Senin, 31 Desember 2018

MANFAAT DARI TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA


Manusia memang diciptakan sebagai makluk individu yang juga merupakan sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial, manusia juga diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu / manusia lain dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Dalam menjalin kehidupan sosial bermasyarakat, seorang individu juga akan dihadapkan dengan suatu kelompok – kelompok yang berbeda dengan dirinya. Salah satu perbedaan itu adalah kepercayaan / agama dan juga suku.
Dalam menjalin kehidupan sosial, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam dinamika kehidupan akan ada suatu gesekan  yang terjadi antar kelompok masyarakat. Baik yang berkaitan dengan agama atau juga suku. Dalam rangka menjalin persatuan dan kesatuan dalam masyarakat, maka akan diperlukan sikap saling menghormati dan juga melindungi sehinga tidak terjadi gesekan – gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dan juga peperangan.
toleransi antar umat beragama
Hal ini juga tertera dalam Undang – Undang Dasar 1945 yang berisi bahwa negara juga menjamin kemerdekaan tiap -tiap warganya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing – masing. Hal ini juga menegaskan bahwa kita sebagai warga negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara lingkungan kita sehingga keutuhan dan kerukunan negara dan juga menjunjung tinggi sikap toleransi antara suku dan umat beragama.
Perwujudan toleransi dalam kehidupan sehari – hari contohnya seperti kita memahami setiap perbedaan, sikap saling tolong menolong antara umat beragama dan juga tidak membeda bedakan suku, ras, agama serta budaya yang melekat dalam diri orang tersebut.
Jika dilihat dari segi manfaat, toleransi beragama memang banyak sekali jika kita senantiasa menerapkannya. Akan tetapi dalam melakukannya kita harus dengan sewajarnya dan tidak bisa berlebihan karena hal itu akan menyinggung perasaan orang lain dan justru berdampak merugikan terhadap diri kita sendiri nantinya.

Minggu, 30 Desember 2018

Kenapa Allah Menciptakan Kita Berbangsa Bangsa dan Bersuku Suku?



berbangsa-bangsa

Di dunia ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah banyak menciptakan dan menjadi umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, bisa dikatakan jutaan suku-suku berbeda di dunia ini dengan beratus-ratus dari bangsa yang berbeda. Ada Amerika Serikat, India, Inggris, Prancis, Australia, Mesir, Malaysia, Jepang, Indonesia dan lain sebagainya. Sedangkan dari suku tidak kalah banyaknya, di Indonesia saja ada banyak seperti Jawa, Betawi, Melayu, Batak, Dayak, Padang dan masih banyak yang lainnya. Lalu apa sebenarnya tujuan Allah menciptakan manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku? Pasti ada alasan dibalik itu semuanya.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujuraat : 13)
Jadi alasannya adalah agar kita saling mengenal satu sama lain, agar mendapatkan pengetahuan, saling menghargai dan menghormati, bisa bekerja sama, saling tolong-menolong dan banyak hal lainnya. Itu semua merupakan karunia dan rahmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diberikan-Nya kepada kita semua. Siapakah yang dapat menciptakan itu semua kalau tidak Allah Tabaraka Wa Ta’ala?

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (Q.S. Az-Zumar : 62)

Maka pantaslah jika Allah mengulang-ulang firman-Nya yang berikut ini.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar-Rahmaan)

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan semua karunia ini?

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (Q.S. Al-Baqarah : 152)

Kenapa kita harus mensyukuri semua nikmat-Nya? Mari kita perhatikan sejenak firman Allah Ta’ala berikut ini.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S. Ibrahim : 7)

Wahai saudara-saudaraku, bersyukurlah adalah kewajiban setiap makhluk-makhluk-Nya, karena itu tanda bahwa kita menyembah-Nya, mengabdi dan patuh kepada-Nya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita dan melindungi kita dari adzab-Nya yang amat pedih itu.
Sumber : gresik.co
#muslimsejati

Sabtu, 29 Desember 2018

Islam Damai dan Rahmatan lil Alamin

Islam Damai dan Rahmatan lil Alamin

Secara harfiah, islam berarti ‘damai’, ‘selamat’, ‘aman’, atau ‘tenteram’, (Lihat Ismail bin Hammad Al-Jauhari, As-Shihhah: Tajul Lughah Washihahul Arabiyyah, [Beirut, Darul Ilmi: 1990 M], cetakan keempat, halaman 1951) yang semua itu mengacu pada situasi yang sangat didambakan setiap orang.

Situasi ini tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh semua umat manusia di mana pun, bahkan hewan dan tumbuhan sekalipun. Kemudian, secara konseptual, Islam merupakan agama yang mengajarkan monoteisme tauhid yang harus diwujudkan dalam bentuk kepasrahan diri dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya sebagai utusan pembawa rahmah guna meraih kebahagiaan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat (Surat Al-Baqarah ayat 201).

Namun, kebahagiaan itu tidak akan pernah terwujud tanpa kedamaian dan kasih sayang di antara sesama.Intinya, dengan membawa misi damai dan kasih sayang itulah risalah Islam diturunkan ke seluruh alam (Surat Al-Anbiya ayat 107).

Secara tekstual, Al-Qur’an juga mengajarkan kepada kita agar senantiasa mengamalkan nilai-nilai kedamaian secara total. Bahkan, salah satu ayatnya menyebutkan, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara utuh,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).

Jika kita mengacu pada Islam yang berarti ‘damai’, maka sesungguhnya ayat itu ingin mengatakan, “Masuklah kalian ke dalam kedamaian secara total.” Totalitas dalam pengertian, tidak saja memberikan kedamaian kepada orang yang sekelompok, seormas, atau seakidah dengan kita, tetapi kepada sesama manusia yang berlainan keyakinan, hatta kepada sesama ciptaan-Nya.

Sementara Islam dalam pengertian ‘selamat’ dapat kita baca dalam sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Muslim sejati adalah yang komitmen sepenuh hati menjaga keselamatan saudaranya. (Lihat selengkapnya hadits tersebut yang menyebutkan, “Muslim sejati adalah Muslim yang orang Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya,”  (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya, orang yang yang paling buruk adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru ditakuti keburukannya. (Dalam hadits dimaksud, dikatakan, “Orang yang terburuk di antara kalian adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan justru orang lain tidak bisa dirasa aman dari keburukannya,” (HR Tirmidzi). Sungguh sebuah ajaran luhur dan mulia yang telah diajarkan Rasulullah SAW kepada kita.

Ajaran Islam Sarat dengan Damai 
Selama ini, damai masih dipahami sebagai hidup rukun berdampingan antara dua pihak atau dua kekuatan besar yang semula berseteru. Padahal, nyatanya tidaklah demikian. Dalam Islam, jiwa dan individu  umat pun diciptakan sedemikian rupa agar damai dan tenteram, dan keduanya merupakan situasi mendasar.

Ketika beraktivitas atau melaksanakan ritual ibadah, kita kerap diperintah melakukannya dengan cara tenang dan damai. Bahkan, dalam beberapa hal, tujuan ritual itu sendiri adalah ketenangan dan kedamaian. 

Dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta (hablum minallah), misalnyakita diperintahkan berzikir mengingat Allah, yang salah satu tujuannya adalah menjalin kedekatan (taqarrub) sekaligus menciptakan jiwa yang damai dan tenteram(Surat Ar-Ra’du ayat 28).

Kemudian, ketika menunaikan shalat, kita diwajibkan melakukannya dengan tuma’ninah alias tenang dan tidak tergesa-gesa.Di akhir shalat,kita diharuskan mengucap salam. Setelahnya, kita dianjurkan berdoa, di antara doa yang kita panjatkan adalah doa selamat dan doa khusus kedamaian, allahumma antassalam waminkassalam.... Dan masih banyak lagi tradisi yang tidak dapat dilepaskan dari semangat perdamaian dan keselamatan.

Bahkan, kelak di akhirat, yang dipanggil oleh Yang Maha Kuasa untuk bergabung dengan kelompok hamba-hamba-Nya dan masuk ke dalam surga-Nya adalah jiwa-jiwa yang damai dan tenang (Surat Al-Fajr ayat 27-30).

Selanjutnya, dalam bermuamalah dengan sesama (hablum minannas), dua insan laki-laki dan perempuan disatukan dalam tali pernikahan yang bertujuan untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah,wa rahmah, alias keluarga yang penuh ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang (Surat Ar-Rum ayat 21).

Lantas, sesama Muslim diwajibkan membangun persaudaraan agar terbangun kedekatan, kekuatan, dan keharmonisan (Surat Al-Hujurat ayat 10). Dan dalam lingkup lebih luas, kita juga diajarkan saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain agar tercipta kerukunan di antara sesama umat beragama (Surat Al-Kafirun ayat 6).

Masih dalam rangka hablum minnas, Islam juga mengajarkan kepada kita menebarkan salam alias as-salamu ‘alaikum, baik sewaktu bertamu, bertegur sapa, berjabat tangan, maupun mengawali dan mengakhiri pembicaraan formal, setidaknya kepada sesama Muslim.

Pentingnya menebarkan salam di antara sesama Muslim bukan tanpa dasar dalil yang jelas. Hal itu dapat kita lihat dalam salah satu hadits, “Demi Dzat Yang menggenggam jiwaku, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang membuat kalian jadi saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian,” (HR Muslim).

Dalam hadits lain, disebutkan, “Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Zat Yang Maha Penyayang. Karenanya, sayangilah siapa pun yang ada di muka bumi, niscaya akan disayang oleh yang di langit,” (HR Abu Dawud).

Keselamatan adalah sebuah tradisi yang telah berlangsung lama dalam tubuh umat Muslim. Namun, mengapa tradisi itu seolah sirna dari semangat dan substansi yang sesungguhnya, yaitu sebuah doa dan pengharapan yang terpanjatkan untuk kedamaian dan keselamatan orang-orang yang disapa.

Berbicara ajaran, rujukannya tentu Al-Quran dan Sunnah. Dalam Al-Quran sendiri, kata salam atau kata salm,dengan segala derivasinya, disebutkan tidak kurang dari 120 kali, (Lihat Fathurrahman Li Thalibil Quran, [Semarang, CV Diponegoro: tt], halaman 218) yang salah satunya menjadi asma Allah, As-Salam yang berarti zat pemberi keselamatan dan kedamaian.

Ini menunjukkan, Allah adalah sumber kedamaian dan keselamatan, yang mengharuskan para hamba-Nya meraih keduanya. Alhasil, berlandaskan keimanan dan kasih sayang, Islam begitu menekankan pentingnya menyayangi sesama manusia, bahkan sesama makhluk, agar tercipta kedamaian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Wallahu a‘lam. (Tatam Wijaya)

Jumat, 28 Desember 2018

Indonesia ini kurang islam apa

Selalu saja ada ustaz yang menjelek-jelekkan negara dan pemerintah. Pemerintah digambarkan anti Islam, menghalangi dakwah, meminggirkan umat Islam, kata mereka.
Indonesia punya Kementerian Agama. Anggaran Kemenag tahun 2018 ini 62 T lebih, nomor 3 terbesar setelah Kementerian PUPR (yang tugasnya membangun infrastruktur) dan Kementerian Pertahanan. Anggaran itu lebih tinggi daripada anggaran Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan.
Pegawai Kemenag itu umumnya orang Islam. Mungkin ada 90% karyawannya yang muslim, mulai dari menteri sampai ke tukang sapu. Kantornya melayani sampai ke tingkat kecamatan. KUA itu tidak disebut kantor untuk urusan umat Islam. Tapi tidak ada umat agama lain yang dilayani di situ. Itu khusus untuk umat Islam.
Setiap tahun ada sekitar 200 ribu umat Islam naik haji. Segenap keperluan mereka dilayani oleh pemerintah. Sejak mulai pendaftaran, persiapan, berangkat, selama di tanah suci, sampai pulang. Ada ribuan pegawai pemerintah dikerahkan untuk melayani.
Adakah umat lain yang keperluan ziarahnya dilayani penuh oleh pemerintah seperti pelayanan yang diterima umat Islam?
Indonesia punya pemgadilan agama. Yang dilayani di situ hanya umat Isla. Lagi-lagi, meski tidak menyebut Islam di belakang kata agama, lembaga ini khusus melayani umat Islam. Agama dalam hal ini nyaris identik dengan Islam.
Itu masih ditambah lagi dengan sejumlah lembaga yang dibuat pemerintah seperti Lembaga Amil Zakat.
Pemerintah menghalangi dakwah Islam? Di Indonesia ini ada sistem pendidikan kembar. Selain sekolah umum ada sekolah agama, yang lagi-lagi hampir 100% diperuntukkan bagi umat Islam. Mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Itu semua sekolah negeri, yang dibiayai pemerintah.
Pemerintah selalu mendukung berbagai organisasi Islam, dari yang raksasa sampai yang kecil-kecil. NU dan Muhammadiyah itu sudah menjadi mitra pemerintah sejak republik ini berdiri.
Jadi, atas dasar apa mengatakan pemerintah anti dakwah? Atas dasar kejengkelan segelintir ustaz yang merasa aktivitasnya terganggu. Kenapa? Cobalah lihat isi ceramahnya, Anda akan segera paham.
Dakwah itu membangun, memperbaiki umat. Mengarahkan umat ke arah yang benar. Bagaimana yang benar itu? Umat menjadi lebih taat ibadah, hidup lebih sejahtera, rukun dengan sesama maupun dengan umat lain.
Kalau orang berdakwah seperti itu, adakah yang akan mengusiknya? Tidak. Lagipula, siapa yang mau mengusik? Pemerintah dan aparat itu sebagian besarnya adalah umat Islam juga. Mereka butuh dakwah. Tidak mungkin mereka menghalangi.
Lalu yang diusik itu siapa dan kenapa? Yang diusik itu bukan pendakwah, tapi penghasut. Mereka mengajarkan permusuhan. Tidak hanya kepada umat lain, kepada sesama umat Islam pun, kalau berbeda dengan mereka, akan dimusuhi. Ini dakwah apa? Ini bukan dakwah Islam.
Ini sebenarnya politik, bukan dakwah. Ini gerakan orang-orang yang ingin berkuasa, dengan memperalat agama. Dalil-dalil dimainkan untuk kepentingan mereka.
Bahkan berpolitik pun tidak dilarang. Silakan. Yang dilarang dan dikenai tindakan hukum adalah memecah belah, menganjurkan permusuhan. Hukum negara melarang tindakan itu. Ajaran agama pun tidak membenarkannya.
Jadi, tidak ada larangan dakwah. Tidak ada pula kriminalisasi ulama. Yang ada adalah penindakan terhadap warga negara yang diduga melanggar hukum. Kebetulan saja orang-orang itu berstatus ulama. Ada ribuan orang lain berstatus ulama, yang bebas melakukan dakwah. Mereka tidak diusik, karena memang tidak melanggar hukum.
Yang terus menerus mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah anti Islam adalah orang yang tidak punya niat membangun Indonesia. Niatnya meruntuhkan.```

Kamis, 27 Desember 2018

Jihad tak patut disanding dengan terorisme

Jihad tak patut disanding dengan terorisme


Jihad tak patut disanding dengan terorisme
Menara World Trade Center (REUTERS/Enrique Shore (top), E)
Jakarta  (ANTARA News) - Peristiwa penabrakan dua pesawat komersial pada menara kembar World Trade Cente (WTC) di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 adalah titik balik beralihnya perhatian dunia pada dunia Islam.

Sejumlah label bagi Islam dan Muslim muncul menyusul peristiwa yang hingga kini masih dianggap memiliki banyak kejanggalan tersebut.

Islam dianggap dan disebut sebagai agama yang mengajarkan terorisme, mendorong praktik-praktik radikal, ekstrem dan kekerasan, sementara Umat Islam dipandang sebagai entitas yang mengancam kehidupan sosial, barbarik dan terbelakang.

Tiga belas tahun setelah peristiwa yang dikenal dengan 911 itu, muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Islam dengan nama ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) atau Negara Islam Irak dan Suriah yang mendapat perhatian global setelah merebut pemerintahan di Irak.

Jihadis

Mengaitkan Islam dengan terorisme berarti menciptakan permusuhan dengan sekitar 1,7 miliar Muslim di seluruh dunia.

Pada September 2016, Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama mengatakan bahwa dia tidak akan menggunakan istilahIslamic terrorism atau "terorisme Islami" untuk merujuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim dan mengaku melakukan kejahatan semacam itu atas nama Islam.

Politisi demokrat Hillary Clinton juga menolak menggunakan istilah radical Islamic terrorist atau "teroris Islam radikal" dengan menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak berperang melawan Islam.

Namun, dia menggunakan istilah violent jihadist terrorists atau "teroris jihadis" yang masih mengaitkan terorisme dengan Islam, khususnya jihad yang merupakan salah satu ajaran dalam agama tersebut.

ISIS menyatakan kelompok mereka sebagai "jihadist" atau "jihadi" yang berarti orang yang melakukan jihad atau menurut mereka juga bermakna "perang suci".

Pengakuan para teroris itu ditelan mentah-mentah oleh para politisi dan media yang turut menyebut para teroris yang berlatar belakang Muslim sebagai jihadi atau jihadis.

Sementara banyak pihak masih belum bersepakat untuk mendefinisikan terorisme, jihad disebutkan dalam Al Quran dan dijabarkan secara jelas oleh para ahli fikih sejak berabad lalu.

Arti harfiah jihad berasal dari kata Arab yang berarti berjuang atau bekerja dengan penuh semangat, bersusah payah, tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh.

Dengan makna ini setiap upaya untuk mencapai tujuan hidup adalah jihad, seperti belajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan gelar pendidikan, melahirkan bayi, membela diri dan mempertahankan harta benda dari penjahat dan pencuri, dan bekerja untuk mendapatkan uang.

Sepanjang sejarah Islam, para sarjana Muslim telah mengembangkan makna jihad yang telah menghasilkan berbagai pandangan, terutama tentang bagaimana mempraktikkan jihad dalam kehidupan kontemporer oleh seorang Muslim.

Interpretasi yang berbeda tentang jihad tidak bisa dihindari, tetapi pendapat yang tak sama tersebut dapat diterima selama didasarkan pada dua sumber utama Islam yakni Al Quran dan hadis.

Karenanya, versi jihad menurut kelompok Al Qaeda dan ISIS/ ISIL (the Islamic State of Iraq and the Levant --Syam yang meliputi wilayah Lebanon, Suriah, Yordania, Israel dan Palestina) tidak dapat diterima karena tindakan mereka yang dianggap jihad dilakukan dalam bentuk kejahatan yang memakan banyak korban jiwa dan menebar ketakutan di tengah masyarakat.

Fuqaha atau ahli hukum Islam praktis memang menjelaskan makna jihad dari suatu kondisi peperangan atau perlawanan terhadap sesuatu yang dapat membahayakan wilayah Islam serta Muslim dan non-Muslim yang tinggal di wilayah itu.

Bentuk jihad ini juga disebutkan dalam Al Quran dalam surat Al Baqarah ayat 190-191 yang karena ayat-ayat itu mengandung perintah, jihad untuk Muslim adalah sebuah kewajiban.

Namun, jihad sebagai tindakan militer hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya adalah diserukan oleh pemimpin Islam yang satu, tidak merusak alam, dan tidak memerangi mereka yang lemah, seperti kaum perempuan, anak-anak, orangtua bahkan para pemuka agama.

Menyederhanakan

Ketimbang harus menjelaskan panjang-lebar tentang apa itu jihad dan terorisme, serta bagaimana kedua hal tersebut sangat bertentangan, media arus utama, terutama dari Barat, lebih menyukai menyederhanakan tindakan kekerasan oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam atau yang berlatar belakang Islam itu sebagai "jihadist terrorist" atau "jihadist terrorism".

Mereka juga membuat istilah "jihadism" atau "jihadisme" yang merujuk pada ajaran jihad yang dianggap mendorong tindakan kekerasan atas nama agama.

Selain motif penyederhanaan itu, media massa Barat juga terbukti lebih bersemangat memberitakan peristiwa serangan teror jika pelakunya merupakan Muslim.

Pada Juli 2017, media massa dalam jaringan asal Inggris, Independent melaporkan penelitian yang menunjukkan bahwa serangan teror akan diberitakan lima kali lebih sering jika para pelakunya adalah Muslim.

Penelitian itu juga menemukan bahwa dari jumlah total serangan kekerasan di Amerika Serikat, 12,4 persen dilakukan oleh mereka yang berlatar belakang Muslim, namun mendapat 41,4 persen dari liputan media massa.

Kekuatan media dalam menyebarkan pesan kepada publik tidak saja membangun persepsi akan adanya kaitan antara jihad dan terorisme, tapi juga menciptakan prasangka negatif terhadap Islam dan Muslim.

Pada tingkat yang parah, media menjadi katalis dalam menciptakan rasa ketakutan terhadap Islam atau Islamofobia.

Padahal, wartawan dan media massa diharapkan bekerja dengan mengamalkan etika jurnalistik yang di antaranya adalah mengutamakan kebenaran dan tidak berpihak pada kepentingan tertentu.

Wartawan Amerika Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang juga penulis buku "the Ten Elements of Journalism" menyatakan bahwa jurnalis tak bisa lepas dari sudut pandang subjektif, namun laporan mereka dituntut untuk seimbang dalam melayani kebutuhan publik akan informasi yang benar di atas kepentingan mereka sendiri dan korporasi.

Untuk menghindari prasangka anti Islam dalam laporan media dan mengurangi dampak buruk yang lebih besar dari bias media, wartawan harus memahami arti sebenarnya dari Islam dan jihad dari sumber-sumber yang dapat dipercaya dan objektif.

Insan media juga harus memahami definisi harfiah dan kontekstual dari setiap kata yang mereka gunakan dalam laporan mereka, seperti terorisme, radikalisme, dan jihad.

Dengan sepenuhnya memahami kata-kata kunci itu, para jurnalis diharapkan tidak menyandingkan Islam dan jihad dengan istilah yang bermakna negatif sehingga menimbulkan prasangka terhadap Islam dan Muslim.

Tidak menyandingkan kata jihad dan terorisme dalam satu frasa berarti media mampu membedakan antara Muslim yang hidup berdampingan dengan komunitas lain yang berbeda keyakinan, dan orang-orang yang mengklaim diri mereka sebagai Muslim tetapi gagal menunjukkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan.

Mereka yang mengklaim melakukan jihad dalam bentuk kekerasan telah salah menafsirkan konsep-konsep agama Islam untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan.

Rabu, 26 Desember 2018

APA SIH ALIRANNYA PARA TERORIS? APAKAH MEREKA KHAWARIJ?

APA SIH ALIRANNYA PARA TERORIS? APAKAH MEREKA KHAWARIJ?


Assalamualikum Wr. Wb.
Admin yang saya hormati, saya ingin menanyakan apa sih alirannya para teroris itu? Apakah mereka khawarij? Terima kasih...
Waalaikum Salam Wr. Wb.
Hamba Alla

Waalaikum Salam Wa Rahmatullah.
Dunia Islam kontemporer mengenal aliran baru yang mengedepankan doktrin jihad sebagai inti ajarannya. Aliran ini muncul karena dorongan politik yang sangat kuat seperti yang terjadi pada aliran-aliran Islam di masa lalu. Lahir karena dorongan politik. Mereka bukan khawarij, namun ada titik kesamaan, selain perbedaannya.
Ada banyak organisasi yang menjadikan jihad sebagai doktrin utamanya. Di antara yang terbesar adalah Al-Qaeda. Organisasi ini didirikan oleh Osama bin Laden dan Abdullah Azzam. Abdullah Azzam melalui buku Tarbiyah Jihadiyah (Pendidikan Jihad) telah meletakkan doktrin jihad sebagai pokok ajaran kelompok. Menurutnya, saat ini umat Islam dalam keadaan terjajah dan wajib melaksanakan jihad. Jihad tidak lagi bersifat fardu kifayah, tetapi menjadi fardu ‘ain. Arti Jihad fardu ‘ain adalah setiap umat Islam wajib melaksanakan jihad di negara masing-masing.  
Ajaran ini kemudian berkembang liar karena para pemimpin aliran tersebut menargetkan orang-orang Islam sebagai sasaran jihad. Berikut adalah penilaian Najih Ibrahim, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah, Mesir yang telah bertaubat, tentang kekeliruan aliran jihad seperti Al-Qaeda, JI dan lainnya:
1.    Mengadopsi pemikiran takfir (mengkafirkan umat Islam).
2.    Membunuh berdasarkan status kewarganegaraan.
3.    Meyakini warga negara bertanggungjawab atas kebijakan pemerintahnya.
4.    Membuat target yang mustahil dicapai.
5.    Mendorong musuh bersatu memusuhi seluruh umat Islam.
6.    Mengklaim mewakili umat Islam.
7.    Meyakini semua orang Islam sudah rusak.
8.    Hanya meyakini satu model perjuangan, yaitu perang.
Ajaran-ajaran di atas didasarkan kepada dalil-dalil agama, sekalipun sebenarnya adalah urusan politik. Tujuan kedelapan prinsip di atas adalah memberikan pembenaran terhadap nafsu membunuh agar punya landasan dalam ajaran Islam. Menurut sebagian analis, hal itu adalah bentuk Islamisasi radikalisme (Islamisation of radicalism).
Sumber: Harakah Islamiyah disarikan dari pengantar buku "Al Qaeda" karya As'ad Ali

Selasa, 25 Desember 2018

Prof.Quraish Shihab: Sucikan Nama Tuhanmu, Jangan Takbir Untuk Perpecahan


Kemarin, (Kajian Membumikan al-Quran) di PSQ tampak berbeda. Kalau biasanya ruangan yang biasa dipakai untuk diskusi bulanan ini tampak lengang, kali ini ini ruangan PSQ sampai penuh sesak. Lalu apa yang menyebabkan animo mahasiswa—baik mahasiswa s1, s2 dan s3—begitu besar? Jawabannya satu. TGB Dr. Zainul Majdi effect. Selain TGB, tentu saja ada tuan rumah PSQ, Dr. Muchlis Hanafi dan tentunya Prof. Quraish Shihab.
Diskusi lebih menantang dan menarik karena tema yang diusung adalah tentang “Dari Ideologi Khilafah ke Manusia Khalifah”. Diskusi ini dibuka oleh Muchlis dengan sangat santai namun berisi. Ia langsung menukil pendapat Syahrastani dalam kitabnya Milal wa al-Nihal, menurutnya persoalan yang paling banyak menyita energi umat Islam dari zaman dahulu adalah ikhtilaf fil Imamah atau perbedaan cara pandang terkait Imamah atau kepemimpinan.
Muchlis menuturkan bahwa dalam al-Qur’an, kata khalifah dan derivasinya tidak ada satu pun yang menunjukkan secara pasti bahwa makna khalifah merupakan kepemimpinan dalam satu wilayah.
Ia sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa Islam itu mengatur seluruh aspek kehidupan (mu’amalahj, aqidah, politik dll.) Akan tetapi, kalau bicara tentang negara dan politik apakah al-Qur’an menentukan secara pasti tentang mekanisme pemilihan, bentuk negara, dan lain-lain? ini yang harus terus diperhatikan.
Dalam konteks Indonesia, apabila kita masih mempersoalkan hubungan agama dan negara—dalam arti prinsip dasar dan bentuk negaranya—maka kita sebenarnya telah bergerak mundur. “Sekarang kita tinggal memilih, mau capek-capek membongkar dasar negara yang sudah ada, lalu diganti dengan dasar atau konsep yang belum jelas bentuknya, atau lebih baik bagi kita untuk memperbaiki negara ini, dengan pedoman dasar Pancasila yang sudah ada (yang tentunya mengandung nilai-nilai Islam)?” lebih baik lagi apabila kita mampu memimpin diri kita sendiri menjadi lebih baik (khalifah) di bumi ini, tuturnya.
Beberapa saat kemudian, giliran TGB bicara. Ia memulai pembicaraan dengan konsep kepemimpinan dalam tradisi ahlussunnah wa al-Jamaah. Menurutnya, kepemimpinan dalam ahlussunnah itu masuk dalam bab fiqh, berbeda dengan syi’ah yang menganggap Imamah bagian dari aqidah. Sehingga, tidak perlu mengkafirkan, sesat menyesatkan, dll. yang sifatnya menjelek-jelekkan sesama muslim. Karena dalam bab fiqh, bukan bab aqidah, perbedaan itu hal yang sudah sangat biasa.
Ia melanjutkan, “Imamah atau khilafah itu selalu dibahas dalam konteks fungsi, bukan terkait sistem. Maka dari itu semua ulama’ mengatakan bahwa wajib hukumnya keberadaan seorang pemimpin. Supaya apa? Hak dan kewajiban umat Islam terjamin, masyawakat makmur, hubungan dengan masyarakat berbeda agama pun dapat harmonis”.
“Lalu, apa yang dimaksud dengan Daulah Islamiyah?” Tanyanya kepada audiens. Menurutnya, dalam fiqh tidak ada pembahasan ini, yang ada hanyalah perbedaan antara Darul Kufri dan Darul Islam. Ulama’ pun berbeda terkait pengertian Darul Islam. Ada yang berpendapat bahwa Darul Islam adalah negara yang diduduki mayoritas umat Islam (seperti Indonesia), namun ada juga yang mengatakan bahwa disebut Darul Islam itu selama umat Islam—meski minoritas—tetap mampu menjalankan syariatnya, semisal shalat, puasa, dll.
Sebagai penutup acara, Prof. Quraish Shihab juga diminta untuk memberikan pesan kepada para audiens. Ia menyinggung kelompok yang sering menggunakan kalimat takbir sebagai pemicu amarah. “Sucikanlah nama Tuhanmu, jangan bertakbir yang bisa membuat orang-orang berpecah belah” ucap beliau sembari berkaca-kaca.
ZAIMUL ASRORMahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Senin, 24 Desember 2018

Skema Melawan Radikalisme

Skema Melawan Radikalisme


A. Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Miris sekali menyaksikan penangkapan Agus Wiguna pada awal Juli lalu. Pemuda asal Buahbatu, Bandung, itu terlibat dalam jaringan terorisme. Berdasarkan laporan Kepolisian RI, pemuda 21 tahun tersebut mempelajari cara merakit bom panci dari jejaring Internet, termasuk media sosial. Ini persoalan yang sangat serius. Banyak pemuda, atau bahkan mereka yang masih belia, terpapar virus radikalisme.
Setidaknya ada tiga langkah yang bisa diupayakan dalam mencegah hal ini terjadi. Pertama, revitalisasi penanaman nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme. Ini sangat penting mengingat gerakan radikalisme itu salah satunya bersumber dari lemahnya penghayatan, pemahaman, dan kecintaan terhadap nilai-nilai Pancasila, sehingga menyebabkan jiwa seseorang mengalami kemarau nasionalisme.
Merujuk pada Stanley Benn (1967) dalam artikel "Nationalism" di jurnal The Encyclopedia of Philosophy, setidaknya ada lima indikasi yang merupakan "suprastruktur" bangunan dan pengejawantahan nasionalisme. Indikasi pertama adalah semangat ketaatan dan jiwa patriotisme terhadap bangsa. Lalu kecenderungan mengutamakan kepentingan bangsa sendiri jika dibenturkan pada kepentingan bangsa lain. Kemudian sikap pentingnya penonjolan ciri khusus bangsa dan memandang perlunya kebudayaan bangsa dipertahankan. Terakhir, pandangan bahwa umat manusia secara alami terbagi-bagi menjadi pelbagai bangsa, tapi ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu.
Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana atau pada bagian mana dalam aspek "suprastruktur" nasionalisme yang menyokong bangunan nasionalisme bangsa kita yang tergerus dan merapuh. Pemetaan ini penting karena akan berdampak langsung pada strategi dan skala penanganannya.
Pemerintah harus mencari formula untuk membangkitkan apa yang oleh J.J. Rousseau disebut sebagai "nasionalisme kewarganegaraan". Nasionalisme jenis ini dibangun dari partisipasi aktif rakyat. Sikap rakyat yang selalu aktif mencintai segala aspek negerinya adalah bahan baku utama untuk membangun nasionalisme.
Nasionalisme kewarganegaraan tersebut harus dipupuk dengan penguatan nasionalisme agama. Nasionalisme agama adalah semangat nasionalisme yang dibangun berdasarkan nilai-nilai agama. Ini penting untuk melapisi langkah pertama.
Survei Alvara Research Center pada Februari 2017 menemukan bahwa 97 persen penduduk Indonesia berkeyakinan bahwa agama merupakan hal penting dalam kehidupan. Masyarakat kita merupakan masyarakat yang religius. Modal ini tinggal diolah secara kreatif sebagai bahan baku nasionalisme.
KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, mencetuskan diktum hubbul wathan minal iman (cinta Tanah Air merupakan bagian keimanan). Inilah wujud konkret usaha untuk mengaktualisasikan sekaligus menumbuhkan dan merawat nasionalisme agama. Agama dijadikan pijakan untuk mencintai negara.
Jika dua nasionalisme itu berhasil ditumbuhkan, tahap selanjutnya adalah mentransformasikan keduanya menjadi "nasionalisme produktif". Ini merupakan gerakan nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, dari yang paling kasat mata sampai yang paling sublim.
Nurcholis Madjid (1985) pernah mengungkapkan pentingnya nasionalisme produktif ini. Ia mencontohkan bagaimana Jepang bangkit dari keterpurukan dengan instrumen nasionalisme jenis ini. Perang yang dilakukan adalah perang ideologi dan kebudayaan. Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Penguatan nilai dan tradisi menjadi sangat penting dalam isu ini. Produktivitas di segala bidang dalam arti yang positif adalah bentuk perlawanan yang paling konkret sekaligus usaha memupuk rasa cinta kepada Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah harus melakukan program kontra-radikalisme. Secara filosofis, program ini tidak semakna dengan program deradikalisasi yang sedang marak-maraknya digaungkan pemerintah. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Jika deradikalisasi dimaknai sebagai program yang bertujuan melunakkan radikalisme narapidana, kontra-radikalisme adalah sederet program dan gerakan yang menyentuh segenap lapisan yang sudah terbukti bergabung dan pernah melakukan tindak terorisme maupun yang belum. Kontra berarti perlawanan, dan perlawanan paling efektif adalah melalui pendidikan dan penanaman pemahaman akan bahaya sikap dan gerakan radikalisme tersebut. Kuncinya ada di pendidikan. Mengutip Malala Yousfazai (2015), dengan senjata Anda dapat membunuh teroris, dengan pendidikan Anda dapat membunuh terorisme.
Ketiga, pemerintah harus lebih serius menggandeng organisasi kemasyarakatan yang berpaham moderat untuk membantu melunakkan paham radikalisme yang menjangkiti aparatur sipil negara. Misalnya, dengan merekrut khatib atau dai-dai yang santun dan kompeten dari organisasi seperti NU dan Muhammadiyah untuk mengisi pengajian, taklim, dan khotbah Jumat di kantor-kantor pemerintah. Dibutuhkan kerja sama pelbagai pihak untuk menghalau radikalisme yang kian hari kian meluas dan meresahkan ini.

Minggu, 23 Desember 2018

Islam Itu Indah Maka Renungkanlah Baca selengkapnya

Segala puji bagi Allah rabb semesta alam. KepadaNyalah seluruh makhluk bertumpu dan mengadu, dari keterserakan asa, dari kelemahan daya, dari ketakmampuan usaha, dan dari kepandiran jiwa serta raga. DariNyalah keharmonisan alam berpadu, sehingga mengulunlah kasih dan sayang dengan penuh syahdu, maka lahirlah kemesraan meski terbingkai dari keragaman yang tak pernah satu.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan sekalian alam, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, nabi penutup risalah, yang karenanya ia diutus untuk menebarkan kasih sayang ke seluruh alam. Maka adalah indah sabda-sabdanya penuh harmoni. Tindak-tanduknya penuh lestari. Perintah-perintahnya sepenuh ketulusan memberi.
Larangan-larangannya sepenuh keikhlasan menyelaksai. Maka sungguh indah. Antara sabda dan lelakunya tak pernah saling menyelisihi. Pun perintah dan larangannya tak pernah ada saling menyalahi. Maka adalah indah Islam agama yang mengajarkan kasih sayang, diturunkan oleh Dzat Yang Mahakasih dan sayang, diwahyukan melalui malaikat yang penuh kasih dan sayang, dan disampaikan untuk disebarkan kepada sekalian alam oleh nabi yang penuh kasih dan sayang. Sungguh indah agama yang dituntunkan oleh Dzat Yang Mahaindah lagi mencintai keindahan.
Karenanya, Islam hadir di tengah-tengah ummat bukan untuk membelenggu. Ia hadir demi memperindah tatanan. Yang rusak, ia perbaiki. Yang salah, ia betulkan. Yang bengkok, ia luruskan. Yang jelek, ia baguskan. Yang bodoh, ia pintarkan. Yang baik, ia ajarkan. Yang merusak, ia larangkan dan seterusnya. Islam hadir demi kasih sayang untuk sekalian alam.
Maka adalah wajar, jika sang pengemban risalah penuh kasih dan sayang kepada ummatnya. Sebab, ia adalah cermin tempat berkaca bagi kebengkokan-kebengkokan perilaku mereka. Sebab, ia adalah pelita yang membimbing bagi kegelapan-kegelapan hati mereka. Sebab, ia adalah penentram yang mengarahkan bagi kegalauan-kegalauan jiwa mereka. Dan sebab ia adalah qudwatun hasanah, sang panutan lagi teladan bagi kehidupan mereka.
Memang indah. Ia yang tersurat sebagai penuntun ummatnya demi kehidupan yang lebih baik, di dunia dan akhirat, benar-benar menjadi contoh yang sempurna dalam setiap sisi kehidupannya. Maka adalah keserasian yang ia ajarkan. Maka adalah kelembutan yang ia tularkan. Maka adalah keadilan yang ia sebarkan. Maka adalah kemuliaan hidup yang ia tawarkan. Maka adalah rahmatan lil alamin yang ia simpulkan, di tengah ummat.
Dan betul-betul indah ternyata ia benar-benar rahmatan lil alamin. Ajaran-ajarannya penuh sejuta hikmah. Wejangan-wejangannya tak pernah meninggalkan bekas lara di dada. Anjuran-anjurannya selalu menyimpul ulang semangat yang membaja. Nasehat-nasehatnya selalu tepat mengenai titik sasarannya, dan tanpa sedikitpun menyinggung amarah si empunya. Keadilan dalam berkata dan kejujuran dalam bersikap itulah pedomannya.
Maka lihatlah manusia-manusia di sekitarnya. Tak pernah ada yang terciderai rasa. Tak ada pula yang pernah tersinggung kata. Semua ia tunaikan hak-haknya. Tak ada pembedaan. Tak juga pengistemewaan. Kecuali pada hal yang sudah digariskan, yaitu ketaqwaan. Maka yang bangsawan tak tersanjungkan di hadapannya. Yang rakyat biasa saja juga tak terpinggirkan di majelisnya. Semua sama. Pun kaya dan miskin, tak ada beda. Masing-masing ia tunaikan hak-haknya, dengan perlakuan yang semesti dan sepantasnya.
Sang Nabi memang penuh kasih sayang kepada semuanya. Tapi, kepada wanita ia lebih lemah lembut daripada yang lainnya sebab ia tahu kunci kelemahannya. Dan tersebab itu ia pun bersabda kepada kita, selaku ummatnya, dalam riwayat Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi, “Wanita itu tercipta dari  tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah atasnya. Jika terlalu keras meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Maka, berhati-hatilah memperlakukannya.”
Karenanya, ia tak pernah membentak kaum hawa. Sebab itu hanya akan mematahkannya saja. Tak pula ia terlalu memanjakannya. Karena ini hanya akan melenakannya semata. Seperti kisah turunnya surat Al-Ahzab ayat 28 dan 29. Ketika istri-istrinya meminta tambahan nafkah, dan berhasil membuat dirinya resah bercampur amarah. Tapi tetap saja tak ada kata-kata amukan yang tertumpah. Tak ada dampratan. Tak pula bentakan.
Atau seperti kisah Fatimah yang datang kepadanya meminta seorang pembantu rumah tangga. Meskipun yang hadir adalah putri kesayangannya, namun tetap saja tak ada pemanjaan yang berlebihan. Tak ia kabulkan keinginannya. Dan tak ia berikan apa yang dimauinya. Justru ia tawarkan apa yang lebih baik dari yang diminta, bahkan lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka ia nasehatkan agar bertasbih, bertahmid, dan bertakbir tiga puluh tiga kali sebelum beranjak tidur sebagai gantinya.
Maka betul-betul indah ketika shahabat-shahabatnya beramai-ramai meniti setiap garis jejaknya. Seperti kisah Al-Faruq, ‘Umar bin Al-Khattab, yang tengah naik mimbar dan mengkritisi perihal tingginya mahar yang diminta kaum hawa. Maka berdirilah seorang dari mereka menyela dengan suara tegasnya. “Apakah engkau hendak membatasi sesuatu yang Allah sendiri pun tak pernah membatasinya dalam kitab suciNya?” begitu ujarnya.
Maka para hadirin terhenyak tak menyangka. Ternyata ada wanita yang sebegitu. Pun juga ‘Umar tak kalah kagetnya. Namun, tetap saja ada kasih sayang harus diberikannya, seperti panutannya yang begitu lemah lembut. Maka tak ada bentakan. Tak juga dampratan. Dan tak pula kata makian dasar wanita pembangkang. Maka adalah ‘Umar menjawabnya dengan penuh kelembutan, “Engkau benar wahai saudariku. Akulah yang salah!”
Subhanallah. Sungguh keluhuran budi yang terbungkus dalam beningnya hati nurani. Maka terlahirlah keharmonisan, terjelmalah kemesraan, dan terpadulah kesetiaan dan pengorbanan. Islam itu memang indah.
Toh begitu tetap ada sisi lain yang harus dicermati. Ada potensi lain yang musti diwaspadai. Agar tak berakhir tragis bak ummat-ummat terdahulu. Seperti kisah bani Israil yang tak sanggup mewaspadainya. Maka dimusnahkanlah tujuh puluh ribu pasukan dari mereka dalam sekejap saja. Maka sang pengemban risalah terakhir pun lekas-lekas mewanti-wanita kita, dengan bahasa kasih sayangnya yang teramat besar kepada ummatnya.
“Adalah dunia ini,” sabda beliau di sela-sela khutbahnya, “Sungguh indah nan mempesona tampak di mata. Dan Allah menyerahkan pemakmurannya kepada kalian; sebab Ia ingin menguji bagaimana amal-amal kalian. Karena itu, berhati-hatilah dari dunia, dan berhati-hatilah terhadap wanita.”
“Sebab,” lanjut beliau dalam riwayat Imam Muslim, “Musibah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.” “Maka,” pungkas beliau dalam riwayat Imam An-Nasa’i, “Tak ada musibah yang lebih berbahaya sepeninggalku melebihi wanita.”
Indah benar. Dua kutub yang saling berjauhan dipadukan dalam satu sulaman. Ia yang diwanti dan diwaspadai ternyata juga begitu disayangi. Maka ia pun tak terkekang hak asasinya. Dan tak jua terumbar kebebasannya. Ia dijaga tapi tetap dihargai. Juga dikaryakan sembari terus diawasi.
Maka lihatlah bentuk konkritnya pada sebarik kisah-kisah mengagumkan. Pada keteladanan agung kehidupan para salaf yang mulia. Pada ketakjuban akhlak tinggi mereka, pada keindahan pribadi yang tersiram dari mata air yang suci, pada kelembutan yang tersinari dari pelita yang menerangi, Sang Nabi yang begitu terpuji. Maka tak ada penelikungan atas nama wanita. Tak ada pengekangan atas hak-haknya sebagai manusia. Tak ada penodaan atas fitrah manusiawinya. Apatah lagi kezaliman pada kesucian dirinya. Ia benar-benar dijaga, tapi tetap dihormati. Betul-betul indah, seindah keagungan akhlak Sang Nabi yang begitu memukau jagad raya. Subhanallah. Lalu kita?
Sungguh, jauh panggang dari api. Ya, kita selaku ummatnya hanya bisa merenungi sambil mengintrospeksi diri: pada tutur kata kita, pada tingkah laku kita, pada kebeningan hati kita, dan pada kepandiran jiwa kita; sudah layakkah kita menjadi ummatnya? Lalu kita selaksai makna yang terkandung di dalamnya; sudah pantaskah kita, yang berikrar ke sana ke mari sebagai yang paling nyunnah, betul-betul menjadi pengikutnya? Setiap kita, saya dan anda, tentu lebih mengetahui apa jawaban pastinya. Sebab, masing-masing kita adalah yang paling tahu siapa diri kita yang sebenarnya.
Maka, marilah kita menyelaksai makna, sambil terus menyelam di lautan ilmu, pada keteladanan agung nan indah itu. Untuk kemudian di sana kita belajar pada pengalaman-pengalaman hidup mereka yang syahdu. Lalu, ianya kita jadikan asas kebermaknaan dalam setiap langkah kita menuju kemuliaan. Setelah itu, langkah-langkah tersebut kita jadikan neraca acuan bagi jejak-jejak kaki kita meniti jalan perubahan.


Baca selengkapnya https://muslim.or.id/25455-islam-itu-indah-maka-renungkanlah.html

Sabtu, 22 Desember 2018

Lurah Nunung: Waspada Paham Radikal

Koramil-01 Kodim 0905 Balikpapan Utara menggelar kegiatan sosialisasi pencegahan paham radikal untuk masyarakat Muara Rapak. Kegiatan yang berlangsung di aula kelurahan Muara Rapak itu diikuti pihak kelurahan, LPM, Karang Taruna serta Ketua RT pada Jum'at (21/12) pagi.
Radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku.
"Zaman sekarang memang sangat dominan dengan tindak kekerasan, sehingga kami meminta kepada semua warga agar bisa menjaga lingkungannya, terutama kumpulan anak remaja," kata Lurah Muara Rapak Nunung Nurjaya di dampingi Mayor INF Arifudin dan sersan 1 Hamzah kepada Balikpapan Pos, kemarin.
Pengaruh radikalisme merupakan suatu pemahaman baru yang dibuat-buat oleh pihak tertentu mengenai suatu hal, seperti agama, sosial, dan politik, seakan menjadi semakin rumit karena berbaur dengan tindak terorisme yang cenderung melibatkan tindak kekerasan.
Selain pihak Koramil-01Kodim 0905, kegiatan tersebut dihadiri Bhabinkamtibmas, jetua LPM, ketua Karang Taruna serta seluruh ketua RT di wilayah Muara Rapak.
Radikalisme dikhawatirkan menyasar kalangan generasi muda.
Apalagi, menurut Nunung, banyak terjadi tindak kekerasan di lingkungan yang dilakukan oknum remaja. Oleh karena itu, ia meminta kepada seluruh ketua RT agar selalu mengantisipasi setiap kegiatan di lingkungan.
"Pihak kelurahan berpesan kepada ketua RT untuk selalu peduli terhadap lingkungannya, terutama mengenai aktivitas remaja," sambungnya.
Apabila dari RT tidak bisa menangani permasalahan tersebut, untuk segera melaporkan ke Kelurahan, Babinsa maupun Bhabinkamtibmas.
"Mudah-mudahan atas kerjasamanya bisa menciptakan lingkungan yang aman," pungkas dia. (m-3/yud)

Jumat, 21 Desember 2018

“Jangan Sedikit-sedikit Kriminalisasi Ulama, Padahal Ulamanya Sendiri Ternyata Melakukan Kriminal..."

Kamis, 20 Desember 2018 | 17:14 WIB
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi usai mengikuti diskusi bertemakan Pencemaran Nama Baik vs Melawan Lupa di Universitas Kristem Indonesia (UKI), Jakarta Timur, Jumat (14/12/2018).
JAKARTAKOMPAS.com — Ketua Setara Institute Hendardi sepakat dengan Presiden Joko Widodo bahwa kriminalisasi ulama hanyalah isu politik semata.
"Ada mesin politik yang bekerja memang. Ini kan dalam konteks politik, tahun politik. Jadi memang ada kepentingan politik dan kemudian memainkan di arena demi kepentingan mereka," ujar Hendardi saat dijumpai di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (20/12/2018).
Hendardi sepakat bahwa apabila siapa pun terjerat persoalan hukum, maka yang bersangkutan, apa pun statusnya, memang tetap harus diproses secara hukum, bahkan termasuk seorang ulama.
"Jangan sedikit-sedikit orang bilang kriminalisasi ulama, kriminalisasi ulama. Sementara si ulama sendiri ternyata memang melakukan tindak kriminal. Apalagi, ada buktinya yang dia itu enggak bisa ingkar,” lanjut Hendardi.
Ia mencontohkan kasus dugaan penganiayaan yang menjerat Bahar bin Smith baru-baru ini. Ia melihat, kasus itu memang tindakan penganiayaan. Hal itu dilihat dari video yang beredar di media sosial.
"Ulamanya ternyata melakukan kriminal, melakukan penyiksaan, apalagi terhadap anak-anak di bawah umur. Jelas-jelas ada videonya. Dia enggak bisa ingkar, enggak bisa mungkir. Masak yang kayak begitu harus dilindungi?" ujar Hendardi.
Menurut Hendardi, sebaliknya justru pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sangat memperhatikan kelompok ulama. Hal itu terbukti dari Jokowi yang sering kali bersilaturahim dengan ulama, baik di Istana maupun di pondok pesantren.
Hendardi juga menjadikan aksi 212 sebagai contoh bagaimana sikap serta posisi pemerintah terhadap ulama. Mempersilakan massa dalam jumlah besar berkumpul untuk mengungkapkan ekspresinya tanpa adanya tindakan represif merupakan contoh bagaimana pemerintah menghormati kaum ulama.

Oleh sebab itu, Hendardi pun berharap masyarakat turut menyadarkan sesamanya agar tak ada lagi yang terpengaruh atas isu    tersebut.
"Kita sesama masyarakat juga harus melakukan penyadaran bahwa itu enggak benar. Jangan masyarakat kita tingkat pendidikannya masih rendah, kemudian dibodoh-bodohi dengan hoaks, memersepsikan sesuatu secara keliru," ujar Hendardi.
Diberitakan, Jokowi sempat menyinggung isu bahwa pemerintah melakukan kriminalisasi ulama. Hal itu diungkapkan sebagai calon presiden nomor urut 01 di acara temu Relawan Bravo-5 di Putri Duyung Ancol, Jakarta Pusat, Senin (10/12/2018).
"Bagaimana mungkin seperti itu? Calon wakil presiden kita ini adalah ulama yang paling atas benar, Kiai Ma'ruf Amin itu adalah Ketua MUI," ujar Jokowi.
Apabila kiai atau ulama Indonesia memang ada tersandung persoalan hukum, menurut Jokowi, memang sudah seharusnya ia berhadapan dengan hukum.
"Misalnya ada ulama yang terkena masalah hukum, ya harus berhadapan dengan hukum," ujar Jokowi.
"Wong gubernur saja kena masalah hukum, berhadapan dengan hukum kok. Menteri yang kena masalah hukum, ya dia berhadapan dengan hukum juga. Tapi kok enggak ada yang bilang itu kriminalisasi?" lanjut dia.
Menurut Jokowi, isu-isu tersebut sengaja dibuat untuk mendiskreditkan pemerintah. Tak penting apakah isu tersebut sesuai logika atau tidak, yang penting masyarakat terpengaruhi.
"Ini hal-hal yang enggak logis, tapi terus-terus diangkat dan rakyat di bawah itu yang informasinya tidak lengkap, bisa memercayai itu sebagai kebenaran. Kan itu yang bahaya," ujar Jokowi.

Kamis, 20 Desember 2018

Gus Sholah Bantah klaim HTI jika Indonesia negara Taghut

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Shalahudin Wahid (Gus Sholah) menolak tegas tuduhan beberapa kelompok Islam yang mengatakan bahwa Indonesia negara taghut. Gus Sholah kali ini memberikan argumentasi lewat sisi sejarah pendirian Indonesia.

“Kita sampaikan pada masyarakat jika negara ini bukan thagut. Bagaimana mungkin negara yang didirikan oleh kelompok-kelompok yang di dalamnya ada kiai, ada NU dan Muhammadiyah dan lainnya juga dikatakan thagut. Ini tandanya mereka tidak paham betul negara ini. Kok bisa dikatakan Indonesia bertentangan dengan Islam,” katanya saat peresmian Museum Islam Indonesia, di komplek Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, Selasa (18/12).

Lebih lanjut Gus Sholah, menyatakan, negara Indonesia tidak bersyariah dalam pandangan undang-undang dasar. Namun dalam undang-undang banyak sekali syariat Islam yang masuk dalam konstitusi. Indonesia tidak melarang syariah Islam masuk dalam konstitusi kecuali hukum bab jinayah (tindak pidana). Alhasil banyak sekali hukum Indonesia dipengaruhi ajaran Islam.

“Saya pernah lihat video Habieb Rizieq yang mengatakan menginginkan NKRI bersyariah. Saya sampaikan pada kawan-kawan Front Pembela Islam (FPI) tidak ada NKRI bersyariah itu. Ketika tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kita coret, maka NKRI tidak bersyariah lagi,” tegasnya.

Terkait dengan hal ini, cucu KH Hasyim Asy’ari ini berharap lewat kehadiran museum ini bisa menjadi pembuka informasi kepada masyarakat luas tentang Islam Indonesia.

Tahap selanjutnya diharapkan masyarakat dan pengunjung bisa menceritakan kepada keluarganya dan kawan-kawannya jika klaim Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahwa negara ini thagut itu salah. Yang tepat adalah seperti pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta kelompok cinta Indonesia lainnya.

“Kita membantah argumen mereka (HTI, FPI dan Ansorut Tauhid) dengan tak perlu pakai ngotot, tapi dengan menyampaikan fakta-fakta," tegasnya.

"Saya pernah diundang Abu bakar Ba’asyir ke Nguruki, Solo dan terlibat pada diskusi bersama mereka. Saya sampaikan, apa yang bapak-bapak perjuangkan itu sudah pernah diperjuangkan partai Masyumi dan gagal. Dan saya pikir ini bentuk terbaik untuk Indonesia sekarang,” tandas Gus Sholah. (Syarif Abdurrahman/Muhammad Faizin/NU Online)

Sumber : http://www.muslimoderat.net/2018/12/gus-sholah-bantah-klaim-hti-jika.html#ixzz5aFP0lENL

Rabu, 19 Desember 2018

Cinta Tanah Air Dalam Islam

Cinta Tanah Air Dalam Islam



                Konsep "cinta tanah air" dalam islam di wujudkan dalam bentuk taat kepada pemerintah yang sah hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

     Firman Allah SWT dalam Al-Quran : "Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul(nya) dan ulil amri di antara kamu (Q.S An-Nisa Ayat 59).

#muslimsejati
Sumber : ig account @fkmthi_nasional