya.
 
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengungkapkan bahwa Islam Indonesia sudah sangat baik mengingat tidak mengajarkan permusuhan terhadap kaum minoritas. 

"Kita tidak pernah diajarkan untuk bermusuhan dengan kaum minoritas. Kita tidak pernah diajarkan untuk bermusuhan dengan agama lain," katanya.
 
Menurut Hendri, buku yang ditulis oleh syaiful Arif itu penting guna mengingatkan masyarakat, bahwa Indonesia baik-baik saja dengan adanya Pancasila. "Di Indonesia itu ada Islam, ada Pancasila dan baik-baik saja," terangnya.

Islam dan Pancasila, menurutnya, merupakan jawaban untuk mengatasi radikalisme di Indonesia. "Karena Islam mengajarkan persaudaraan dan Pancasila juga mengajarkan persaudaraan. Islam mengajarkan kebangsaan, Pancasila juga mengajarkan kebangsaan," pungkasnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)http://www.nu.or.id/post/read/96361/untuk-hentikan-radikalisme-lepaskan-ambisi-kekuasaan

Rabu, 26 September 2018

Pemahaman Kebangsaan sebagai Benteng dari Radikalisme


Jakarta, NU Online
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius membekali mahasiswa baru Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dengan sejumlah pemahaman kebangsaan. Hal ini ditujukan agar para mahasiswa UGM lebih imun terhadap virus radikalisme kekerasan yang menjalar ke semua tempat termasuk perguruan tinggi. 
“Dalam kondisi masyarakat yang mulai terkikir rasa persaudaraan dan persatuan, rasa cinta air harus terus diberikan kepada generasi muda. Ini penting agar mereka tidak terpengaruh infiltrasi paham-paham yang menggerus ke-Indonesia anak bangsa,” ujar Komjen Suhardi Alius saat memberikan kuliah umum di UGM, Yogyakarta, Selasa (25/9). 
Ia mengharapkan pemahaman kebangsaannya akan bermanfaat untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Baginya generasi muda tidak hanya perlu dibekali dengan knowledge dan skill yang handal, namun juga harus memiliki nilai moral dan etika.
Pada kesempatan itu, Suhardi kembali juga menjelaskan bahaya ancaman paham radikal. Makna radikal menurutnya adalah paham anti-Pancasila, Intoleransi, anti-NKRI dan dan menggunakan paham takfiri (suka mengkafir-kafirkan sesama muslim yang bukan kelompoknya). 
Ia mengungkapkan bahwa, paham radikal saat ini juga tersebuar luas dengan memanfaatkan sejumlah peluang termasuk media sosial. Untuk membendung pemikiran radikal terorisme itu, Kepala BNPT menghimbau agar mereka mengedepankan kebaikan bersama.
Sementara itu, Rektor UGM Prof Panut Mulyono, menyebut bahwa kuliah umum yang diberikan Suhardi Alius sebagai bahan yang patut diketahui oleh mahasiswanya. 
"Apa yang disampaikan oleh Kepala BNPT tentang resonansi kebangsaan dan bahaya radikalisme sangat penting untuk menyakinkan kepada mahasiswa baru akan jati diri UGM,” ungkap Panut.
Prof. Panut menuturkan bahwa UGM selalu memperhatikan berbagai kegiatan mahasiswa sehingga termonitoring dengan baik. Semua dilakukan dalam rangka melakukan pencegahan paham-paham negatif yang masuk kepada mahasiswa dan dosen.
"Selain memperhatikan berbagai kegiatan mahasiswa dilingkungan kampus, kita juga memasukkan kuririkulum terkait bahaya radikalisme dan tentu saja wawasan kebangsaan sebagai bekal mahasiswa ketika nanti kembali ke masyarakat" tutupnya. (Ahmad Rozali)
#mulimsejati
Sumber http://www.nu.or.id/post/read/96285/di-ugm-kepala-bnpt-berikan-pemahaman-kebangsaan-sebagai-benteng-dari-radikalisme

Komentar

Minggu, 23 September 2018

Paradoks radikalisme

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Haedar Nashir
Diksi radikal sangat populer di Indonesia, selain di mancanegera. Berbagai pihak menjadikan isu radikal dan radikalisme sebagai bahan diskusi, kajian, dan tentu saja penangkalan yang sifatnyaextraordinary alias gawat darurat.
Sebagian malah menjadikannya lahan komoditas, proyek, dan politisasi yang seksi. Padahal, siapa pun yang terkena label radikal dan radikalisme sontak menjelma sebagai hantu yang menakutkan sekaligus menjadi musuh bersama dunia.
Rujukan radikal di negeri ini tidak jarang dikonotasikan dengan radikalisme agama, lebih khusus radikal Islam. Tautan radikal Islam itu bahkan berindentik dengan ekstremis atau jihadis dan teroris, yang identifikasinya samar maupun terbuka sering atau pada umumnya tertuju pada golongan tertentu umat Islam.
Sejumlah pihak boleh membantah secara verbal atas deskripsi radikal yang serba menjurus itu, tetapi diakui atau tidak tampak kuat konotasi dan identifikasinya radikalisme tertuju pada Islam dan umat Islam.
Kadang terjadi paradoks atau ambigu. Ketika ada perangai dan tindakan serupa di tempat dan golongan lain, nyaris tidak dikategorisaskan radikal dan radikalis.
Kelompok tertentu yang mengangkat senjata dan sesekali memekikkan slogan merdeka di suatu daerah yang melahirkan anarki dan kekecauan, belum terdengar disebut radikalis dan teroris. Mereka malah tidak disebut separatis. Hanya sebatas disebut gerakan pengacau keamanan dan kelompok kriminal bersenjata.
Ketika sekelompok orang Islam berujar rela mati demi agama, sontak label radikal tertuju kepadanya. Kata jihad pun sepenuhnya menjadi negatif dan identik dengan radikal yang mengandung makna kekerasan jalanan.
Setelah itu dipulerkan di ruang publik sebutan kaum jihadis yang maknanya sama dengan radikalis-teroris. Diksi “Wahabi” sering dipertautkan dengan aura negatif kaum jihadis, radikalis, dan teroris yang menakutkan itu.
Berbeda ketika sekelompok orang menyuarakan “rela mati demi NKRI” sampai slogan “NKRI harga mati”. Kendati sesekali ada sejumlah aksi disertai cap jempol darah, gerakan kebangsaan seperti itu tidak akan dituding sebagai radikal dan radikalis.
Mereka sebaliknya dikategorikan sebagai pembela Tanah Air sejati. Mereka disebut para pahlawan nasionalis yang berada di garda depan dalam membela Indonesia, Pancasila, kebinekaan, dan UUD 1945. Mereka adalah para “mujahid kebangsaan”.
Ketika sekelompok orang atas nama agama melakukan sweeping tempat maksiat yang tentu saja tidak benar secara hukum karena mengambil alih tugas kepolisisan, mereka disebut radikalis Islam. Namun, manakala sekelompok orang atas nama nasionalisme dan bela NKRI melakukansweeping atau mengusir kelompok lain yang berbeda haluan politik dan beda paham agama, tidak disebut radikalis.
Lebih-lebih manakala tindakan radikal atas nama bela Tanah Air itu menggunakan slogan “hubbul wathan”, maka terbangunlah citra nasionalisme tulen. Padahal sama radikalnya, yang melahirkan paradoks tentang radikalisme!
Objektivasi Pandangan
Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata radikal berasal dari akar kata radix (Latin) berarti origin(asli) atau root (akar).
Mereka yang menganut paham radikal artinya yang ingin kembali ke sesuatu yang asli atau akar yang sifatnya mendasar. Jika beragama, berarti kembali ke fondasi yang murni dan mendasar, yaitu keyakinan seperti akidah, demikian pula radikal dalam ideologi atau sikap hidup lainnya.
Radikal ialah usaha bersama untuk mengubah status-quo (Collins Dictionary of Sociology, 1991). Gerakan sosial radikal ialah “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa” (Kartodirdjo, 1973).
Adapun radikalisme ialah suatu paham atau gerakan mengambil sesuatu hingga ke akarnya (taking things by the roots), tulis Anthony Giddens (1994). Dalam kajian Giddens, menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Beberapa mereka yang radikal memang revolusioner meski tidak indentik semuanya revolusioner.
Karenanya, pada awalnya tidak ada yang salah dengan radikal. Boleh jadi karena ingin kembali ke asli atau akar, sebagian kaum radikalis menjadi “true believers” atau kelompok fanatik buta, dari sinilah benih radikalisme yang eksklusif, monolitik, dan intoleran.
Namun, sikap kepala batu seperti ini milik semua kaum radikal, termasuk radikal nasionalisme yang dikenal “ultra-nasionalis”, sebagaimana kaum “New-Left” atau “Kiri Baru”, bukan hanya di kalangan agama.
Dalam kenyataan, tidak ada satu golongan tertentu yang mewakili genre radikal dan radikalisme. Gerakan petani radikal bahkan sudah melegenda menjadi realitas sejarah, yang menjadi perhatian khusus ilmu-ilmu sosial dalam studi gerakan sosial sebagaimana ditemukan dalam kajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial, seperti karya JC Scott (1976, 1983), E Wolf (1969), Kartodirjo (1973), dan Kuntowijoyo (1983).
Dalam banyak gerakan sosial yang bersifat “Ratu Adil” atau “Millenari” para tokoh radikal malah menjadi idola rakyat untuk pembebasan. Sangat keliru kalau paham radikal dipatok ke satu paham dan golongan tertentu sambil tutup mata dari radikal paham dan golongan lain.
Sejarah paham dan pergerakan radikal dimulai di Eropa, khususnya Inggris, pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1797, gerakan "radikal" dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan "reformasi radikal" dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen.
Setelah itu, sejak abad ke-19, pemikiran dan gerakan radikal bertumbuh menjadi liberalisasi politik untuk melakukan reformasi atau perubahan kehidupan politik yang progresif. Gerakan “Kiri Baru” di banyak negara termasuk dalam radikalisme, sering diadopsi oleh gerakan-gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk di Indonesia.
Gerakan radikal dan radikalisme lebih banyak dijumpai dalam gerakan dan kelompok politik, selain kelompok sosial. Termasuk di dalamnya radikal ideologi, yang sangat mengabsolutkan paham tertentu, tidak kecuali paham kebangsaan atau nasionalisme.
Komunisme merupakan lanjutan paham marxisme radikal, yang dalam sejarah dunia di mana pun menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik dan diktatorial dalam pemerintahan maupun proletarianisme yang mendewakan populisme. Di Indonesia, banyak peristiwa kelam akibat gerakan komunis.
Paham kebangsaan yang radikal juga dapat dijumpai di banyak negara, yang sering disebut dengan ultranasionalisme. Pekik, ujaran, tulisan, pandangan, serta aksi-aksi yang berlebihan atau mengandung unsur pengabsolutan disertai ekstremitas sampai mengandung unsur kekerasan atas nama nasionalisme dapat dikategorisasikan ke dalam paham radikal atau radikalisme.
Sikap kedaerahan yang disertai paham dan sikap ekstrem, yang mengandung sikap chauvinis, termasuk sikap anti terhadap orang dari daerah luar dan lebih-lebih bila sering memberikan ancaman merdeka manakala tidak puas terhadap keadaan, juga dapat dikategorikan sebagai radikal dan radikalisme. Demikian halnya dengan primordialisme lain yang serbaekstrem.
Maka menjadi paradoks dan tidak adil manakala baju radikal dan radikalisme disematkan terbatas pada satu paham dan golongan, seperti kepada umat Islam. Paham, sikap, dan tindakan radikal dalam makna ekstrem, intoleran, dan keras dalam kenyataan terdapat pada paham dan golongan lain, termasuk radikal dalam paham kebangsaan, baik atas nama nasionalisme maupun pandangan agama dan ideologi lain yang serbaekstrem, eksklusif, dan tidak jarang mengandung muatan intoleransi dan kekerasan.
Paradoks tentang pandangan radikalisme seperti itu menunjukkan reduksi dan kekeliruan pemikiran yang menunjukkan bukti radikalisme dalam wujud lain. Di sinilah pentingnya keobjektifan pandangan secara adil dan komprehensif tentang radikalisme agar tidak terjebak pada reduksi dan salah pemikiran.
Radikalisme Keagamaan
Bagaimana dengan radikalisme agama? Radikalisme agama atau keagamaan memang dijumpai dalam kehidupan umat beragama sepanjang sejarah di mana pun, sebagaimana radikalisme lainnya. Radikalisme agama, lebih-lebih yang mengandung ekstremisme (ghuluw), intoleransi, dan kekerasan, tidak baik dan tidak dibenarkan ajaran agama, termasuk Islam. Islam adalah agama tengahan (wasathiyah) dan menebar rahmatan lil-‘alamin di muka bumi.
Islam mengajarkan damai, tasamuh, kebaikan, dan spirit hanif dalam beragama. Kalaupun ada ajaran dan sejarah jihad dalam makna qital ataughozwah (perang) dalam Islam sangatlah terbatas, ketat, dan menjunjung etika kemanusiaan yang tinggi demi mempertahankan agama dan diri umat dari ekspansi pihak lain yang sewenang-wenang.
Islam tidak membenarkan jihad fisik secara serampangan, sepihak, dan sewenang-wenang alias anarkistis. Dalam posisi paham keagamaan moderat pun perlu keterbukaan, tidak menjadi ekstrem tengah dengan mengembangkan pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan radikal atas nama kemoderatan.
 
Kenyataan ada radikalisme ekstrem dan mengandung kekerasan pada seglintir kelompok Islam, seperti digelorakan al-Qaida, ISIS, Jamaah Islamiyah, dan gerakan-gerakan serupa, terutama yang dilarang di dunia Muslim. Kita semua menentang radikalisme agama seperti itu, termasuk jika dikembangkan di Indonesia.
Kita juga secara tegas tidak bersetuju dengan gerakan Islam yang mengusung paham dan aksi menegakkan kekhalifahan atau negara Islam di Indonesia. Semua atau mayoritas terbesar umat Islam sudah bersepakat bahwa Indonesia ialah negara hasil konsensus nasional di mana Pancasila sebagai dasar negara sejalan dengan Islam, yang dalam terminologi Muhammadiyah dideklarasikan sebagai Darul Ahdi Wasyahadah.
Namun, menjadi salah manakala radikalisme agama secara mudah dialamatkan kepada Islam dan umat Islam Indonesia. Keliru juga manakala terjadi perbedaan pandangan keagamaan dari mayoritas mazhab atau paham dengan mudah dikonotasikan pada radikalisme agama.
Lebih keliru lagi manakala ada semacam otoritas tertentu yang diberikan atau digunakan oleh golongan keagamaan tertentu untuk melabeli pihak lain yang berbeda dengannya sebagai radikal dan radikalisme Islam. Apalagi jika label radikalisme Islam itu harus selalu ada demi melestarikan proyek deradikalisme. Tudingan radikal dan radikalisme Islam menjadi sangat murah-meriah, bergantung pada pihak yang dominan dan berkepentingan dalam politik keagamaan.
Selain itu, dalam kenyataan, radikalisme agama pun berlaku umum untuk semua agama atau lebih tepatnya pada semua umat beragama. Radikalisme atau dalam idiom lain fundamentalisme yang melahirkan kekerasan atas nama agama dalam kajian para ahli juga dilakukan oleh pemeluk agama pada umumnya selain Islam, seperti Kristen-Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya seperti temuan Richard T Antoun (2003), Juergensmeyer (2000), Amstrong (2000), dan studi empirik lainnya.
Artinya, ketika membahas radikalisme agama tidak dapat sembarangan ditujukan kepada agama dan umat beragama tertentu, juga dengan sudut pandang tertentu. Radikalisme Islam pun manakala dikaitkan dengan sejumlah kasus mutakhir dalam kenyataannya mengandung banyak muatan kepentingan dan bersifat kompleks (Youssef M Choueiri, 1990; Hassan Hanafi, 1989).
Perlu dipahami pula kecenderungan radikal dalam beragama maupun sikap hidup lainnya sering terjadi karena berbenturan dengan kelompok lain yang sama radikal. Tariq Ali memperkenalkan istilah ”benturan antar-fundamentalisme”, yang melibatkan kelompok keagamaan yang menunjukkan sikap “religious fundamentalism” (fundamentalisme keagamaan) dengan sikap yang sama radikalnya di seberang lain yang disebutnya “imperial fundamentalism” (fundamentalisme penjajah), yang satu seperti diwakili sosok Osama bin Laden dan lainnya Goerge W Bush (Tariq Ali, 2003: xi). Lahirnya radikalisme agama berhadapan dengan radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan radikalisme lainnya.
Artinya, jangan pernah mereduksi pandangan tentang radikalisme, lebih-lebih dengan satu sudut pandang dan hanya ditujukan kepada pihak tertentu. Ketika terdapat radikalisme agama dan melibatkan umat beragama, selalu perlu pertanyaan lebih mendasar.
Mengapa sikap dan tindakan radikal keagamaan seperti itu terjadi dalam kehidupan umat beragama, padahal agama mengajarkan perdamaian dan kebajikan? Bagaimana dengan radikalisme di luar keagamaan yang sama radikalnya, termasuk radikal atas nama nasionalisme dan ideologi lain yang memproduksi ekstremitas, intoleransi, dan bahkan kekerasan verbal maupun fisik.
 
Posisi kaum moderat yang objektif sangatlah tegas. Jauhi radikalisme dalam bentuk apa pun yang membawa pada paham serbaabsolut, lebih-lebih mengandung ekstremisme, intoleransi, dan kekerasan. Namun, jangan ambigu dan melakukan politisasi dalam mengonstruksi radikalisme sehingga label dan konsep radikalisme hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu sembari menegasikan radikalisme lainnya.
Paradoks pandangan yang berstandar ganda dan politis seperti itu hanya akan melahirkan sesat pikir, kebijakan, dan tindakan yang rawan penyimpangan dalam menyikapi radikalisme. Akhirnya jatuh pada pemikiran yang apriori, bagaikan kata pepatah klasik, “masuk ke mulut dimuntahkan, tiba di perut dikempiskan!”
#muslimsejati
Sbr :https://m.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/09/23/pfhk0u440-paradoks-radikalisme-part2

Jumat, 21 September 2018

Ketidakadilan dan Kezaliman Bisa Lahirkan Radikalisme


Kamis, 20 September 2018 | 22:49 WIB
Dok SBBI
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.
Red: Andi Nur Aminah | Rep: Fuji E Permana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-18 merekomendasikan negara-negara Islam melakukan pendekatan ideologi dan program deradikalisasi. Tujuannya untuk menjauhkan radikalisme dari kalangan muda.

Cendekiawan Muslim, Prof KH Didin Hafidhuddin berpandangan, wajar saja kalau ada pendakatan seperti itu. Mungkin mereka merasa khawatir terhadap pemahaman yang mengarah kepada radikalisme. "Tapi seharusnya pandangannya lebih objektif, apakah radikal itu muncul karena pemahaman atau karena unsur lain," kata Prof KH Didin kepada Republika.co.id, Kamis (20/9).
Ia mengatakan, sebab ada faktor-faktor lain seperti ketidakadilan dan kezaliman yang bisa melahirkan radikalisme. Sebagai contoh, di Palestina terjadi kezaliman, maka timbulah gerakan-gerakan untuk melawan pihak yang zalim.
Begitu pula dalam kehidupan masyarakat, sosial dan ekonomi, menurut dia, kalau terus menerus terjadi kesenjangan di tengah kehidupan masyarakat maka akan menyebabkan orang melakukan perlawanan dengan berbagai macam cara. Padahal itu hanya respons dari orang-orang yang ingin mendapatkan keadilan.
Menurut Didin, jadi harus komprehensif memandang masalah ini karena aspek sosial dan politik juga harus dilihat pengaruhnya terhadap kemunculan radikalisme. Jadi radikalisme jangan dianggap tidak berkaitan dengan kehidupan sosial dan lain sebagainya. "Orang radikal bukan semata-mata karena faktor ideologi, tetapi juga karena faktor lain," ujarnya.
Sebelumnya, rekomendasi AICIS dibacakan juru bicara sekaligus Steering Committe AICIS, Prof Noorhaidi Hasan. Dalam rekomendasi itu, Pemerintah Indonesia dan negara-negara Islam dianggap perlu menggunakan pendekatan ideologi dan program deradikalisasi untuk menjauhkan radikalisme dari kalangan muda.
 
"Selain pendekatan ideologi dan program deradikalisasi, langkah-langkah dalam bidang ekonomi, budaya dan pendekatan sosial juga harus segera diambil untuk mengikis pengaruh radikalisme dan terorisme," kata Noorhaidi melalui keterangan tertulis yang diterimaRepublika.co.id, Rabu (19/9).
Sumber :  https://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/09/20/pfd2ml384-ketidakadilan-dan-kezaliman-bisa-lahirkan-radikalisme

#muslimsejati

Kamis, 20 September 2018

Pemecah Belah Bangsa Harus Ditangani Secara Serius

Seminar nasional di Pemkot Solo, Jateng
Solo, NU Online
Komandan Densus 99 Pimpinan Pusat GP Ansor Muhammad Nuruzzaman mengingatkan beberapa persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat mesti ditangani secara serius.
“Saat ini peta politik di Indonesia memang agak memanas, ada sejumlah persoalan yang mesti segera diselesaikan, di antaranya kemunculan pihak-pihak tertentu yang mempertanyakan konsensus kebangsaan, terutama terkait dengan dasar negara Pancasila dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkapnya dalam seminar nasional Pemilu 2019, di Pendapa Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/9).
Pada acara seminar bertema Pemilu 2019, Merajut Kebhinekaan dalam Demokrasi itu Nuruzzaman mengatakan, jika hal tersebut tidak ditangani secara serius, diyakini akan menjadi sebab pemecah belah bangsa yang telah diperjuangkan para pendahulu tanpa membedakan latar masing-masing, baik agama, ras, suku, golongan dan lain-lain.
Kepada NU Online, Rabu (19/9) Nuruzzaman mengungkapan, persoalan intoleransi yang berdampak pada ketidakharmonisan hubungan antar sesama anak bangsa, merupakan persoalan yang sangat serius dan hal itu harus segera dicarikan jalan keluar oleh pemangku kepentingan.
Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan, Indonesia didirikan oleh para tokoh dari berbagai latar belakang, baik agama, ras, suku, golongan, dan lain-lain. Meski demikian, justru dari perbedaan inilah, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar,” jelasnya.
“Kita ini adalah bangsa yang berbhineka, berbeda-beda agamanya, sukunya, bahasa daerahnya, etnisnya, tetapi tetap satu sebagai bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Selain Nuruzzaman, turut hadir sebagai narasumber Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Isharyanto dan Ketua Pembina Yayasan Center For Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi. (Ajie Najmuddin/Muiz)

Seminar nasional di Pemkot Solo, Jateng
Solo, NU Online
Komandan Densus 99 Pimpinan Pusat GP Ansor Muhammad Nuruzzaman mengingatkan beberapa persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat mesti ditangani secara serius.
“Saat ini peta politik di Indonesia memang agak memanas, ada sejumlah persoalan yang mesti segera diselesaikan, di antaranya kemunculan pihak-pihak tertentu yang mempertanyakan konsensus kebangsaan, terutama terkait dengan dasar negara Pancasila dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkapnya dalam seminar nasional Pemilu 2019, di Pendapa Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/9).
Pada acara seminar bertema Pemilu 2019, Merajut Kebhinekaan dalam Demokrasi itu Nuruzzaman mengatakan, jika hal tersebut tidak ditangani secara serius, diyakini akan menjadi sebab pemecah belah bangsa yang telah diperjuangkan para pendahulu tanpa membedakan latar masing-masing, baik agama, ras, suku, golongan dan lain-lain.
Kepada NU Online, Rabu (19/9) Nuruzzaman mengungkapan, persoalan intoleransi yang berdampak pada ketidakharmonisan hubungan antar sesama anak bangsa, merupakan persoalan yang sangat serius dan hal itu harus segera dicarikan jalan keluar oleh pemangku kepentingan.
Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan, Indonesia didirikan oleh para tokoh dari berbagai latar belakang, baik agama, ras, suku, golongan, dan lain-lain. Meski demikian, justru dari perbedaan inilah, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar,” jelasnya.
“Kita ini adalah bangsa yang berbhineka, berbeda-beda agamanya, sukunya, bahasa daerahnya, etnisnya, tetapi tetap satu sebagai bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Selain Nuruzzaman, turut hadir sebagai narasumber Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Isharyanto dan Ketua Pembina Yayasan Center For Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi. (Ajie Najmuddin/Muiz)
#muslimsejati
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/95952/pemecah-belah-bangsa-harus-ditangani-secara-serius-

Rabu, 19 September 2018

Islam Agama Cinta dan Kasih Sayang Bukan Agama Radikal dan Kekerasa


ARN00120040015161_Islam_Agama_Cinta“Kita mempunyai beberapa ayat yang menjelaskan bahwa ISLAM harus disampaikan dengan benar, bukan pemaksaan. Hal ini membuktikan bahwa islam tidak menggunakan kekerasan terhadap seseorang dengan mengatakan, menerima islam atau mati”.
Salah satu embrio konflik yang mengancam kehidupan beragama dan bermasyarakat adalah adanya teori keharusan dan paksaan dalam memilih suatu agama atau mazhab tertentu. Sebuah masyarakat mungkin saja bisa hidup damai berdampingan dengan menjaga konsep ajaran-ajaran agamanya dari beberapa pengikut agama dan golongan yang bermacam-macam.
Adanya teori keharusan dan paksaan dalam suatu ajaran agama dapat mengancam keberagamaan dan toleransi terhadap golongan-golongan masyarakat tertentu. Karena ketika suatu agama solid dan kuat serta mempunyai faham dan konsepsi demikian, maka ia akan memaksa pengikut agama lainnya untuk meninggalkan keyakinan mereka. Hal ini tidak hanya mengancam problem kehidupan sosial pengikut agama-agama lainnya, bahkan mengancam nyawa seseorang dan harta-harta mereka. Sebagaimana sejarah mencatat perlakuan diskriminatif dan penderitaan golongan minoritas.
Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, tentu indonesia harus memperhatikan skala prioritas dalam berpikir dan bertindak. Para ulama dan para intelektual Islam sudah semestinya tahu betul bahwa ada sesuatu yang harus didahulukan dari pada yang lain.
Islam adalah kata kunci bagi sebuah persatuan. Setiap muslim berkewajiban untuk membela Islam, umat Islam harus sadar bahwa mazhab-mazhab yang ada, hanyalah cabang-cabang saja. Karena itu seorang muslim tidak boleh terperangkap oleh isu kemazhaban. Sunni-Syiah laksana gelombang-gelombang kecil dalam kehidupan alam semesta ini, ada induknya gelombang dan itu adalah Islam. Persatuan adalah kata kunci untuk kemajuan umat Islam, jangan hanya karena sentimen mazhab kita mengabaikan nasib sesama kaum muslimin. Agama Islam memerintahkan penganutnya untuk memberikan pembelaan. Karena menganiaya atau membunuh satu manusia sama dengan menganiaya atau membunuh seluruh manusia.

Para ulama saat ini harus melihat kemuliaan Islam, membela kemuliaan Islam. Karena itu setiap umat Islam wajib memiliki keyakinan bahwa Islam adalah agama yang mulia dan agama yang mulia adalah agama yang menolak kekerasan, menolak radikalisme, menolak tindakan intoleran. Karena kekerasan, radikalisme, terorisme sesungguhnya mencoreng wajah Rasulullah SAW, menodai wajah umat Islam dan menghancurkan Islam itu sendiri. A
Apa yang terjadi di Irak, Suriah dan beberapa negara lain di dunia terjadi pembunuhan manusia yang tak berdosa atas nama agama, menghancurkan sejumlah peninggalan sejarah umat manusia dan itu semua telah menghancurkan kemuliaan Islam.Karena itu, para ulama, para intelektual Islam, wajib memperhatikan untuk menjaga kemuliaan Islam.

Islam yang masuk ke Indonesia dan Asia tidak dengan jalan kekerasan, bukan dengan pedang tapi masuk dengan ilmu dan peradaban. Karena Islam adalah agama cinta, Islam adalah kasih sayang, Islam adalah agama yang membangun peradaban, Islam dibangun atas ilmu dan akhlak. Kemudian dia memberikan contoh bagaimana Rasulullah SAW ketika ke Madinah membawa Islam, Rasulullah SAW tidak mengusir orang Yahudi, tidak mengusir orang Nasrani, tidak mengusir orang musyrik bahkan tidak mengusir para munafik.
Rasulullah Saw menunjukkan bahwa Islam bisa hidup bersama dengan non-Muslim, bahkan Islam bisa memberikan perlindungan terhadap penganut agama lain. Sedangkan para musuh Islam atau kelompok-kelompok yang anti Islam, kini tengah berusaha untuk  menyebar kebohongan dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan, Islam adalah agama radikal, Islam adalah agama teroris. Oleh karena itu, kita wajib melawan setiap kelompok yang membawa Islam dengan cara-cara yang radikal dan cara terorisme, karena hal itu akan merusak wajah Rasulullah dan Islam.

Islam adalah agama peradaban, agama ilmu yang menghidupkan jiwa dan akal manusia. Islam membangun manusia dengan cinta dan kesucian. Cita-cita ajaran Islam yang dijadikan warisan oleh Allah untuk membangun peradaban, hanya akan mengalami kemajuan jika ditegakkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka jihad dalam Islam bukan dengan pedang tapi dengan logika. Islam memerintahkan untuk menjaga tempat-tempat ibadah, baik milik Nasrani ataupun Yahudi. 
Tugas para ulama dan cendekiawan yang paling penting adalah mewariskan Islam ini kepada generasi-generasi muda, Islam yang damai, Islam yang penuh dengan cinta  dan kasih sayang. Generasi muda Islam harus menerima Islam yang siap membangun manusia dan kemanusiaan dan tidak boleh tercemari oleh pikiran-pikiran yang bisa merusak tatanan dunia oleh pikiran takfiri radikal dan tidak toleran

Selasa, 18 September 2018

Memecah Belah Umat dan Perbedaan Pilihan Politik


Memecah Belah Umat dan Perbedaan Pilihan Politik
Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Kalimat memecah belah umat ini begitu populer di kalangan masyarakat. Beberapa kelompok yang kontra sering menggunakan kalimat ini sebagai argumen retoris untuk melegitimasi tindakan dan melakukan penolakan terhadap yang lain. Apakah saat ini umat benar-benar pecah? Atau ini sekadar slogan retoris dan politis?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas ada baiknya melihat arti kata "pecah" sebagai akar kata "perpecahan". Dalam KBBI kata "pecah" diantaranya bermakna: (1) terbelah menjadi beberapa bagian; (2) retak atau rekah; 3) bercerai berai atau tidak kompak lagi, dan beberapa arti lagi, namun tiga makna itulah yang relevan ketika digabungkan dengan kata umat.

Jika dilihat dalam perspektif dan bingkai keislaman dan keindonesiaan, sebenarnya penggunaan kata "memecah belah umat" untuk mendiskripsikan suatu tindakan dan pilihan politik yang berbeda sebenarnya tidak tepat karena tidak sesuai dengan fakta.

Jika kata "memecah belah umat" tersebut ditujukan pada umat Islam maka ini jelas tidak tepat, karena sampai detik ini umat Islam Indonedia masih bersatu dan utuh dalam bingkai NKRI. Tidak ada yang tercerai-berai, mereka masih berpegang Qur'an dan Hadits. Menjadikan ulama, kiai dan habaib sebagai panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasar Pancasila.

Dari berbagai kenyataan ini, jelas terlihat sebenarnya tidak ada perpecahan umat Islam Indonesia. Yang ada adalah perbedaan, mulai perbedaan pemahaman, pemikiran, madzhab sampai perpedaan pilihan politik terutama saat pilpres, pilkada maupun pileg.

Selagi mereka masih mengakui NKRI dan Pancasila sebagai bentuk dan dasar negara maka sebenarnya yang terjadi bukan perpecahan umat tetapi perbedaan pilihan. Dengan demikian penggunaan kata "memecah belah umat" karena perbedaan pilihan politik menjadi tidak tepat.

Jargon memecah belah umat baru menjadi tepat ketika katagori yang digunakan adalah sistem politik dan ideologi. Dalam konteks ini orang yang tidak mau menerima sistem dan ideologi yang ditawarkan akan dianggap orang lain atau kelompok lain yang perlu disingkirkan dan dimusuhi. Jika sudah demikian maka yang terjadi adalah perpecahan karena masing-masing pihak berada dalam sistem dan ideologi yang berbeda dengan garis demarkasi yang jelas.

Ketika ada sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dan NKRI dengan mengusung sistem khalifah dan ideologi fundamentalisme Islam maka mereka akan berusaha menyatukan umat dalam gerakan mereka. Persatuan umat Islam berarti bersatu dengan gerakan dan pemikiran politik mereka. Yang berbeda akan dianggap pengkhianat, pemecah belah umat yang harus dilawan dan disingkirkan.

Di sini perbedaan akan dianggap sebagai perpecahan. Meskipun secara formal dan ideologis seseorang memeluk Islam dan rajin menjalankan ibadah namun akan tetap dianggap thoghut jika tidak mau ikut pada pemahaman dan garis perjuangan mereka.

Misalnya dalam konteks pemilihan Presiden, kedua pasang kandidat yang sedang berlaga adalah sama-sama warga bangsa Indonesia dan sama-sama Muslim, maka sebenarnya tak ada perpecahan umat Islam ketika terjadi perbedaan dalam memilih dua kandidat tersebut. Siapa pun yang menang adalah bagian dari umat Islam.

Perpecahan akan muncul, katika salah satu pasangan kandidat dianggap bukan Islam atau bukan representasi dari umat Islam. Sehingga ketika ada umat Islam yang memilih pasangan tersebut dianggap telah memecah belah umat. Bahkan keberadaan pasangan tersebut dianggap memecah belah umat sekali pun dia seorang ulama. Sedangkan calon yang lain dianggap sebagai pemersatu umat karena sesuai dengan kemauan mereka.

Dari sini jelas terlihat apa dan siapa yang paling suka menggunakan kata "memecah belah umat" dan ideologi apa yang ada di baliknya, yaitu ideologi fundamentalis puritan yang selalu ingin berkuasa dan memaksakan kehendak dengan segala cara. Ideologi ini tidak mengenal adanya perbedaan karena perbedaan dianggap sama dengan perpecahan. Semua umat harus bersatu dalam kendali dan barisan mereka. Itulah yang menyebabkan kelompok ini mudah mengatasnamakan umat dan agama.

Pandangan seperti ini tidak akan muncul di kalangan ulama dan umat Islam Indonesia yang masih menerima NKRI dan Pancasila sebagai bentuk dan dasar negara. Bagi kelompok ini perbedaan suara umat dalam menentukan pilihan Presiden atau Pilkada tidak akan dianggap sebagai perpecahan umat. Mereka akan menganggap hanya perbedaan bukan perpecahan karena masih sama-sama menjadi warga negara dan masih sama-sama Islam.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa tidak akan ada perpecahan umat Islam Indonesia hanya karena perbedaan pilihan saat pilpres atau pileg. Selagi mereka masih menerima Pancasila dan NKRI sebagai dasar dan bentuk negara perbedaan sejauh apapun tidak akan menimbulkan perpecahan umat. Perpecahan umat akan muncul ketika perbedaan pilihan dianggap sebagai pengkhianat dan penghambat terjadinya pergantian sistem dan ideologi di negeri ini.


Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta

Sumber  :

http://www.nu.or.id/post/read/95851/memecah-belah-umat-dan-perbedaan-pilihan-politik

Minggu, 16 September 2018

MAKNA NASIONALISME KIRAB SATU NEGERI


Oleh: M Rikza Chamami

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) menggelar Kirab Satu Negeri bertajuk Bela Agama Bangsa Negeri pada 16 September-26 Oktober 2018. Kirab ini menjadi sebuah ekspresi GP Ansor dalam melakukan gerakan cinta agama dan cinta Indonesia.

Gerakan cinta agama selalu dilakukan oleh GP Ansor dengan menebar agama ramah penuh cinta kasih. Sebuah kesadaran tentang keragaman agama di Indonesia, maka agama dijadikan sebagai alat pemersatu negeri. Agama Islam yang dijadikan pedoman spiritual GP Ansor lahir dari ajaran Ahlussunnah wal jamaah yang dijadikan marja' diniyyah (landasan agama) Nahdlatul Ulama (NU).

Semangat cinta Indonesia selalu dihadirkan oleh GP Ansor karena ini merupakan amanat umat beragama. Persatuan dan kesatuan Indonesia tidak akan lepas dari ideologi organisasi pemuda NU. Apalagi di saat Indonesia sedang dihadapkan dengan masuknya ideologi transnasional yang berpotensi merusak akar persatuan dan kesatuan bangsa. GP Ansor hadir menjadi garda depan kekuatan civil society untuk meneriakkan "NKRI harga mati" dan "Pancasila jaya".

Kenapa harus dengan kirab? Dan kenapa GP Ansor harus menjadi garda depan persatuan bangsa? Kirab itu menjadi simbol perjalanan panjang, sama dengan semangat Rasulullah Saw berjalan panjang dari Makkah menuju Madinah pada tahun 622 Masehi—yang kemudian diabadikan oleh Sayyidina Umar bin Khattab sebagai penanda penanggalan Islam, yang disebut tahun Hijriyah.

Maka Kirab Satu Negeri ini dilakukan di bulan Muharram tahun 1440 Hijriyah—sebagai sebuah makna filosofis GP Ansor membuka kembali pintu hijrah qalbiyyah (perjalanan hati) menuju hijrah wathaniyyah (perjalanan kebangsaan). GP Ansor memiliki semangat menghijrahkan kembali Indonesia dengan berjalan ke seluruh pelosok negeri dari Sabang hingga Merauke dengan mengibarkan bendera merah putih.

Semua kader GP Ansor tidak pernah lelah mengibarkan merah putih demi menjaga marwah agama Islam dan kesatuan Indonesia. Maka ini menjadi jawaban nyata bahwa GP Ansor tegak berdiri dengan penuh ikhlas siap menjadi garda depan pemersatu bangsa.

GP Ansor tidak akan malu dicaci dan dimaki oleh warga bangsa yang memfitnah organisasi anak kandung ulama Nusantara ini. Karena sudah jelas, yang suka memfitnah GP Ansor adalah mereka yang punya agenda mengubah negara Pancasila dengan ideologi khilafah.

Maka jargon "Seng waras ojo ngalah, yang sembuh jangan mengalah" itu yang dijadikan pedoman berjuang menyatukan dan menyatakan kesatuan NKRI. Indonesia ke depan akan hancur, jika pemuda Indonesia dibuat mabuk khilafah, phobia Pancasila dan memperkosa kebenaran agama demi kekuasaan politik.

Jatidiri nasionalisme yang terkandung dari Kirab Satu Negeri ini membuat tesa baru bahwa GP Ansor telah melaksanakan amanah "darah dan nyawa telah kuberikan" dan "iman di dada patriot perkasa". Darah muda GP Ansor menjadi penyemangat dan pelecut dalam mempertahankan ideologi spiritual dan identitas kebangsaan. Iman yang ada dalam jantung agama menjadi energi menyambungkan segala berbedaan di Indonesia.

Mengakui bahwa bangsa Indonesia memiliki lebih 700 suku, lebih 1100 bahasa lokal, 34 Provinsi dan 516 kabupaten/kota adalah kewajiban. Maka dari perbedaan itu, lahir anugerah yang harus disatukan. Jangan sampai dari perbedaan itu kemudian muncul usaha jahat, membuat Indonesia berperang.

Peluang untuk menjadikan Indonesia negara kuat dan bersatu padu akan terwujud bila pemuda-pemuda Indonesia mengenang kembali sumpah pemuda. Maka Kirab Satu Negeri nanti akan diakhiri di tanggal menuju Hari Sumpah Pemuda.

Jadi Kirab Satu Negeri ini menyatukan semangat beragama karena mengawali kirab di bulan Muharram. Dan menyatakan semangat berkebangsaan sebab mengakhiri kirab di detik-detik Hari Sumpah Pemuda. Inilah bangunan nasionalisme yang dibangun oleh GP Ansor. Bahwa pesan menjaga nasionalisme ini sudah harga mati sebagaimana pesan KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU.

Dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jam'iyyah Nahdlatul Ulama ditegaskan: "Betapa banyak keluarga-keluarga besar, semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai satu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, biasanya menjalar meracuni hati mereka dan setan pun melakukan perannya. Mereka kocar kacir tak karuan. Dan rumah mereka runtuh berantakan."

Isi pesan Mbah Hasyim ini sangat luar biasa dan GP Ansor menerjemahkan pesan itu sebagai sugesti nasionalisme. Bahkan Mbah Hasyim menegaskan kembali: Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan sepanjan zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan dan penyebab kehinaan dan kenistaan.

Oleh sebab itulah, GP Ansor selalu memiliki tiga komitmen mendasar: bangkitlah bangkit putra pertiwi; tiada gentar dada ke muka; dan bela agama bangsa negeri. Bahwa GP Ansor berikhtiyar untuk bangun bergerak menjadi putra Indonesia yang khairunnas anfa'ufum linnah, bermanfaat bagi bangsa dan negara. GP Ansor selalu berusaha untuk menjadi pembela agama dari ekstrimis dan teroris, serta ikhlas menjadi benteng agama ramah dan menjaga nasionalisme.



Penulis adalah Wakil Sekretaris PW GP Ansor Jawa Tengah; Dosen UIN Walisongo.

#muslimsejati #kontranarasi

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/95810/makna-nasionalisme-kirab-satu-negeri