Jumat, 31 Agustus 2018

lima bukti pancasila sesuai syariat islam


BincangSyariah.Com – Akhir-akhir ini suara-suara untuk menegakkan syariat Islam secara keseluruhan kembali mencuat. Seruan ini disertai dengan usaha-usaha untuk menyebarkan ideologi kekhilafahan Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila dan UUD 45.
Bagi mereka, Pancasila dengan lambang burung Garudanya merupakan salah satu jenis kemusyrikan dan bahkan layak disebut thagut. Jelas pemikiran seperti ini merupakan hasil pembacaan yang nominalis, pembacaan yang fokus kepada nama, bukan semangat yang dikandung nama tersebut.
Dalam Pancasila, tidak ada sila-sila yang dapat menjerumuskan ke dalam sistem kesyirikan atau ke-thagut-an. Coba perhatikan baik-baik lima sila dalam Pancasila. Semuanya merupakan pesan-pesan yang bersesuaian dengan nilai universal Islam.
Bagi kita yang akrab dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam, al-Qaffal, Ibnu Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain, ketika membandingkan semangat nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45 dengan nilai-nilai universal Islam lewat kacamata pemikiran mereka, niscaya kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa kedua dasar negara ini sesuai dengan maqasid syariah.
Sila pertama, ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Sila ini dulu menjadi perdebatan yang hangat di kalangan pendiri bangsa. Dulu sebutannya ialah ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ atau sering juga disebut sebagai Piagam Jakarta. Namun karena ada ketidaksetujuan di sana-sini, sila ini kemudian diubah menjadi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa’.
Jika dibandingkan antara redaksi ‘ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan redaksi ‘ketuhanan dengan menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, ternyata yang lebih bernilai tauhid atau yang lebih bersemangat keesaan Tuhan ialah yang pertama. Sedangkan yang kedua, penyebutan ketuhanan, apalagi dengan t kecil, tidak menekankan makna tauhid yang sebenarnya.
Karena itu, sila yang sekarang digunakan jelas sangat bersesuaian sekali dengan semangat kemahaesaan Tuhan yang digaungkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran. Hal demikian misalnya dapat dilihat pada beberapa ayat seperti QS. An-Nisa: 36, QS. al-An’am: 151, QS. an-Nur: 55, QS. Yusuf: 40, QS. Ali Imran: 64 dan masih banyak lainnya. Semua ayat ini mengandung arti perintah selalu untuk mengesakan Tuhan. Sementara itu musuh utama kemahaesaan Tuhan dan keserbamutlakannya ialah sikap mengesakan suatu pendapat sebagai satu-satunya kebenaran dan sikap memutlakkan yang seharusnya tidak berhak dimutlakkan. Gerakan mengkafir-kafirkan orang hanya karena berpaham Pancasila jelas merupakan lawan dari semangat tauhid.

#muslimsejati #kontranarasi 

Kamis, 30 Agustus 2018

Ini penyebab seorang terpengaruh paham radikal


Mahasiswa dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Jabodetabek membacakan Deklarasi anti NII dan gerakan radikal agama lainnya di loby STIE Ahmad Dahlan Ciputat, Tangerang Selatan.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Banyak masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia memutuskan bergabung dengan kelompok radikal seperti ISIS karena ada beberapa faktor penyebab.

"Kemungkinan banyak dari orang Indonesia masuk ISIS untuk mendapatkan ekonomi yang lebih baik,"  kata pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia Smith Alhadad, Selasa (24/3).
Menurut Smith, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia semakin menurun sekarang. Hal ini berakibat orang berbondong-bondong pergi ke negara Timur Tengah yang dianggap negara kaya.
Menurutnya, kesalahan pandangan ini yang mendorong mereka bergabung dengan ISIS untuk mendapatkan ekonomi yang lebih baik. Hal ini dilihatnya dari kasus WNI yang baru tertangkap.
Indikasinya,  mereka membawa anak istri untuk turut bergabung. Jika memang tujuan utamanya jihad, ujar Smith, mereka tidak akan membawa perempuan dan anak yang masih sangat kecil.

Faktor kedua, adalah propaganda yang menyerang generasi muda lewat internet. Dijelaskannya anak muda sekarang lebih mengandalkan internet untuk mendapatkan informasi yang sangat luas.

"Mereka yang mencari informasi lewat internet sangat rentan terhadap pengaruh ISIS terutama kaum muda," ujarnya.

Ia mengatakan anak muda yang sudah semakin sedikit melihat informasi lewat media cetak atau buku-buku pelajaran. Mereka memilih mendapatkan informasi lewat internet yang dinilai ISIS sebagai kesempatan merekrut anggota lewat penyebaran video jihad dan pemahaman sesat mereka.
Lalu, dorongan dari organisasi masyarakat Islam yang salah mengarahkan pengikutnya untuk mendukung gerakan jihad Alkaidah  dan ISIS.
"Faktor dorongan dari ormas yang menyerukan untuk mengikuti kelompok Alkaidah dan mendukung jihad ISIS di Suriah dan Irak, juga tempat-tempat lain," kata Smith.
Namun, Smith mengaku diuntungkan dengan kondisi di Indonesia yang  masih banyak ulama besar berwibawa. Sehingga bisa menekan perkembangan radikalisasi Islam dengan fatwa-fatwa yang masih diperhitungkan.
#kontranarasi #muslimsejati 

Rabu, 29 Agustus 2018

PEMERINTAH INDONESIA SUDAH MENERAPKAN AJARAN ISLAM



Banyak orang bilang Indonesia itu negara kafir
Itu salah besar!!

Pemerintah Indonesia itu sudah menerapkan ajaran-ajaran islam, dimana disini kita merasakan perdamaian antara umat beragama.
Karna seperti yang Rasulullah ajarkan, bagaimana Rasulullah menyabarkan ajaran Islam dulu
Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita dengan kekerasan, singkat cerita bagaimana baiknya Rasulullah dengan orang Yahudi yang pada saat itu menjadi musuhnya, ketika Rasulullah wafat sahabat bertanya kepada istrinya Rasulullah, apakah yang selalu dikerjakan Rasulullah setiap pagi sebelum wafatnya, istrinya menjawab memberi makan seorang wanita tua Yahudi di sebrang sana, maka mendengar itu langsung lah sahabat tersebut mengerjakan seperti Rasulullah yang selalu kerjakan, sesampai disana sahabat melihat ibu tua itu buta, kemudian sahabat tersebut memberikan makan kepada sang ibu tua itu dengan menyuapinya seperti yang Rasulullah lakukan, pada saat itu sang ibu terus mengupat-mengupat Muhammad dan pada saat di suapi sahabat sang ibu tua bertanya, engaku bukanlah orang yang selalu datang kesini, siapa engkau?
Bertanyalah sahabat, bagaimana engkau bisa tau?karna orang yang selalu datang kesini sebelum menyuapkan makanan kepada saya dia mengunyah lainnya terlebih dahulu,sepontan Sahabat kaget melihat bagaimana kebaikan Rasulullah dan pada saat itu sahabat itu memberi tahu kepada ibu tua tersebut, bahwa yang selalu menyuapinya makan setiap pagi itu adalah Muhammad Rasulullah SAW yang sudah wafat,maka mendengar itu sang ibu tua langsung menangis dan berdoa memeluk agama Islam.

Maka dari itu dari cerita ini Rasulullah sudh mengajarkan kita bagaimana Islam sesungguhnya
#muslimsejati #kontranarasi

Selasa, 28 Agustus 2018

Mahasiswa baru rentan terpapar

Merdeka.com - Mahasiswa baru rentan terpapar paham radikalisme. Masuknya mahasiswa baru ke universitas negeri maupun swasta, dimulai pulalah usaha perekrutan oleh-oleh kaum radikal.
"Mahasiswa baru sangat rentan dengan penyebaran paham negatif ini," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius saat memberikan kuliah umum di hadapan lebih dari 1.700 mahasiswa baru Institut Teknologi Nasional, Bandung, seperti dilansir Antara, Minggu (26/8).
Menurut mantan Kabareskrim Polri ini, penyebaran paham radikalisme di wilayah kampus sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, banyak dosen yang juga terpapar radikalisme. Sehingga ketika mereka menjadi mentor, malah membawa anak didiknya ke paham negatif tersebut.
"Hati-hati dalam memilih mentor, hati-hati dengan dosen. Kalau kalian merasa sudah ada yang terlihat, laporkan karena bukan cuma kalian yang terpapar, dosen juga terpapar, bahkan guru besar juga terpapar," katanya dikutip dari siaran pers.
Suhardi menegaskan universitas melalui rektor bertanggung jawab terhadap apa saja yang terjadi di lingkungan kampus. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan, dalam hal ini menyebarnya radikalisme dan terorisme, rektor patut disalahkan.
"Saya sudah bilang sama Menristekdikti, peran rektor itu sangat besar, apa yang terjadi di kampus itu tanggung jawab rektor. Kalau tidak mampu mengelola kampusnya, saya minta rektornya diganti," ujarnya.
Suhardi menjelaskan bahwa banyak permintaan kepada BNPT untuk mengisi kuliah umum di berbagai universitas terkait dengan resonansi kebangsaan serta radikalisme dan terorisme. Pihaknya berupaya memenuhi semua permintaan tersebut.
"Karena penanaman benih-benih radikalisme dan perekrutan anggota itu juga saat penerimaan mahasiswa baru, saya berkepentingan. Para pejabat BNPT saya tugaskan habis untuk memberikan pencerahan," katanya pada kuliah umum yang dihadiri oleh Rektor Institut Teknologi Nasional Imam Aschuri itu.
Sumber : merdeka.com
#muslimsejati

Senin, 27 Agustus 2018

Pancasila tidak mengurangi islam kita

Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun demikian, negara Indonesia bukanlah negara Islam, akan tetapi negara yang berasas Pancasila. Melalui Pancasila beragam perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, ras, bahasa, agama, bahkan tradisi dan budaya mampu dipersatukan menjadi Bhineka Tunggal Ika. Semua tak sama, tetapi semua memiliki tujuan yang sama menjadi Indonesia.

Prof Dr Kiai Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dalam salah satu ceramahnya di Youtube menyatakan, Pancasila dan Islam sama sekali tidak bertentangan. Justru di dalam butir-butir Pancasila mengandung esensi ajaran Islam. Menurutnya Pancasila bukanlah agama, namun Pancasila tidak mengurangi keislaman umat Islam indonesia.

Kiai yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur itu mengingatkan agar umat Islam Indonesia berkomitmen untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik, yang taat pada aturan-aturan dan kesepakatan negara bangsa Indonesia. Tidak boleh lagi ada yang mempertentangkan Pancasila, Undang-undang 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Semua dasar-dasar negara itu telah disepakati oleh para pendiri bangsa, termasuk di dalamnya juga oleh para ulama.

“Pancasila bukan agama, Islam tidak mengganggu pancasila, pancasila tidak mengurangi Islam kita. Untuk itu jadi orang Islam yang baik dan menjadi warga negara yang baik, yaitu berdasarkan pancasila, UUD 1945, menghormati bhineka tunggal ika,”tegas Kiai asal Cirebon itu.[ islamramah.co]
#muslimsejati #kontranarasi 

Jumat, 24 Agustus 2018

Islam Agama cinta damai

Sebelum membahas islam sebagai agama yang damai, setiap individu hendaknya mengetahui hakikatnya sebagai manusia itu apa. Hakikat manusia adalah didalam Al Qur,an di temukan tiga kosakata yang berbeda dengan makna manusia. akan tetapi mempunyai subtansi yang berbeda.


1.       Basyar
Berhubungan dengan sifat biologis, yang berarti manusia makan dan minum.
2.       Insan
Disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 65 kali yang mana Insan berarti makhluk yang menjadi dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
3.       An Nas
Disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 240 kali yang mana Al Nas ini menunjuk kepada manusia sebagai ,akhluk kolektif.

Manusia yang paham akan hakikatnya sebagai manusia tidak akan membahayakan manusia lainnya. Baik dengan pola berpikir, berperilaku, maupun sadar dalam berinteraksi sosial. maka akan salah ketika manusia tersebut menganut ajaran sesat yang jauh dari ajaran islam sesungguhnya

Perbedaan keyakinan tidaklah menyurutkan rasa individualis seseorang atas keyakinan yang menurutnya agama yang paling benar. Keyakinan dalam beragama hendaknya menimbulkan konflik atau perceahan yang menjadikan negara Indonesia jauh dari menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme..
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan menjunjung tinggi persaudaraan meskipun berbeda keyakinan maka tidak akan adanya konflik dan perpecahan. Sehingga jadilah Indonesia negara yang damai dan tentram. Maka manusia harus sadar hakikatnya sebagai manusia apa. sehingga tidak salah langkah dalam setiap perbuatan yang dilakukan.
#muslimsejati #kontranarasi 

Rabu, 22 Agustus 2018

Kurban dan Kejahatan Terorisme

Oleh Aris Adi Leksono

Tentu kehadiran Idul Adha bukan sekadar seremonial kebahagiaan syiar Islam, tetapi mesti diambil hikmahnya karena segala sesuatu yang disyariatkan Allah SWT tidak akan sia-sia. Dengan kata lain, pasti mengandung berjuta makna dan pesan bagi kehidupan umat seluruh alam, "rabbana maa khalakta haadza baatila".

Makna mendalam dari Idul Adha atau Idul Qurban bisa digali dari dua aspek. Pertama, aspek ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT. Makna dari aspek ini adalah disyariatkannya haji dan umrah yang tidak akan terjadi di bulan lainnya. Tentu ibadah ini memiliki nilai yang istimewa dan hadapan Allah SWT. 

Sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda: "Barangsiapa berhaji ke Baitullah tanpa berkata keji, tanpa bersetubuh dan tanpa berbuat kefasikan (selama ihram), maka dia pulang (tanpa dosa) bagaikan bayi yang baru lahir." [HR. Al-Bukhari).

Kedua, aspek ibadah yang terkait dengan dimensi sosial dan kemanusiaan. Aspek ini dibuktikan dengan perintah berkurban, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat Al-Kautsar ayat 2; "maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah". 

Berkurban bernilai ibadah yang berkaitan erat dengan dimensi sosial dan kemanusiaan. Berbagai daging binatang ternak kepada sesama dan kepala orang kurang mampu yang lebih membutuhkan.

Perintah kurban sesungguhnya telah disyariatkan sejak Nabi Adam dan diperkuat kembali melalui perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail. 

Habil yang diriwayatkan sebagai peternak. Ia melakukan kurban kepada Allah dari hasil ternak terbaiknya, sebuah domba besar. Sementara Qabil diriwayatkan sebagai petani, ia melakukan kurban kepada Allah dari hasil panennya yang buruk. Maka Allah pun hanya menerima kurban dari Habil. Wal hasil domba yang dikurbankan oleh Habil diangkat ke surga. 

Pada masa yang jauh sesudahnya, di masa Nabi Ibrahim, ia diperintahkan untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail. Setelah keduanya berpasrah kepada Allah untuk melakukan perintah itu, maka Allah berfirman: "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Q.S. Ash-Shaffat: 107). Artinya Allah SWT mengganti Islmail dengan kambing gibas.

Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir, juz 7, Hal 31; "Sembelihan yang disembelih oleh Nabi Ibrahim adalah domba kurban Habil yang telah diterima". 

Apa mungkin ini terjadi? sangat mungkin, karena Allah maha tahu dan maha bijaksana. Allah SWT buktikan itu, dengan pasti membalas keikhlasan dan totalitas hambanya dalam beribadah dengan kebaikan yang berlipat ganda. Keikhlasan dan totalitas ibadah Ibrahim dan Ismail, dibalas dengan menghindarkan kemudaratan kepada keduanya. 

Lantas apa benang merah antara hakikat kurban dan kejahatan terorisme? 

Sekilas sama-sama berkurban. Menurut oknum teror, mereka juga berkurban. Mereka juga semata-mata menunjukkan totalitas dalam beribadah. Awalnya juga hampir sama, yaitu berkurban nyawa, seperti Nabi Ibrahim akan mengorbankan Ismail. 

Tetapi yang patut menjadi catatan adalah terorisme berkurban dan totalitas penghambaannya dengan tetap menyakiti orang lain, membunuh orang lain, bahkan membunuh dirinya sendiri. Sedangkan Ismail yang akan disembelih ayahnya totalitas penghambaannya tetap memperhatikan nilai kemanusiaan, dalam bentuk Allah SWT mengganti Ismail dengan domba gibas.

Dalam kalimat sederhana, dapat dikatakan "Allah SWT saja sangat memuliakan manusia, meskipun pengorbanan manusia untuk ibadah kepada-Nya, Allah SWT tetap menjunjung nilai kemanusiaan dalam bentuk menyelamatkan Ismail". 

Mafhum muwafaqah dari kalimat sederhana tersebut, mestinya manusia lebih bisa memanusiakan manusia; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, sehingga tidak akan terjadi kekerasan, pembunuhan, menyakitkan, atau bentuk teror lainnya atas nama agama atau manifestasi ideologi lainnya. 

Dalam kisah Habil dan Ibrahim, di satu sisi diingatkan untuk melaksanakan  sesuatu dengan ikhlas dan penuh totalitas bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan. Namun di sisi lain juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia—sebagaimana yang terjadi dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu—adalah hal yang diharamkan. 

Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan.

Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan karenanya mesti dijamin hak-haknya. Bukan kemudian, dengan atas nama dakwah, atas nama menegakkan ajaran Islam, nyawa manusia tidak dihargai, semisal bom bunuh diri, teror, penganiayaan dan bahkan pembunuhan.

Walhasil, pengorbanan para jihadis yang dalam lingkup terorisme adalah perbuatan yang menentang ajaran Al-Qur'an. Karena Islam dan Al-Qur'an menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. 

Maka dengan momentum Idul Adha, hendaknya para jihadis mampu bermuhasaban dengan "menyembelih" nafsu hayawaniyyah pada diri mereka untuk tidak mengorbankan diri dan orang lain. Kembali memilih jalur dakwah Islam rahmatan lil alamin seperti teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.


Penulis guru MTsN 34 Jakarta, Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama

Selasa, 21 Agustus 2018

Waspada 5 strategi licik islam radikal kuasai indonesia


Dalam riset yang diterbitkan bentuk buku berjudul Wajah Para Pembela Islam(2010), Setara Institute Jakarta menyebutkan bahwa berbagai kelompok Islam radikal telah menyusun strategi dan taktik yang lebih canggih dalam pergerakan mereka. Pernah dimuat Harian Bernas pada 5 Agustus 2016.

Ini bertujuan juga untuk menghancurkan kelompok Islam lainnya. Memahami strategi dan taktik kaum radikal ini sangat penting agar pemerintah, para ulama, organisasi,  serta masyarakat secara umum waspada akan gerakan mereka. Strategi tersebut adalah:

1. Aliansi Politik
Kelompok radikal membangun dukungan politik dengan politisi atau penguasa. Biasanya saat ada momen politik pemilu atau pilkada. Ada hubungan simbiosis mutulisme dalam aliansi ini. 

2. Cari Dukungan dari Tokoh dan Ormas Islam Moderat

Dikarenakan jumlahnya sedikit, maka kelompok intoleransi tersebut membangun hubungan dengan tokoh agama atau ormas yang moderat. Mereka mengembangkan berbagai taktik, di antaranya adalah aktif melobi tokoh dan para habib serta berbagai ormas Islam untuk berjuang bersama-sama mereka. 

3.

Advertisement

Infiltrasi MUI
Sejak tahun 2005, kelompok radikal memandang memerlukan dukungan lembaga ulama yang memiliki otoritas tertinggi di Indonesia (MUI).  Taktik yang dipakai adalah masuk menjadi pengurus ke MUI dan mendesakkan agenda radikal mereka atas nama MUI.

4. Aksi Hukum dan Aksi Jalanan

Belakangan ini, kelompok Islam radikal mengembangkan strategi advokasi yang memadukan advokasi non-litigasi (di luar pengadilan) dengan advokasi litigasi (lewat pengadilan). Mereka tampaknya sadar bahwa tanpa sokongan produk hukum, perjuangan mereka akan sulit berhasil. Namun, mereka juga sadar bahwa untuk menghasilkan sebuah produk hukum yang pro agenda
perjuangan mereka, diperlukan aksi-aksi jalanan agar bisa menekan aparat hukum dan pemerintah. 

5. Jaringan Aksi Antarkota

Sudah sejak lama kelompok Islam radikal sudah mengembangkan strateg membangun jaringan aksi. Mereka berusaha agar setiap aksinya didukung oleh kelompok lainnya. Tujuannya agar isu yang diperjuangkan menjadi lebih kuat gaungnya dan bisa menjadi agenda perjuangan bersama.
Mereka berpikir, dengan semakin bergaungnya aksi, dan makin banyaknya kelompok lain yang memperjuangkan, akan makin besar [ula kemungkinannya untuk berhasil. Oleh karena itu, kelompok ini membangun taktik jaringan aksi antarkota. 

Silakan dianalisis tulisan di atas, hubungkan saja dengan kejadian saat ini, apakah ada kesesuaian atau tidak. Fenomena kasus penistaan agama di Jakarta hanyalah salah satu tragedi politik kotor yang dimainkan oleh beberapa kelompok radikal untuk terus tetap bergema. 

Gaungnya akan terus dipelihara dengan berbagai aksi untuk mendapatkan simpati dari kelompok masyarakat Islam lainnya. Tema penistaan agama, ancaman PKI, ancaman Syiah adalah isu yang "marketable" untuk meraih simpati masyarakat.

Sumber : muslimoderat.net


#muslimsejati 

Senin, 20 Agustus 2018

Akibat Beragama Secara Harfiah



Persoalan keagamaan sering terjadi dan muncul di tengah masyarakat, karena keterpakuan orang beragama pada teks. Misalnya, baru-baru ini, Evie Evendi Gapleh yang menyatakan Nabi Muhammad saw., sebagai orang yang sesat, akibat secara serampangan dan tanpa ilmu mengartikan secara harfiah dâllan dalam QS. Al-Dhuha/93:7.
Sebelumnya, Firanda Andirja, menyatakan kedua orang tua Rasulullah berada di dalam neraka, sebab mengartikan secara harfiah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim (baik riwayat Anas bin Malik maupun Abu Hurayrah). Sebelumnya lagi, pernyataan artis Teuku Wisnu yang mengundang perselisihan terkait sampai tidaknya bacaan Alfatihah untuk orang yang sudah wafat. Kasus lainnya, pemelintiran ceramah KH. Said Agil Siraj terkait masalah kesunahan jenggot dan jubah. Dan banyak lagi, kasus di mana orang salah memahami karena terpaku pada makna harfiah ayat atau hadis.
Bagi sebagian orang, terikat pada teks dalam hal keberagamaan adalah berpegang kepada kemurnian ajaran agama itu sendiri, karenanya benar dan mulia. Mereka tidak memperdulikan bahwa ada sejarah yang melatarbelakangi kelahiran dan pembuatan teks itu. Bagi mereka: teks adalah sumber kesegalaan. Mereka yang menggunakan konteks dan nalar semata dianggap telah mengkhianati kalam suci itu. Bahayanya, sikap harfiah dalam memahami teks agama dapat menimbulkan ragam permasalahan di masyarakat.
Kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri, misalnya, sangat mudah dan senang menuduh kelompok Islam lainnya sebagai pembuat bidah. Imbalan bagi pelaku sesat itu adalah neraka. Tidak jarang sifat kafir sering disematkan kepada siapapun yang pandangan keberagamaannya lain dengan mereka. Perilaku tak-bersahabat itu muncul dari keyakinan teguh pada satu atau beberapa teks dari Alquran atau Hadis. Padahal, kelompok yang sering dituduh sesat pun mengambil rujukan dan dasarnya dari Alquran dan Hadis yang sama.
Muara masalahnya adalah pada teks. Teks di dalam kajian ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) juga dalam ilmu-ilmu sosial adalah sangat penting. Para peneliti dan sarjana selalu berhubungan dengan teks. Sejarawan, agamawan, pengkaji film, kritikus sastra, kesusasteraan, kebahasaan, kearsipan, arkeologi, sosiologi, dan antropologi selalu bekerja dengan teks. Ilmu tentang kajian naskah dan teks itu, atau Filologi, (atau kajian teks lainnya, tekstologi, atau analisis wacana/discourse analyse, dll.) amat bermanfaat dalam kajian Islam.
Khazanah klasik Islam dapat terbaca seperti sekarang berkat kerja keras para filolog. Dengan bantuan kajian naskah, akan membentuk dan memberikan hujjah yang sangat kuat. Sebab, semua hujjah berdasarkan teks yang berasal dari masa lampau, yaitu dari masa dan waktu yang menjadi inti kajian tersebut.
Kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri berpaku pada teks, tanpa melihat konteks sejarah teks tersebut, proses pembuatan teks, latar belakang, dan keadaan yang mengitari teks itu, dan lainnya. Filologi mendorong peneliti dan para sarjana untuk melihat teks dari berbagai sudut pandang. Ia sangat bermanfaat untuk melihat teks-teks keagamaan dari segala arah keilmuan. Filologi mendekati kepada teks dan maksud yang asli dari penulis atau pembuatnya. Namun, tidak bermaksud memberikan penafsiran tunggal.
Kajian atas naskah-naskah teks keagamaan amat berguna untuk melihat bahwa produksi teks tidak dihasilkan dari ruang hampa. Teks berkait-kelindan dengan lingkungan, bahasa, budaya, dan rasa yang berada dan melingkupinya. Dalam hal ini, Alquran yang merupakan kalam suci tidak luput dari proses kebudayaan dan kesejarahan. Latar belakang masyarakat, keadaan politik, sifat dan sikap kebahasaan, perasaan dan prilaku orang, dan semua aspek kemanusiaan dan kealaman memengaruhi pembentukan Alquran itu, apalagi hadis dan sunah.
Ambil contoh soal memakai jubah dan memanjangkan jenggot. Bagi yang melulu terpaku pada teks, maka sabda dan laku Rasulullah saw. tentang jubah dan jenggot adalah hal yang harus diikuti secara mutlak. Akibatnya, bagi yang tidak memakai jubah dan tidak memanjangkan atau tidak mempunyai jenggot, maka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi, dan karenanya bukan umat Islam yang baik. Alasannya sederhana: tidak mengikuti apa yang telah Rasulullah contohkan.
Namun, bagi yang memahami keadaan dan latar-belakang hadis dan sunah tersebut, maka sikap dan laku Rasulullah yang terkait dengan pribadinya bukan hal yang wajib mutlak diikuti., sebab terkait dengan pribadi (basyar) Nabi dan kebudayaan Semenanjung Arab saat itu. Ini soal menarik tentang apa yang universal/berlaku umum di manapun dan mana yang partikular/khusus dalam Islam, tentang mana yang global dan mana yang tempatan/lokal di dalam Islam: ini salah satu kegalauan Shahab Ahmed (w. 2015) hingga ia terdorong menulis What Is Islam?, salah satu buku yang amat penting dalam kesarjanaan Islam saat ini.
Apa yang universal dalam Islam adalah apa yang tercakup dalam kalimat Islam rahmatan lilalamin. Dengan kata lain, hal yang harus diikuti umat Islam adalah hal-hal yang bernilai universal, artinya berlaku umum di manapun dan kepada siapapun: menghormati orang lain, mengasihi mereka yang duafa dan mustadafin, menjaga alam dan merawat lingkungan-hutan dan mencegah perusakan hutan, menjaga laut dan sungai dari sampah dan limbah, berlaku jujur, tidak mencuri, membunuh, memperkosa, dll.
Nah, sikap mencoba memahami dan membedakan mana yang masuk dalam ranah pribadi Rasulullah dan mana yang masuk dalam ranah kesunahan, sesungguhnya didukung penuh dan telah diajarkan oleh keilmuan amat penting dalam Islam, yaitu Usul Fikih atau Filsafat Hukum Islam. Kita bisa ambil satu kitab Usul Fikih kontemporer, seperti karya Muhammad Abu Zahrah (w. 1974): Ushûl al-Fiqh. Dengan amat gamblang, Abu Zahrah menjelaskan bahwa apa yang terkait dengan pribadi dan kebiasaan Nabi Muhammad dan itu bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat Arab bukanlah sunah yang harus diikuti, seperti jubah dan jenggot. Dalam kajian usul fikih, hal-hal yang bisa jadi kita anggap melampaui teks dan tidak islami, ternyata merupakan pembahasan yang lumrah.
Bagi yang berpandangan kurang-terbuka akan berpendapat bahwa landasan dalam Islam adalah hanya Alquran dan Hadis (dikenal sebagai gerakan pasca-mazhab). Oleh karena itu, usul fikih yang mengandalkan kemampuan kajian teks yang kuat dianggap tidak bersumber dalam Islam, dan akibatnya harus dikesampingkan. Tentulah, bagi yang punya pandangan seperti ini hanya memperlihatkan bahwa ia tengah menolak ilmu pengetahuan.
Justru, saat para fukaha (ahli hukum Islam) mencoba memahami Alquran dan Hadis, mereka menemukan metodologi yang bisa digunakan oleh fukaha setelah mereka. Bapak pendiri Usul Fikih ini adalah Imam Syafii, pendiri mazhab Syafii yang menjadi anutan Muslim se-Asia Tenggara.
Keilmuan di dalam Islam sangat mengandalkan kemampuan mengkaji teks. Filologi atau metodologi dan pendekatan lainnya atas teks akan menjadi alat bantu yang amat baik bagi para sarjana/ustad dalam memahami teks-teks keislaman. Memang, menjadi ahli agama itu harus orang yang sudah melalui pendidikan, seperti di pesantren, sehingga ia mampu memahami teks keagamaan.
Sayangnya, sekarang, siapapun bisa dan ‘mendadak jadi ahli agama’ berkat mesin pencari ‘google’ atau mengaku langsung berguru kepada Rasulullah dan para sahabat (astagfirullah, sombong sekali ya)….., kemudian mereka para “ustad karbitan” ini berceramah di hadapan khalayak ramai dan memberikan informasi yang salah. Jadilah mereka dâllun wa mudillun, tersesat dan menyesatkan (umat). Wa al-iyâzu billâhi…
Belajar agama tanpa guru, gurunya adalah setan, kata Imam Ali Ibn Abi Thalib kw. Belajar mengharuskan: waktu yang lama, kesabaran, ketekunan, kepintaran, dan pengabdian pada gurunya (kyai, ustad…), demikian nasehat Imam Waqi’ kepada muridnya Imam Syafii.
Jika tidak belajar agama dengan benar kepada guru yang benar dalam waktu yang lama, maka terjadilah seperti yang kita saksikan sekarang. Menelan bulat-bulat dan mengambil satu teks suci agama secara harfiah akan berdampak fatal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Terlebih, jika hal ini dilakukan oleh para muallaf, mantan-narapidana yang tobat, atau santri post-islamisme, yang menjadi ‘ustad/ulama’ dadakan. wallahu a’lam
#muslimsejati 

Rabu, 15 Agustus 2018

Waspadai Penyebarluasan Radikalisme Dibungkus Kajian Keagamaan


Karimun, NU Online
BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kepulauan Riau (Kepri), Rabu (15/8/2018), menggelar kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme di Kabupaten Karimun. Selain memberikan pembekalan kepada penyuluh agama, beberapa tips untuk mewaspadai penyebarluasan radikalisme juga disampaikan. 

Sekretaris FKPT Kepri, Indra Syah Putra, dalam sambutan pembukaan mengatakan, merebaknya radikalisme di Indonesia diawali dengan dibukanya kran kebebasan pascareformasi,  yang ditandai dengan munculnya sejumlah organisasi kemasyarakatan yang menunjukkan pandangan dan sikap persetujuan terhadap radikalisme. Kelompok itu salah satu cirinya adanya mengenalkan istilah-istilah bernuansa arab dalam aktifitas keagamaannya, di antaranya dawrah, mabit, halaqah dan sejenisnya. 

"Satu sisi kegiatan itu bagus, membuka kesempatan masyarakat memperdalam akidah. Tapi sisi buruknya tak jarang yang menjadi jamaah memiliki kecederungan intoleran," kata Indra. 

Pada tingkatan tertentu, lanjut Indra, jamaah kajian keagaamaan sejenis dawrah, halaqah, mabit dan sejenisnya telah menunjukkan pandangan dan sikap yang menyetujui sikap radikal dalam beragama. "Beberapa di antaranya menyetujui aksi terorisme," tambahnya.

Dalam sambutannya tak lupa Indra mengingatkan peserta bahwa perang melawan radikalisme dan terorisme adalah tugas bersama. Aparat di pemerintahan dan keamanan tak akan sanggup melawan penyebarluasan radikalisme sendiri. 

"Bentengi diri dari radikalisme dan terorisme dengan memperluas wawasan dan pergaulan, datangi kajian-kajian keagamaan yang moderat. Kemampuan kita membentengi diri akan membantu meredam penyebarluasan radikalisme," pungkas Indra. 

Kepala Seksi Partisipasi Masyarakat Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Letkol (Laut) Setyo Pranowo, dalam sambutan mewakili Direktur Pencegahan, mengatakan kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme merupakan  upaya peningkatan kewaspadaan terhadap radikalisme dan terorisme. Dia mendorong penyuluh agama sebagai juru penerangan di masyarakat untuk juga menyebarluaskan ajakan hidup damai. 

"Jika ada masyarakat yang memiliki pandangan menyimpang, condong bersikap radikal dan menyetujui terorisme, dekati dan nasehati. Kami yakin bapak dan ibu penyuluh agama memiliki kemampuan melakukan itu," kata Setyo.

Terkait penguatan kapasitas yang dilakukan,   masih kata Setyo, BNPT dan FKPT ingin memberikan pembekalan kepada penyuluh agama agar aktifitasnya membantu meredam penyebarluasan radikalisme memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar. "Mungkin selama ini bapak dan ibu lebih banyak berdakwah secara lisan. Di sini kami ingin sampaikan, dakwah bisa dilakukan lewat tulisan dan kami membekali, mendorong, sekaligus mengundang bapak ibu untuk berkarya. Nanti karya terbaik akan dilombakan dan mendapatkan hadiah," pungkasnya. 

Selain dilaksanakan di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme sudah dan akan diselenggarakan di 32 provinsi se-Indonesia sepanjang tahun 2018. (shk/Abdullah Alawi) 
#muslimsejati  #kontranarasi

Imam Besar Masjidil Haram: Terorisme Tak Punya Agama dan Budaya


Jakarta, NU Online
Imam Besar Masjidil Haram di Makkah yang juga menjadi Imam Besar Masjid Nabawi di Madinah, Syekh Abdurrahman As-Sudais menekankan bahwa ideologi dan aksi terorisme bertentangan dengan ajaran Islam yang mengedepankan kasih sayang dan toleransi.

"Terorisme tidak memiliki agama dan budaya. Namun, ada banyak pihak yang berusaha untuk mengubah citra Islam," kata Syekh As-Sudais dalam pernyataan melalui layanan pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa (14/8).

Syekh melanjutkan bahwa Pemerintah Kerajaan Arab Saudi senantiasa menyampaikan pesan-pesan Islam berdasarkan belas kasihan, toleransi dan koeksistensi, serta mendukung moderasi dan menyoroti citra Muslim yang beradab guna menghalau tuduhan terorisme atas Islam.

Kepada sejumlah wartawan dari beberapa negara yang menemuinya beberapa waktu lalu, Syekh As-Sudais mengatakan media massa memiliki tanggung jawab besar yang mewakili denyut nadi seluruh Umat Islam di dunia.

Dia juga menekankan bahwa wartawan memiliki kemampuan mengubah opini publik tentang Islam. "Allah akan meminta pertanggungjawaban Anda pada Hari Kebangkitan untuk setiap kata yang Anda tulis," katanya.

Syekh menegaskan bahwa Tanah Suci adalah tempat ibadah, bukan untuk mengampanyekan slogan politik dan sekte-sekte agama.

"Kerajaan Arab Saudi dipercaya oleh Allah untuk menjaga dua Masjid Suci sehingga kerajaan sangat peduli akan keamanan dan kedamaian di dalamnya," kata Syekh As-Sudais.

Syekh menekankan bahwa dirinya ingin terus mengurus urusan Umat Islam dan berusaha untuk menguatkan hubungan dan solidaritas di antara masyarakat di negari-negeri Islam.

Syekh As-Sudais dijadwalkan menyampaikan khutbah Arafah saat pelaksanaan musim haji 1439 Hijriah/2018 Masehi dan akan disiarkan dalam lima bahasa, yakni Melayu (Bahasa Indonesia), Urdu, Persia, Prancis, dan Inggris melalui lima frekuensi radio.

Penerjemahan khutbah Arafah yang merupakan proyek Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang bertujuan agar jamaah haji dan Muslim di seluruh dunia dapat mendengarkan dan memahami isi khutbah Arafah yang dibawakan dalam Bahasa Arab.

Pemerintah Arab Saudi telah mengumumkan bahwa Idul Adha 1439 Hijriyah akan jatuh pada 21 Agustus 2018. Dengan demikian, pelaksaanaan ibadah haji akan dimulai pada 19 Agustus (8 Dzulhijjah) hingga 23 Agustus 2018 (12 Dzulhijjah). (Antara/Fathon
#muslimsejati

Selasa, 14 Agustus 2018

*Indonesia ini Kurang Islami Apa ?*


```Selalu saja ada ustaz yang menjelek-jelekkan negara dan pemerintah. Pemerintah digambarkan anti Islam, menghalangi dakwah, meminggirkan umat Islam, kata mereka.
Indonesia punya Kementerian Agama. Anggaran Kemenag tahun 2018 ini 62 T lebih, nomor 3 terbesar setelah Kementerian PUPR (yang tugasnya membangun infrastruktur) dan Kementerian Pertahanan. Anggaran itu lebih tinggi daripada anggaran Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan.
Pegawai Kemenag itu umumnya orang Islam. Mungkin ada 90% karyawannya yang muslim, mulai dari menteri sampai ke tukang sapu. Kantornya melayani sampai ke tingkat kecamatan. KUA itu tidak disebut kantor untuk urusan umat Islam. Tapi tidak ada umat agama lain yang dilayani di situ. Itu khusus untuk umat Islam.
Setiap tahun ada sekitar 200 ribu umat Islam naik haji. Segenap keperluan mereka dilayani oleh pemerintah. Sejak mulai pendaftaran, persiapan, berangkat, selama di tanah suci, sampai pulang. Ada ribuan pegawai pemerintah dikerahkan untuk melayani.
Adakah umat lain yang keperluan ziarahnya dilayani penuh oleh pemerintah seperti pelayanan yang diterima umat Islam?
Indonesia punya pemgadilan agama. Yang dilayani di situ hanya umat Isla. Lagi-lagi, meski tidak menyebut Islam di belakang kata agama, lembaga ini khusus melayani umat Islam. Agama dalam hal ini nyaris identik dengan Islam.
Itu masih ditambah lagi dengan sejumlah lembaga yang dibuat pemerintah seperti Lembaga Amil Zakat.
Pemerintah menghalangi dakwah Islam? Di Indonesia ini ada sistem pendidikan kembar. Selain sekolah umum ada sekolah agama, yang lagi-lagi hampir 100% diperuntukkan bagi umat Islam. Mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Itu semua sekolah negeri, yang dibiayai pemerintah.
Pemerintah selalu mendukung berbagai organisasi Islam, dari yang raksasa sampai yang kecil-kecil. NU dan Muhammadiyah itu sudah menjadi mitra pemerintah sejak republik ini berdiri.
Jadi, atas dasar apa mengatakan pemerintah anti dakwah? Atas dasar kejengkelan segelintir ustaz yang merasa aktivitasnya terganggu. Kenapa? Cobalah lihat isi ceramahnya, Anda akan segera paham.
Dakwah itu membangun, memperbaiki umat. Mengarahkan umat ke arah yang benar. Bagaimana yang benar itu? Umat menjadi lebih taat ibadah, hidup lebih sejahtera, rukun dengan sesama maupun dengan umat lain.
Kalau orang berdakwah seperti itu, adakah yang akan mengusiknya? Tidak. Lagipula, siapa yang mau mengusik? Pemerintah dan aparat itu sebagian besarnya adalah umat Islam juga. Mereka butuh dakwah. Tidak mungkin mereka menghalangi.
Lalu yang diusik itu siapa dan kenapa? Yang diusik itu bukan pendakwah, tapi penghasut. Mereka mengajarkan permusuhan. Tidak hanya kepada umat lain, kepada sesama umat Islam pun, kalau berbeda dengan mereka, akan dimusuhi. Ini dakwah apa? Ini bukan dakwah Islam.
Ini sebenarnya politik, bukan dakwah. Ini gerakan orang-orang yang ingin berkuasa, dengan memperalat agama. Dalil-dalil dimainkan untuk kepentingan mereka.
Bahkan berpolitik pun tidak dilarang. Silakan. Yang dilarang dan dikenai tindakan hukum adalah memecah belah, menganjurkan permusuhan. Hukum negara melarang tindakan itu. Ajaran agama pun tidak membenarkannya.
Jadi, tidak ada larangan dakwah. Tidak ada pula kriminalisasi ulama. Yang ada adalah penindakan terhadap warga negara yang diduga melanggar hukum. Kebetulan saja orang-orang itu berstatus ulama. Ada ribuan orang lain berstatus ulama, yang bebas melakukan dakwah. Mereka tidak diusik, karena memang tidak melanggar hukum.
Yang terus menerus mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah anti Islam adalah orang yang tidak punya niat membangun Indonesia. Niatnya meruntuhkan.```
#muslimsejati 

Senin, 13 Agustus 2018

Hadapi Gerakan Intoleran Tak Bisa dengan Kekerasan

Hadapi Gerakan Intoleran Tak Bisa dengan Kekerasan

Semangat masyarakat tidak boleh luntur untuk memerangi gerakan intoleran. Sebab, diam-diam kelompok intoleran terus bergerak menebar propaganda di tengah-tengah masyarakat.

Hal tersebut diungkapkan juru bicara Asosiasi Para Gus (Asparagus) Kabupaten Jember, Jawa Timur, H Mudhar kepada NU Online di Jember, Ahad (12/8).

Menurutnya, sepak terjang gerakan intoleran kian mengkhawatirkan. Mereka menyusup di berbagai lini kehidupan, termasuk di perguruan tinggi. Targetnya adalah menanamkan ideologi yang 'berbeda' dari  kultur masyarakat Indonesia pada umumnya. 

“Kalau itu dibiarkan maka akan terjadi konflik horisonal, yang ujung-ujungnya akan menggerus keutuhan NKRI,” tukasnya.

Ia mengaku ngeri membayangkan seandainya gerakan intoleran menjadi kekuatan besar di tanah air. Sebab, saat ini saja ketika mereka masih menjadi kekuatan minoritas, sepak terjangnya sudah begitu rupa dan cenderung menghantam kemapanan yang telah ada. “Karena itu kita wajib waspada,” lanjutnya.

Walaupun demikian,  H Mudhar berharap agar tidak ada tindakan yang kontra produktif dalam melawan gerakan intoleransi. Tidak boleh ada kekerasan. Sebab, kekuatan  ideologi tidak bisa dikalahkan dengan kekerasan. Sebab, tempatnya ideologi adalah di hati. 

“Salah satu  caranya melawan adalah memperkuat kultur Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya sambil menambahkan bahwa beberapa hari lalu, Aspargus dari berbagai daerah telah berkumpul di sebuah pesantren di Jember untuk menyikapi gerakan intoleran. (Aryudi Abdul Razaq/Kendi Setiawan)

Sumber : www.nu.or.id
#muslimsejati

Jumat, 10 Agustus 2018

Propaganda Kelompok Pendukung Khilafah

Propaganda Kelompok Pendukung Khilafah




Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara menjelaskan, setidaknya ada tiga narasi yang terus dikampanyekan oleh para pengusung khilafah. Pertama, khilafah Islam diyakini sebagai kepemimpinan yang estafet dari khulafaur rasyidin hingga Turki Usmani. Para pengusung khilafah menyakini bahwa perpindahan kekuasaan dari suatu khilafah dengan yang lainnya berjalan mulus.
“Sebetulnya dari satu rezim ke rezim lain itu berdarah-darah,” kata kata Robi dalam sebuah diskusi di Sekretariat Islam Nusantara (INC), Tangerang Selatan, Sabtu (14/7).
Misalnya, perpindahan kekuasaan Islam dari khilafah Umayyah ke Abbasiyah. Ada banyak yang mengalir dalam perebutan itu. Begitu pun dengan khilafah-khilafah setelahnya. Namun demikian, Robi menegaskan bahwa pada saat itu memang seperti itu mekanisme perebutan kekuasaannya.
“Bukan Islamnya kejam, tapi trennya seperti itu. Itu sesama Muslim, tidak sesederhana itu khilafah,” tegasnya.
Kedua, khilafah adalah produk syariah. Para pengusung khilafah meyakini dan menyebarkan bahwa khilafah adalah produk syariah sehingga seluruh umat Islam wajib mewujudkannya. Mereka menggunakan agama sebagai tameng. Jika ada yang menyerang khilafah, maka pengusung khilafah tidak segan-segan menuduhnya telah menyerang Islam.
“Ketiga, khilafah akan membawa kejayaan umat Islam di dunia. Apapun persoalannya, khilafah solusinya,” jelas Dosen UIN Jakarta ini.
Robi berpendapat, adalah mustahil mengoordinasikan seluruh umat Islam di seluruh dunia –yang jumlahnya milyaran- dengan satu komando kekuasaan dalam bidang politik.
“Inilah kira-kira yang menyebabkan Indonesia tidak membutuhkan khilafah,” tukasnya. (Muchlisho)